Selasa, 20 November 2012

Palsu!

Pelan dan santai. Mungkin itulah yang kulakukan sekarang. Caraku untuk menjalani hidup yang tak kutahu sampai kapan. Dunia, ya dunia ini penuh dengan ketidakpastian dan kepalsuan. Masih nyata terlintas dalam benakku ketika ada program kampus di lokasi KKN. Seperti halnya institusi-institusi yang lain, gembar-gembor sana-sini. Slogan yang menjadi manifestasi pencitraan dan pengiklanan. Tapi, pernahkah kita tahu yang sebenarnya terjadi? 

"Program ini baik, bahkan kita menerima kunjungan dari Gorontalo untuk studi banding," kata Beliau berkoar-koar. 

Keadaan yang ada di lapangan sangat berbeda. Ketika kami, saya dan rombongan main ke rumah salah satu warga mereka bilang "Dulu kami pontang-panting Mas, sampai berhari-hari tidak tidur. Hanya untuk kunjungan itu," ujar si Ibu Dukuh. 

Oh, begini rupanya. Aku baru tahu. Pun dengan hal-hal lain. Berkaca pada sejarah masa silam. Dengan begitu gampangnya masyarakat dibodohi dengan suguhan informasi yang keliru (tidak sesuai fakta). Perlahan-lahan aku semakin mantap berpandangan: Biar bagaimanapun bentuknya aku lebih suka kalau itu asli dan jujur, bukan rekayasa. 

Sudah banyak kepalsuan di dunia ini, jangan ditambah lagi!
Selengkapnya.. - Palsu!

Minggu, 18 November 2012

Manusiakah?

Masih terbayang jelas dalam kepala kita masing-masing tentang rubuhnya menara kembar WTC. Juga masih tertulis jelas dalam tinta sejarah tentang pengganyangan besar-besaran tentara Nazi terhadap orang-orang Yahudi. Sejenak saya berpikir, hanya dengan pemikiran sempit seseorang berani berbuat nekad. Bahkan, menaklukkan satu rezim dan menguasai negara. 

Kutarik memoriku, kutancapkan pada bangsa ini. Bangsa Indonesia. Empat puluh enam tahun yang lalu, terjadi pula pengganyangan besar-besaran. Pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh satu oknum terhadap rakyat sipil. Masih saja tak percaya hanya karena isu dan adu domba, rakyat akhirnya saling serang dan saling bunuh. Kala itu agama yang dikira paling mustajab untuk bernaung, tak ada artinya lagi. Fitnah dan ambisi lebih berkuasa dari apapun juga. 

Tepatnya setelah Peristiwa G 30 S (kurang lebih setelah 30 atau 1 Oktober 1965) rakyat Indonesia dirundung duka. Pasalnya, berasal dari organ partai yang berseteru, dilanjut dengan pembiusan satu dua oknum meletuslah clash di masyarakat. Beradasarkan sumber yang telah kupelajari, peristiwa yang kemudian bermuara pada satu oknum bernama Soeharto yang ternyata pandai memainkan peran menyebabkan lebih dari tiga juta rakyat Indonesia melepaskan hembusan napasnya. 

Terakhir, sumber yang kudapat dari seorang teman menceritakan bagaimana bengis dan kejamnya seorang manusia terhadap manusia lainnya (lihat majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012). Majalah yang menyajikan liputan khusus tentang Para Algojo tahun 1965-1966 itu dengan gamblang menyajikan kronologi pembantaian manusia Indonesia yang disangkutkan pada partai terlarang. Tikam, tusuk, tebas,  pukul semua cara yang dilakukan Algojo waktu itu diceritakan dengan jelas sekali. Bahkan, tak sedikit oknum dari agama yang ikut melaksanakan aksi genosida tersebut. Saya bukanlah eksponen dari parti terlarang itu, tapi bagi saya sendiri peristiwa itu adalah dehumanisasi besar-besaran. 

Bagaimana rakyat bisa tenang kalau stiap detik rasa was-was mendatang sanubari? setiap menit ketakutan akan kematian hinggap dan mucul menyeruak? Sayangnya, semua adalah bagian dari sejarah kelam yang tak akan bisa dilupakan. Belajarlah dari sejarah, karena sejarah akan selalu berulang Histoire se repete.....
Selengkapnya.. - Manusiakah?

Kamis, 15 November 2012

Sebutir Titik Nadir

Malam merambat berkuasa dengan segala keteduhannya. Mungkin itu pula yang membuat rembulan di atas sana manggut-manggut. Dingin dan sunyi. Hanya suara-suara alam yang ters berkumandang menyanyikan himne favoritnya.

 "No Body Knows The Trouble I See, No Body Knows My Sorrow,"kata Soe Hok Gie dalam catatan hariannya. Benar juga. Tak ada yang tahu apa yang aku alami, juga tak ada yang tahu penderitaanku. Sayangnya, udara malam ini tak meneduhkanku sama sekali.

Sepi yang meradang. Aku kecewa, kawan. Rasa kecewaku sudah pada titik nadir. Jika ada sesuatu yang menurutmu kamu sukai, tapi itu dihina dan tidak dihargai, apa yang akan kamu lakukan? 

Percayalah tidak ada suatu hasil yang bisa diperoleh tanpa adanya pejuangan. Sepahit apapun, kalau hasil itu diperoleh dengan perjuangan pasti akan lebih nikmat. Apapun hasilnya, terimalah karena itu merupakan buah dari proses perjuangan yang sangat panjang. Seorang pejuang tak akan mudah takluk pada suatu rintangan, ancaman, apalagi kata orang? 

Tunjukkan pada dunia seberapa besar usahamu untuk melangkah, bukan seberapa jauh kakimu melangkah. Percayalah bahwa kamu mampu untuk bergerak dan berubah! Buat sesuatu yang berarti sebelum mati! 

Selengkapnya.. - Sebutir Titik Nadir

Kamis, 08 November 2012

Pagi itu Masih Basah

Pagi itu masih basah. Kudaki panser kunoku dengan kecepatan standar. Kukejar waktu yang jelas takkan pernah berpihak kepada siapapun, termasuk kepadaku. Setelah mengikuti acara pengeluaran keringat, segera kurapatkan barisan di base camp favorit. Sesampai di sana. Kulihat beberapa orang sedang termangu. Ada yang sibuk dengan handphone, ada yang sibuk dengan pena dan buku, juga ada yang sibuk menghitung perputaran arah jam. Begitulah kondisi di Base Camp.

Mereka adalah teman-teman atau lebih tepatnya rekan seperjuanganku. Masih berbalut dengan ratusan keringat yang menucur deras, kuambil sebotol air putih dan keluar. Duduk di atas Panser kuno buatan tahun 1996 produksi kota yang pernah menderita karena Perang Dunia II, Jepang. Kunamai panserku ini Yamaha Alfred. Saat itulah seorang rekan seperjuangan datang menemuiku. Rekan yang juga berkeringat setelah memeras badannya di bawah terik mentari. Ia bernama U. Kami lebih akrab memanggilnya Pak U.
Posisi kami berhadapan seolah kandidat presiden yang beradu janji. Angin mengibaskan aroma tanah basah. Maklum, semalam hujan. Seorang santriwati lewat. “Ihirrrr,” goda santriwan yang kebetulan duduk tak jauh dari tempat kami berada. Sontak, panadangan mata kami tertuju pada dua gambar tokoh yang lucu. Kami pun tersenyum melihat tingkat manusia itu. Hingga akhirnya ungkapan provokatif Pak U mendiskreditkanku dalam berbabagi posisi. Si rekan ini menggodaku, perjodohan yang sama sekali tak lucu.

Perbincangan pun dimulai. Dimulai dengan background history  hidup Pak U, hingga kisahnya mendapatkan istrinya. Kali ini aku lebih banyak diam. Hal ini disebabkan posisiku, yang ibarat petinju aku masih berada dalam kelas amatir sedangkan Pak U duduk dalam kelas Professional.
“Itu lho, Pak. Thik masak nggak ada?” kata Pak U.
“Wah, nggak, Pak. Saya belum berpikir ke situ,” jawabku.
Dengan gaya khasnya, Pak U mencibirku.
“Alah, njenengan ini,” ujar Pak U.
“Saya kadang merasa minder, Pak. Bagaimana kalau misalnya orang tua si calon merendahkan Saya. Orang tua manapun tentu ingin agar anaknya hidup lebih baik kan, Pak?” tanyaku pada Pak U
“Iya, Pak. Njenengan benar. Tapi mungkin beda ceritanya, kalau si cewek melek agama. Dia pasti akan berpikir, masih ada Yang Maha Kaya. Cewek yang melek agama akan lebih bisa menghargai hidup dan menerima,” jawab Pak U.
Aku lebih cenderung diam, karena aku tahu kapasitasku.
“Dalam agama pun diajarkan seperti itu, Pak. Kalau bisa carilah yang di bawah kita. Maksudnya, biar dia bisa menghargai kita apa adanya,” ucap Pak U sambil mengipaskan kertas. Mengalirkan angin ke seluruh tubuhnya.
Angin yang begitu banyak tentu saja tidak dapat dengan mudah dialirkan ke tubuh Pak U. Ia akan tetap bebas bergerak kemanapun ia mau. Hingga akhirnya angin itu menyertku pada satu permasalahan baru.
“O, iya, Pak kemarin saya mendapat kabar untuk memasukkan lamaran ke SMA tempat sekolahku dulu. Tapi saya nggak mau, enggak tahu kenapa saya optimis dengan sekolah ini,” kataku.
Sambil mengibaskan kertas di tangan, Sang Rekan berkeluh “Iya, Pak. Kita di sini sebagai perintis. Dengar-dengar kalau sekolah ini maju, Pak Ketua Yayasan juga ingin menjadikan kita sebagai pengelola. Kita yang mbabat alas, katanya mau dijadikan pengelola kelak,” jawab Pak U turun dari tempatnya. Kami berdiri, lalu masuk ke Base Camp.   

Tak kusangka, waktu berlalu begitu cepat. Setelah mengisi perut di base camp seadanya. Kami pun rapat koordinasi. Tausiah dari Ketua Yayasan masih terukir jelas dalam ingatanku. Begini kata beliau:
“Pak, kita ini perintis. Kita pejuang. Kita yang pertama dan yang mencari jalan. Mereka yang masuk di tahun kedua hanya nemu. Kita tahu semua yang ada di sini masih dalam keadaan terbatas. Mungkin Pak U yang sudah tahu kondisi rumah saya bagaimana. Kondisi meja makan saya bagaimana. Itu ruang sebelah, itu kamar saya Pak U. Begitulah Pak, seorang pejuang akan lebih mendahulukan mereka daripada dirinya sendiri. Kita sudah mengambil langkah, Pak. Tinggal bagaimana kita maju ke depan.”
Aku rasa hari itu adalah hari PMK yang sangat jitu. Pendidikan Moral dan Kepribadian yang aku belum pernah kujumpai dimanapun. Terima kasih, kawan. Semangat kalian berkobar dan menyala di sanubariku.  



Selengkapnya.. - Pagi itu Masih Basah

Jumat, 02 November 2012

Warna-Warni Teman Kecil

Dulu, aku pernah berjanji dan sebagai manusia yang takut, aku ingin menepati janjiku dulu. Janji yang kubuat padamu kawan blogku tentang foto Mading.

 Ini dia foto yang telah kumaksudkan untuk kupajang. Pernah ngga terpikirkan kalau MADING ini terbuat dari pintu rumah beserta grendelnya? 

Ya, beginilah jadinya. Tak tahu darimana ide itu muncul di otakku. Begitu melihat selembar pintu tak terpakai "Ah, ini saja Pak," kataku kepada Kepala Sekolah yang menemaniku. Nyatanya, Kepala Sekolah pun meragukanku "Beneran bisa, ini Pak? Aku ikut kamu lho, awas kalau nggak jadi," Kepala Sekolah sangsi. "Tenang saja, Pak. BEress"
Semula cuma lembaran pintu saja, kemudian bersama Kepala Sekolah kubungkus dengan karpet hijau tak terpakai. Nah, itu saja. Kata Kepala Sekolah "sudah selesai, Pak". Kujawab, "belum Pak, sedikit lagi." Kugergaji kayu sisa-sisa ventilasi. Kubuat untuk bingkai. Sesudah dipaku, kutempelkan lakban hitam. "Nah, sekarang sudah jadi, Pak." 

Manis bukan? Ketika jam istirahat, anak-anak keluar. Baru kali itu mungkin mereka melihat mading yang aneh. Papan mading sudah terselesaikan. Sekarang tinggal ornamennya. Karya teman-teman kecil akhirnya satu per satu masuk. Gambar, puisi, cerpen, kata-kata mutiara, pantun semua ada. Tapi memang karena masih dalam proses awal, tentu masih banyak kekurangan. 


Kami juga mengadakan rapat rutin untuk mengevaluasi hasil kinerja kami. Rapat ini juga merupakan ajang untuk berkeluh kesah, menyampaikan ide-ide yang tersimpan. Terbukti baru mading yang mengadakan rapat dan dengar pendapat mereka. Wah, banyak juga ide-ide gila teman-teman. 
Banyak kekurangan sudah pasti. Tapi dari situlah kami belajar. 
Kami belajar untuk terus berkarya dan berkarya. Urusan hasil? ah itu urusan belakang. Ide mereka hebat-hebat. Sayang, kemarin-kemarin belum tersentuh. 
Harapanku, semoga wadah ini dapat dijadikan tempat untuk berbagi dan berkreasi. 

Oiya, jujur saja, dari Mading ini juga muncul ide lagi yaitu ide untuk membentuk kelompok sastra mini. Maksudnya, daripada acara G`&dapan lebih baik mempersiapkan sejak dini. Sekaligus untuk menunjukkan kepada teman-teman kecil bahwa yang aku ajarkan tidak hanya Lonthong Dikethok-kethok alias Omong thok. Alhamdulilah dukungan dari teman-teman dan juga ketua yayasan sudah terkantongi. Tinggal masalah waktu dan aksi...





Selengkapnya.. - Warna-Warni Teman Kecil