Sabtu, 29 September 2012

Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 3)

Kalau istirahatnya sudah cukup, Markitlan. Mari kita lanjutkan. Berpacu lagi dalam alunan suara alam dan riuhan pohon-pohon jati yang berjajar kokoh. Memandang kami dengan pandang keraguan. Apakah ini yang selalu dilakukan oleh mereka yang lebih besar dari kita? Tapi sayangnya, kami bukannya keder melihat gugusan pohon jati yang membentang. Kami malah asyik mengamati keadaan sekitar. Benar-benar Blora banget. Sampailah kami ke rumah Bapak Kepala Desa Menden. Waktu itu sudah senja, Kawan. Gerimis juga. Suara azan magrib bersahut-sahutan membuat kami was-was. Block note dengan muka lusuh kami keluarkan. Tanpa aba-aba, diskusi dan obrolan segera berlangsung dan kami mulai sibuk dengan catatan-catatan. Ada juga yang sibuk mencari posisi yang pas untuk memotret. Benar-benar mirip wartawan yang belum jadi. Jujur saja, obrolan kami masih tak tentu arah. Penyebabnya adalah rasa capek yang terus mendera dibalut dengan kekhawatiran yang masih berdiri kokoh. Kekhawatiran ini boleh jadi merupakan suatu manifestasi dari pertanyaan kami. Pertanyaan yang selalu muncul menghantui. Kalau kegelisahan ini boleh diibaratkan, mirip dengan wartawan yang sedang dikejar-kejar deadline. Pertanyaan bak setan itu adalah "Dimana kita akan bermalam?" Sementara hari sudah gelap. Untunglah, Bapak Kepala Desa ini menangkap kekhawatiran kami. Beliau bertanya memecah kegundahan "Nanti mau tidur dimana, Dek?" tanya beliau. Plasss... Pertanyaan yang sangat susah dijawab. Merinding. Malu. Kami saling pandang, menandakan kebingungan dari goncangan hati terdalam. Hati yang dengan kekuatan ajaibnya menyalurkan berbagai tanda di muka kami. "Emmm...Rencana awalnya sih kami mau menginap di Pom Bensin, Pak. Tapi kok?" ujarku dengan bahasa Jawa kromo inggil. Kikuk. Bagai suara Zeus yang memecah keheningan rapat dewa-dewa dalam mitologi Yunani, Pak Lurah berkata "Begini saja, kalian tidur di rumah saya. Rumah saya ada dua. Kalian tidur saja di rumah saya yang satunya itu. Tapi rumahnya belum jadi, bagaimana? Ya keadaanya masih kotor seperti itu," kata Bapak Lurah. Begitulah, Kawan kulihat muka teman-teman langsung berubah menyatu dalam satu tanda kebahagiaan. Benar-benar mirip muka wanita yang ingin dilamar pujaan hatinya. Yesss!! cocok banget cah... Berangkatlah kami ke rumah itu. Satu hal yang saya acungi jempol. Bapak Lurah ini benar-benar baik. Sudah diberi tumpangan menginap, diberinya pula kami makanan. Wah jadi nggak enak sendiri. Berkat itu pula, mie instan perbelakalan kami masih utuh. 
 (Pak Lurah di Tengah, yang nomor dua dari kanan  adalah bapak kandungnya)
Paginya kami masih berbincang dengan dengan Pak Lurah beserta keluarga. Oiya, ini lah Pak Lurah yang baik hati itu. Jangan salah. Beliau dulu juga kuliah di Bojonegoro (Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia) dan pernah hidup susah sebagai mahasiswa. Kata Bapak kandung beliau, dulu sewaktu mahasiswa malah beliau sering ngamen untuk biaya kuliah dan biaya makan. Jadi  tahu apa yang kita alami. Selain itu, menjabat sebagai Kepala Desa, beliau juga berprofesi sebagai dalang lho. Keren bukan? Katanya sih belajar otodidak. Wuh mantap sekali Bapak yanag satu ini. Berangkatlah kami ke rumah Sedulur Samin yang ternyata masih ada ikatan saudara dengan Pak Lurah. Kami diantar oleh Bapak kandung Pak Lurah. Sekarang mulai deh pelajaran kehidupan yang sesungguhnya. Pelajaran yang tidak hanya teori, tapi juga praktik dan sudah dibuktikan terlebih dahulu dalam kehidupannya. Biar oke,bagaimana kalau kita buat empat episode? Nah yang episode terakhir ada di bawahnya. Kukupas habis deh buat kalian. Tapi tenang, agar tidak bosan ada dokumentasinya kok jadi kami tidak bohong. Ini dia Sedulur Samin yang juga masih ada ikatan saudara  dengan Pak Lurah. Santai dan sendu bukan??

jujur saja, tentang namanya saya lupa, Kawan. Tapi kalau mau, mungkin nanti akan saya coba buka catatan harian saya. 
Selengkapnya.. - Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 3)

Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 2)

Selengkapnya.. - Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 2)

Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 1)

Malam segera tiba. Sinar laser orange jingga menyerbu bahana menandakan kudetanya kepada sang sore. Angin bergulung-gulung menyapu segala yang ada di hadapannya. Inilah angin di musim kemarau. Menampar semua tanpa terkecuali. Sampah, daun, semua dilibas menjadi satu dalam adonan mixer alam yang berani. Aku yang terpaku medadak kaget karena dinginnya yang tak terkirakan. Kutarik jaketku. Kubungkus kepalaku. Dengan pandang yang tak berubah kubidikkan busur panah mata ini ke bulan. Bermenung mencari-cari tentang makna dan tanda dari kehidupan. 
Memang inilah angin di musim kemarau yang ganas. Dia datang kepadaku. Mengajakku bercengkerama.  Menguras otak dan logikaku. Kemudian membawa diriku kepada suatu hari yang di sanalah aku belajar tentang kehidupan. Pelajaran kehidupan tanpa pernah ada ulangan harian. Tanpa paksaan, tanpa perintah, dan tanpa celaan. Dalam pelajaran ini pena hitam tidak pernah menunjukkan mukanya. Justru tinta merahlah yang terus menyeruak. Menandai pesan-pesan penting dalam dalam setiap tuturan dan materi. Tentang hidup dan kehidupan yang bahkan kita sendiri tak tahu sampai kapan. Ingatank ini meyeretku untuk meloncat bebas dan kemudian duduk kembali di altar kenangan berjuta paket kejutan. Paket kejutan yang bagaimanakah?
Paket kejutan yang merupakan bonus indah dalam hidupku. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa berkunjung dan berjumpa dengan masyarakat Samin. Sudikah kiranya kawan-kawan mendengar ceritaku? Oh iya, siaapakah masyarakat Samin itu? Untuk mengetahui definisi masyarakat Samin ini biarlah kalian yang menentukan. Bagaimanakah mereka pilihlah logika yang baik dari ceritaku ini, Kawan. 
Oke, aku akan mulai bercerita tentang satu hal yang belum pernah kujumpai selama hidupku. Ambil dan rekamlah kalau sekiranya itu menarik. 
Once upon a time. Pada suatu hari. Wonten dateng salah satunggalipun dinten di tahun 2011 (harinya saya lupa. Maksuda hati mau membuka catatan harian untuk melihat hari dan tanggal, tapi cataan harianku tak ada daftar isinya. Jadi malas juga). Ketika itu, hape mungilku menjerit karena dikagetkan oleh kekuatan  besar yang sangat mendadak. Kawan Mustakim di Jogja mengirim sms yang isinya "Ayo ke Samin, nanti sekalian mampir ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Kamu yang jadi tour guidenya?" Sontak aku kaget, kok mendadak sekali. Berpikir sebentar, kubalas pesan singkat itu "Boleh. Kapan, siapa saja?" balasku. Tak lama berselang hape jadul mungilku bergetar, kubuka "Sama anak-anak LPM Pendapa. Sekalian buat ngisi majalah," jawabnya. Kupencet hape itu lagi "Oke, sms kalo udah sampai di Blora ya?". "Siapp," balas Mustakim....(Bersambung dulu. Tim favorit Arsenal sedang bertanding, jadi harus jeda untuk memberi dukungan). Sabar yaa....
Selengkapnya.. - Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 1)

Kamis, 27 September 2012

Pendidikan atau Pembunuhan?

Masa transisi adalah masa pergantian dari keadaan semula untuk berubah menjadi yang lebih dari keadaan semula tersebut. Seorang manusia akann mengalami perkembangan dan perubahan. Dari bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa. Seringkali masa transisi ini hanya dipandang sebelah mata dan tidak dibarengi dengan hal-hal yang menunjang. Bahkan, tak jarang yang menganggap masa transisi ini adalah suatu virus yang akut dan harus dimatikan. Mari kita berpikir sejenak. Ambil contoh masa pergantian umur, dari yang semula belum bisa berbicara menjadi bisa berbicara. Tentu memerlukan perjuangan yang besar. Perjuangan yang besar perlu modal dan kekuatan yang besar pula. Lihat saja, untuk dapat berbicara seorang anak kecil harus lebih peka terhadap keadaan sekeliling. Dia akan mencoba mengkritisi baik dengan cara menanyakan maupun menirukan keanehan di lingkungan sekitarnya. 
Masa transisi ini sering disebut sebagai masa-masa labil yang harus selalu diarahkan. Diarahkan bukan dimatikan. Sengaja saya cetak tebal untuk menandai pentingnya kata-kata ini. Hal ini lah yang kurang mendapat perhatian dari manusia-manusia di sekeliling kita. Berhari-hari aku memikirkan hal ini. Hal yang mungkin sangat kecil tetapi berdampak sangat besar. Dalam bidang pendidikan, ternyata sangat berpengaruh dalam upaya pembentukan karakter dan diri anak. Masih jelas terngiang di telinga ketika ada intruksi dari pihak atasan untuk "kalau murid tidak bisa tenang, suruh keluar saja" atau "mentalnya harus dibangun, buat agar down dulu. Lalu naikkan." Bahkan, masih ada guru-guru yang menganut gaya pendidikan konservatif zaman pendudukan kolonial. Jeweran masih berlaku untuk menertibkan siswa yang perlu penanganan lebih. Sangat memprihatinkandan selalu bertentangan dengan diri pribadi saya. 
Bagaimana mungkin seorang anak yang barangkali mempunyai tingkat kecerdasan nonakademik (kecerdasan akademik kurang) dimatikan dengan cara seperti itu? Sama sekali aku tak bersimpati dengan ini. Aku yakin bahwa aku akan mendapat banyak mendapat kritikan dari pengajar-pengajar tua yang masih menganut sistem pendidikan lawas. Akan aku hadapi semua. Mereka masih labil, masih perlu penanganan yang sangat ekstra. Sangat mungkin sekali sikap aneh mereka adalah perwujudan dari berbagai faktor. Baik lingkungan, orang tua, kondisi batin, atau sensitif terhadap guru yang bersangkutan. Bervariatif. Penggojlokan seperti itu hanya akan melemahkan kondisi batin siswa. Memang dipandang dari dari segi real tidak seberapa terlihat. Tapi, bagi siswa yang mempunyai kondisi batin minder, downsyndrom akan meledak sedemikian hebat. 
Akan saya uraikan cara pengajaran saya di kelas, semoga dapat didiskusikan dan diberi masukan agar lebih baik: 
  1. Saya lebih suka menggunakan metode santai. Boleh duduk dimanapun, tidak harus di bangku. Yang penting siswa nyaman dalam belajar. Kita tak pernah tahu akan jadi apa anak didik kita kelak. Mungkin mereka ada yang mau menjadi penulis yang ide-ide kreatifnya dapat muncul dengan melepas bangkunya. 
  2. Mengapa harus menggunakan metode penggonjlogan mental dan fisik kalau kata-kata masih terbukti ampuh. Banyak yang memprotes hal ini. Alasannya, terlalu teoretis. Wajar, karena metode ini perlu modal yang serius yaitu kedekatan interpersonal terhadap masing-masing siswa. Tidak semua guru mempunyainya. 
  3. Buatlah mereka bangga dengan apa yang dia miliki. Berikan contoh-contoh panutana yang mungkin dapat dijadikan acuan untuk maju dan berkembang. 
  4. Turba. Turun ke bawah untuk mencari tahu bagaimana dan seperti apa lingkungan dia berasal. 
  5. Gunakan intonasi penyampaian yang 3SH. (Slow-Happy-Serious-Happy-Shock-Happy) agar tidak monoton dan menjemukan. 
  6. Ajak  mereka berkreasi dengan bakat nonakademik dan daya intelektual yang membangun. Misal: buat penemuan baru sederhana, dan beri apresiasi. 
Kita tahu tidak mudah untuk menjadi seorang pendidik. Kita juga tahu tidak mudah memeberikan amanah orang kepada kita. Setiap orang mengalami proses pembelajaran masing-masing. Ada yang prosesnya lambat (sering dikatakan bodoh, lemot, maupun tel mi), ada yang cepat (sering dicap sebagai orang jenius, cerdas, pintar), ada yang bakat dan jiwa kreasinya meledak-ledak (sering dianggap aneh karena beda dengan yang lain dan dipandang memerlukan penanganan serius), dan sebagainya. Setiap orang akan menemukan titiknya masing-masing. Cepat atau lambat titik tersebut datang sering tidak dihiraukan dan malah dipandang sebagai ancaman yang harus dibunuh sampai ke akar-akarnya.


Selengkapnya.. - Pendidikan atau Pembunuhan?

Senin, 24 September 2012

Super Women

\m/ Malam menjuntai. Mengiringi kepergian sang sore dengan beribu ucapan terima kasih. Di ujung dunia ini kuraih buku berdebu yang tersimpan di rak. Kuambil dan perlahan-lahan kubuka. Buku ini beerjudul "Bimala" karya sastrawan legendaris kebangsaan India, Rabindranath Tagore. Aku berani melangkah ke fiksi ini karena buku tentang esai sudah selesai kumakan. "Pendidikan Kaum Tertindasnya" Paulo Freire sudah masuk dalam memori ingatanku. Dua-duanya buku yang baik. Memang beginilah kalau pengarang yang juga pemikir. Kembali ke Tagore. Karya Tagore yang lain juga sudah ke embad sebelumnya dengan tanpa basa-basi. Sayang, karena puisi aku kurang suka. jadi kurang begitu mendalami. Perlahan-lahan aku mulai belajar tentang cinta, wanita, dan perjuangan. Bimala sangat berbeda dengan Matnya Maxim Gorky yang diterjemahkan Pramoedya Ananta Toer dengan judul "Ibunda". Dalam Mat sosok wanita (Ibunda) yang digambarkan sangat radikal, lain halnya dengan Bimala dalam Bimala. Bimala sosok yang apa adanya, manusiawi. 
\m/ Bicara tentang wanita, Indonesia punya R. A. Kartini. Seperti yang sudah disenggol Pram dalam "PAKSA (Panggil Aku Kartini Saja)", wanita yang satu ini menjadi legenda di bumi Merah Putih. Tapi, apa yang beliau perjuangkan? Tak banyak yang tahu. Padahal, tanggal 21 April diperingati sebagai hari pahlawan emansipasi wanita ini. Kartini yang hisup dalam pingitan selalu berusaha belajar dengan buku-buku yang diperolehnya. Buku-buku apapun saja. Selain itu, dia juga mencoba menembus tebalnya tembok pingitan ini dengan diskusi. Kepada temannya Estelle Zeehandelar di Belanda, dan banyak lagi. Surat menjadi alternatif Kartini sebagai media berkomunikasi. Kini, suratnya itu disatuka dan dijadikan sebuah buku yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang diterjemahkan dari judul aslinya berbahasa Belanda "Door Duisternicht to Licht". Beginilah harusnya wanita itu. Bukan hanya mementingkan style, gaya rambut, perasaan, belanja, merias wajah, ah semua hanya demi sebuah kepantasan belaka. Mungkin sudah kodratnya, entahlah. aku juga tak tahu. Selain Kartini, disebutkan dalam buku yang sama (PAKSA) Pandhita Ramabai juga merupakan tokoh wanita yang membawa  India bangkit. Maaf, untuk Pandhita Ramabai belum kupelajari lebih jauh. 
\m/ Masih tentang wanita, Ir. Soekarno juga pernah menulis buku yang berjudul Sarinah. Buku yang sangat mengerikan yang banyak mengupas tentang perjuangan. Setelah dari masa ke masa yang silam, coba kita tengok ke hal yang kemarin. Marsinah pun begitu. Seorng buruh yang menglami penyiksaan berat sampai akhir hayatnya. 
Wanita yang manakah yang akan kamu pilih?? Pertanyaan yang sangat bagus. 
Yang pertama, adalah wanita yang mau diajak untuk hidup dan berjuang. 
Yang kedua. adalah wanita yang selalu bersikap apa adanya. Tak perlu berpura-pura hanya demi sebuah tujuan. 
Yang ketiga, wanita yang mengerti dan menerima keadaan kita sebagaimana adanya. Ini adalah syarat teoretis yang akan berlawanan dengan yang terjadi di dunia realitas. Apa jadinya esok entahlah. Yang pasti karena misteri itulah kita hidup di dunia. 
Selengkapnya.. - Super Women

Minggu, 23 September 2012

Ruang Kosong


Malam kian mendekat. Berjejer dengan ribuan burung yang siap bertengger untuk memejamkan matanya. Di atas sana semburat merah sang senja memoles keindahan kanvas kehidupan. Ditambah dengan pacu suara azan yang terus menerus bergema sahut-sahutan. Seolah Masjid dan Musolla di bumi ini memegang tongkat estafet untuk terus disampaikan. Entah dimana ujungnya, aku pun tak tahu.
Di sini, di pelataran senja ini. Aku terus bergelut dengan pikiranku. Bercengkerama dengan cita dan asaku. Kutelisik lebih jauh dalam sanubariku yang beku. Leleh. Kemudian menceruat ke atas merasuki otak hinaku. Dua hal yang terus menerus berputar-putar. Mirip jamaah haji mengelilingi kakbah. Pusar bumi. Putaran ini akhirnya sampai pada porosnya yang kemudian dipadu dengan tenaga gravitas hingga kokoh. Berputar terus tanpa mau jatuh walau disentuh.
Hal yang pertama adalah cita-citaku untuk bisa bersekolah lagi. Sesuatu yang selalu kuidam-idamkan dari kecil. Aku tak ingin sekolahku putus sampai di sini. Pernah suatu hari Bapak memintaku untuk masuk Pondok Pesantren seusai SMA. Aku yang memang dari awalnya kurang begitu paham tentang agama enggan. Tapi, apa mau dikata. Kehidupan ekonomi keluarga kami di ambang sederhana. Kusanggupi tawaran Bapak. Tapi dengan syarat. “Bapak, aku mau masuk Pondok Pesantren taapi aku tak ingin putus dari ilmu.” Walhasil. Suatu kabar mengejutkan tiba dari kedua orang tuaku. Berkat dorongan tetanggaku. Tetangga yang sama-sama hidup menderita, dan berhasil menguliahkan anaknya. Bapak dan Ibu mendekatiku.
“Kamu ingin kuliah?” Tanya bapak. Kupandang wajah Bapak yang sayu tapi menyimpan semangat yang berkobar.
“Iya, Pak. Pingin sekali,” kutundukkan mukaku. Kali ini entah mengapa rona muka Bapak seolah magnet utara dan mukaku pun tak berbeda dari magnet utara itu. Aku tak berani memandang muka Bapak.
“Besok kau coba daftar dulu di salah satu salah satu Universitas Negeri di Semarang, katanya di sana biaya tak terlalu mahal,” pinta bapak kepadaku. Ibuku diam. Memandangku dengan senyum ramah.
Perasanku tak karuan. Senang, sedih, haru, bergulat menjadi satu dalam palet tinta. Sayang, aku gagal menembus kampus itu. Sesuatu yang sudah kuduga sebelumnya. Akhirnya sesuai dengan rencana awal.  Kutolakkan kakiku ke Yogyakarta. Di sana banyak hal yang dapat kupelajari. Dari pengalaman organisasi. Perjumpaan dengan tokoh-tokoh yang dahulu hanya bisa jadi angan-angan. Ilmu tentang sastra yang sampai saat ini selalu menggodaku. Hingga akhirnya bisa kutamatkan kuliah S1 ku dengan kebanggaan yang penuh. Nilai tak mengecewakan. Hanya ada satu nilai C yang memang tak akan kuulang. Itu karena si Dosen masih menganut system konservatif gaya kolonial Belanda almarhum. Kini, sama halnya dengan mimpiku sebelum lulus. Aku ingin melanjutkan kuliah S2. Walau aku tahu, untuk yang satu ini perlu perjuangan yang sangat berat.
Pernah suatu kali kuutarakan niatku ini kepada Ibu. Bagaimana tanggapan Ibu? “Boleh saja, kalau mau kuliah lagi. Tapi dengan uangmu sendiri. Biar Ibu dan bapak gantian membiayai adik-adikmu,” jawab Ibu memandangku dengan belas kasih. Ya, setidaknya Ibu mengizinkan. Itu merupakan energy tambahan buatku. Sekarang tinggal bagaimana caranya untuk bisa melanjutkan kuliah. Itu yang masih menjadi tanda tanya besar bagiku. Aku tak ingin petualangan hidupku dengan ilmu berakhir sampai di sini. Petualanganku tentang cara mendirikan organsisasi pendidikan baru kujejaki. Di SMP tempatku mencari pengalaman. Cita-citaku untuk tetap bisa tetap kuliah masih membayang bagai impian-impian indah. Impian yang selalu membawaku untuk terus semangat. Bernyanyi dengan keringat yang bercucuran
Adapun hal kedua yang menyita pikiranku adalah tentang life style (gaya hidup). Aku tak mau melepas jubahku untuk berganti dengan kerlipnya kemewahan. Sengaja kupelihara pakaian-pakaian bututku. Motor bututku. Aku ingin tetap menjadi manusia dengan tidak memuja keduaniawian belaka. Masih hangat di pikiranku tentang Umar bin Khattab yang bersahaja. Tetap berdiri dengan kesederhanaan yang dimilikinya. Sesuatu yang membuatnya bisa akrab bergaul dengan manusia lainnya. Juga dengan Munir Said Thalib, yang selalu ditemani sepeda motor bututnya. Dengan motor bututnya inilah kasus-kasus kemanusiaan coba ia tangani. Coba kita piker, kalau saja wanita terus menerus mengurusi masalah kecantikan dan pakaian apa jadinya. Sama halnya dengan itu, kalau life style yang berlebihan terus dikumandangkan. Akan hancur. Kusadari sungguh kedua tokoh sangat bersahaja dalam hidup. Kawan, kedua hal inilah yang terus menerus menyita perhatianku. Menempeli virus-virus baru untuk tetap hidup serta menghidupi kehidupan. 
Selengkapnya.. - Ruang Kosong

Sabtu, 22 September 2012

Cerita tentang Kawan Kecilku

 Kadang aku merasakan kalau hal yng terjadi dalam mimpi berjalan di kehidupan nyata. Persis sama dengan mimpiku itu. Masih teringat jelas dalam ingatanku ketika itu aku bermimpi tentang dunia yang aneh. Sama sekali baru. Tokoh-tokohnya pun baru. Kuanggap itu hanya angin lalu saja. Angin muson yang berhembus sesuai dengan jadwalnya. Angin yang selalu memberi warna dalam kehidupan. Ia akan sangat banyak dipuji oleh berbagai bunga di seluruh penjuru dunia. Kedatangannya akan senantiasa dinanti-nantikan. Kubiarkan begitu saja. 
Pada suatu hari kureka-reka kembali imajiku itu. "Bukankah ini pernah terjadi?" pikirku. "Tapi dimana dan pan?" Lama aku terdiam. Baru kemudian aku ingat bahwa ini terjadi tepat di ujung mimpiku yang telah kututu p dengan selembar kain putih. Mimpi itu adalah mimpiku tentang pendidikan, Kawan. Kini, tiap hari aku bersanding, bercerita, tertawa, serius, bersama mereka. Bersama kawan-kawan kecilku. Mereka datang kemari untuk menuntut ilmu, demi sebuah pendidikan. Tahukah kau kawan dimana rumah mereka? Darimana mereka berasal?
Hal yang sangat tidak pernah kusangka. Mereka berasal dari berbagai pelosok Blora. Dari desa-desa perbatasan di Blora. Kota yang sama sekali jauh dari hiruk pikuk keramaian. Tak seperti Jakarta, Jogja, Semarang, Bandung, atau belahan kota yang lain. Beuntunglah aku bertemu dengannya. Aku jadi bisa belajar tentang semangat hidup. Semangat yang tak hanya menjadi sloga-slogan bualan belaka. Lihat mereka kawan, mereka berasal dari kondisi keluarga yang pas-pasan. Latar belakang keluarga pedesaan yang bervariatif tetapi sangat menjunjung tinggi kekeluargaan dan gotong royong. Semangat kawan kecil yang selalu membara ini yang membuatku sedikit demi sedikit belajar memahami hidup. Tidakkah kalian iri kawan, manusia-manusia semacam ini dengan begitu leluasa tertawa. Bermain dengan teman-temannya. Menangis sekeras-kerasnya. Tanpa pernah tahu akan jadi apakah ia kelak. Mereka yang berada dalam usia ini belum memikirkan kebutuhan dunia. 
Hari itu, Sabtu 15 September 2012. Hari ketika teman-teman kecil diperbolehkan pulang untuk sekadar bertemu dengan orang tuanya. Sehari saja. Karena Minggu malam sudah harus kembali ke Ponpes. Mereka dengan suara lantang berteriak "Iiiiiyyyyessss," teriak mereka. Datang seorang teman kecil kepadaku. "Pak, nanti saya ikut ya...," kata dia. Teman kecil ini bernama Ridwan. Satu dari banyak teman kecil yang berprestasi. "Iya, boleh tapi Saya pulang pakai angkot. Enggak apa-apa?" sahutku. "Lhoh memang motor Bapak diamana?" Ujar Ridwan. "Motor Saya masih hancur Wan, kemarin Saya kecelakaan," jawabku. 
Siang itu seusai jam pelajaran berakhir segera kami berjalan beriringan menuju pangkalan angkot Biandono. Pembicaraan pun dimulai dengan halhal yang remeh temeh. Sewaktu aku bertanya kenapa tidak dijemput bapak atau ibunya Ridwan berkata "Bapak sama Ibu sudah cerai, Pak. Saya sekarang tinggal sama Ibu, sama adik," jawabnya. Masya Allah. Jiwaku tersentak. Kupandangi kawan kecilku ini sambil berjalan. Dengan langkah seadanya, berpeci miring, berbaju putih ditutup dengan jaket kebanggannya, dan bercelana biru Ia lmenunduk seolah berdoa. "Oh, maaf Wan. Saya tidak bermaksud. Tapi Wan, itu bukan alasan buat kamu malas-malasan. Kamu harus menunjukkan bahwa kamu bisa," kataku sambil menepuk pundaknya. Setengah menyesal aku berpikir ini anak hebat. Walaupun berangkat dari kondisi keluarga yang broken home tapi dia cerdas. Paling menonjol di kelas dalam hal akademis. 
Sesampai di rumah. Kuantar dia pulang ke desa tempat tinggalnya. Jauh kawan. Jarak dari rumahku ke rumahnya sudah jauh, apalagi dengan sekolahan. Sepulang mengantar, aku makan lalu duduk di samping rumah. Menerawang mega putih yang terus bergulung-gulung. Pikirku, jika saja aku tidak turba (turun ke bawah) seperti ini apa aku tahu bagaimana kondisi kawan kecilku. Ini baru satu dari sekian banyak kawan kecilku. Entah mengapa aku lebih suka berada di antara mereka. Mereka yang berangkat dari kesederhanaan. Bukan mereka yang beranjak dari keglamoran. Tawa sederhana mereka jujur. Bukan dibuat-buat. Doaku semoga mereka sukses nantinya. 
Oiya ada satu karyanya sudah kuketik dan tersimpan dalam PCku. Ini dia: 

                                    Kau Melebur di Sana
Buah karya: Mohammad Ridwan

Kau melebur di sana…
Dipermalukan musim gerhana
Yang terselubung aroma darah
Dan tanah yang berembun air mata

Kau melebur di sana…
Kala sang surya melepaskan kulit kami
Hingga kawanan peluhmu yang siaga
Menghalau kepulan debu
Yang mengepung dari negeri asing

Kau melebur di sana…
Saat air bah berlarian
Memanjati hamparanm tanah using
Dengan jeritan malang
Serta busung lapar

Kau melebur di sana…
Saat air mata telah mengguruh menjadi telaga
Hingga timba yang kau ayunkan
Menanndaskan kepingan dahaga
Yang merintih di setiap gigir luka kami 

Kata Ridwan jujur,  "ini saduran Pak, tapi saya ubah dan tambahai lagi. 


Selengkapnya.. - Cerita tentang Kawan Kecilku

Selasa, 18 September 2012

Mimpi Manusia Kecil


Di tanahku ini. Tanah kelahiranku. Setiap kali musim kemarau datang semua terlihat semangat.  Semangat untuk bisa mendapatkan air bersih. Mereka bersemangat seolah penganggur telah mendapat pekerjaan baru. Di layar televisi banyak disiarkan berita tentang kekeringan di berbagai daerah. Tetapi tidak untuk di sini. Kering, tandus, dan panas. Itulah asupan makanan kami. Asupan gizi kami untuk terus hidup dalam segala keterbatasan. Dan kekeringan di tempat tinggal kami ini pula sering luput dari liputan. "Cobalah tengok daun dan ranting pohon dan kebun kering semua". Yang tersisa hanya jeritan tangis anak-anak kecil karena ditinggal main kawannya. 
Terkadang muncul pikiran untuk mencari formula penanggulangan kekeringan ini. Dari tandon air raksasa, sampai pikiran untuk menemukan dan mengelola sumber air yang sedikit untuk dapat dilipatgandakan menjadi berlimpah ruah. Sayangnya, aku buka professor, aku juga bukan peneliti-peneliti jenius yang selalu sibuk dengan ide-ide gilanya. Aku hanya manusia biasa. Yah, manusia sebagai kebanyakan orang. Bukan manusia-manusia dengan sejuta predikat dan kebanggaan. Miris, setiap kali lewat sering kujumpai berpuluh manusia bermandikan peluh. peluh yang selalu mengucur ke segala penjuru badan. Hingga tak satu titik pun kering. Hal yang sangat berlainan dengan desa tempat tinggalku. 
Selengkapnya.. - Mimpi Manusia Kecil

Sabtu, 15 September 2012

Antara Kalpanax dengan Panu

Entah kenapa banyak yang bangga dengan segala macam kepalsuan. Di sana, di ujung dunia yang kecil di atlas sama halnya. Terlebih dalam hal pendidikan, kepalsuan akan sangat menyeruak. Kita pun tak bisa menyangkal dengannya. Seserhana saja, coba perhatikan apa saja yang dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin kedatangan tamu dari induk atau bos. Dari Dinas Pendidikan, dari Mendteri Kebudayan, atau malah dari Presiden. Banyak sulapan-sulapan yang tak asyik datang tanpa diundang. Dekorasi dan makanan yang serba berlebihan muncul di hadapan tamu-tamu. Intinya adalah kepantasan. 
Di lain pihak, kebenaran direkayasa. Sudah menjadi rahasia umum kalau ada orang naik sepeda jatuh di dekat pengendara sepeda motor, maka si pengendara sepeda motor itulah yang dipersalahkan. Kebenaran macam apa ini? Sama halnya kendaran mini dengan kendaraan-kendaaraan mono yang lain. Terkadang saya berpikir, bagaimana bisa hal ini terus berjalan? bahkan, masyarakat sudah mengamini dan tak jarang yang bahkan menjadikannya budaya. Budaya untuk dengan sengaja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Bawa saja kepada pihak yang berwajib. 
Saya yakin hal ini pun tak jauh beda. Entah apa yang terjadi di negeri ini, sampai hukum dipermainkan sebegitu rupa. Ini hanya kasus kecil, Kawan. Dan saya juga makhluk kecil yang tak banyak tahu tentang permasalahan yang ada di negeri ini. Apalagi tentang perpolitikan. Politik busuk yang sama sekali tak asyik. Bagaimana denganmu? Jika diibaratkan Kalpanax dengan panu. Lebih kuat panu daripada kalpanaxnya. Panu ini terus tumbuh sedangkan kalpanax hanya satu obat yang mungkin esok hari berubah merk dan kemasan. 
Selengkapnya.. - Antara Kalpanax dengan Panu

Selasa, 11 September 2012

Merah Putih Duniaku

Lihatlah...

Tanahku rata. Bumiku hangus. Dimana-mana asap mengepul.
Langit biru yang cerah berubah hitam memendam sesuatu yang tak bisa diungkapkan
Kumpulan manusia berdasi berteriak mengeluarkan bau tak sedap. Virus yang mematikan

Di sana...
Di tanah berlumpur itu
Rangkaian tulang berkulit menunduk lesu
Berjalan mengengsot dengan dayungnya

Marahkah engkau wahai Duniaku...

Lautan birumu kini pekat oleh kucuran darah para pemberani
Pantaimu tak lagi berpasir putih, melainkan merah merekah bertabur peluru dan ranjau
Cukup Duniaku...
Tutup saja bukumu....

Selengkapnya.. - Merah Putih Duniaku

Derita Bangsa Kulit Cokelat



Malam merambat pelan. Memaksa mentari menggulung sajadah sinarnya. Kerlap-kerlip bintang muncul satu per satu bagaikan jerawat yang muncul di kening. Sekejap suasana ramai yang sering kita dengar lenyap seketika. Diganti dengan suara bercanda. Obrolan ringan anak kepada ayah dan ibunya. Kilau-kilau lampu semakin semarak mengisi kanvas hitam yang kelam. Di situlah terpikir sejenak tantang apa yang dialami negeri ini. Negeri yang rakyatnya dipaksa untuk tak berdiam lama lagi di bumi yang dicintainya. Bagaimana tidak? Mereka dituntut untuk segera pindah dan hijrah demi perut.
Begini, pertama dari keadaan alam sekitarnya dianggap tak cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Hal ini dikarenakan adanya penjajahan otak. Semua berkembang, teknologi berkembang, pemikiran berkembang, sampai usus pun ikut berkembang. Berkembangnya usus ini dibarengi8 dengan macetnya pikiran manusia. Kemacetan ini disebabkan terpusatnya pemikiran. Bahwa untuk mencukupi keinginan harus bekerja di pabrik, urbanisasi ke kota, dan sebagainya. Hal ini pun pernah kualami. Sayangnya, bukan orientasi materi yang menjadi tujuan utamaku. Akan tetapi pengalaman yang kucari. Selagi masih muda ingin sekali rasanya menjelajahi dunia. Keinginanku untuk keluar daerah adalah untuk melihat perbatansan negara ini. Banyak yang bilang bahwa kemajuan di jawa dan sekitarnya tidak dibarengi perkembangan di daerah perbatasan. Ini yang menjadi orientasi utamaku. Aku ingin mengabdi untuk mereka yang mungkin masih banyak membutuhkan tenagaku. Bukan di Jawa, tapi di pelosok sana.
Kedua, bagaimana bisa petani menggarap sawahnya kalau segala sesuatunya sudah bergantung pada hal-hal yang berbau kimia. Pupuk kimia, bibit padi pun sudah diolah dan dibumbui bahan-bahan kimia. Ketergantungan inilah yang menyebabkan ia tidak mampu berkembang. Bahkan, beras yang merupakan makanan pokok dan komoditas utama bangsa Indonesia akan terkena gusur. Lantaran beras impor yang lebih murah, yang lebih konyol lagi sebagian dari daerah-daerah di Indonesia mencanangkan penggantian beras dengan jagung, ubi dan sebagainya. Anehnya petinggi-petinggi daerah itu malah bangga. Apa yang mau dibanggakan? Jangan-jangan ke depan malah makanan pokok bangsa Indonesia akan diganti dengan roti. Lebih membahayakan lagi. Minyak yang konon cerita banyak terdapat di Indonesia, kini harus rela diganti dengan gas. Padahal sumber kekayaan mineral Indonesia telah diakui dunia. Sayangnya, rakyat Indonesia lebih banyak jadi kuli daripada mengolah dan menikmatinya sendiri. Sudah bisa ditebak, yang menikmati kekayaan mineral bangsa Indonesia adalah bangsa lain yang lebih memiliki alat. Kalau sudah begini, sumber kekayaan bangsa Indonesia yang selalu menjadi unggulan hanya akan jadi mitos yang kokoh. Yang lebih menggemparkan lagi, sumber kekayaan mineral Indonesia lama kelamaan akan diganti dengan sumber kekayaan tenaga kerja. Bahasa kasarnya adalah KULI. Kuli yang sering dihina dan ditendang juragan yang membayar seenaknya saja. Anehnya, manusia Indonesia lebih suka dengan ini.
Ketiga, manusia-manusia Indonesia lebih suka dengan segala yang berbau barat. Westernisasi ini dialami manusia Indonesia lantaran banyaknya media yang menyorot bintang film dengan busana dan gayanya. Manusia Indonesia yang dulu tak masalah dengan kaos putih polos dan sarungnya kini ditarik oleh peradaban baru. Peradaban budayabarat yang semakin berkuasa atas bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia kini tersedot oleh pikiran untuk kelihatan pantas. Kepantasan ini bagi sebagaian besar orang masih diartikan berpakaian yang sama dengan bintang idolanya. Bah! Bayangkan, merk-merk ternama dunia kini melanda warga desa. Mereka lebih suka memakai pakaian bermerk luar daripada pakaian buatan dalam negeri. Sudah bisa kita tebak berapa harganya? Ini dia yang membuat otak bangsa Indonesia semakin konsumtif untuk mampu dipandang orang.
Keempat, manusia Indonesia cenderung berpihak kepada segala hal yang baru. Tanpa melakukan filterisasi. Asal baru, cukup tenar. Sikat. Padahal belum tentu itu cocok buat dirinya. Sangat disayangkan, ini pulalah yang kemudian menjadi salah satu penyebab memudarnya karakter bangsa. Nasionalisme mulai tergerogoti sedikit demi sedikit. Tak salah jika kita runut ucapan Ir. Soekarno “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Ucapan Bung Karno ini ada benarnya. Bagaimana tidak, Indonesia kini dijajah oleh penjajah abstrak. Bukan penjajah konkret yang terlihat dengan kasat mata. Entah apa jadinya bangsaku ini kelak…   
Selengkapnya.. - Derita Bangsa Kulit Cokelat

Sabtu, 08 September 2012

Dari Kekuasaan dan Kematerialan, Hingga Kesialan


Sabtu, 07 Juli 2012


Dalam perjalanannya tak ada yang bisa menghentikan waktu. Begitupun tentang nafsu tak ada satu setan pun yang mampu menghentikan nafsu. Sama dengan nafsu manusia. Nafsu yang memaksa untuk terus berkuasa dan mementingkan pribadinya. Kalau sudah begini yang kemudian timbul adalah egoisme yang memuncak. Keserakahn dan ketimpangan yang terus merajalela. Tentu di sana mereka yang mengagungkan prinsip dan ide-idenya takkan diam begitu saja. Mereka akan berteriak dan berbuat segala sesuatu yang dikiranya mampu untuk menyadarkan perbuatan keblinger itu. Sayangnya, dari sekian mereka banyak berbicara tentang prinsip dan faham-faham itu masih silau dengan materi. Bagi sebagian besar orang ternyata masih memandang bahwa kebahagiaan itu ada dalam benda dan kekayaan. Pandangan yang keliru. Hal ini masih banyak kita jumpai dalam kalangan masyarakat. Mereka akan saling berebut untuk mendapatkan materi yangakan habis dalam sekali tenggak.
Mari kita tarik hal ini kepada mereka yang dikira mempunyai rem handal. Tentu muncul lagi pertanyaan. Apakah pemuka-pemuka agama yang dianggap suci itu tak tergoda dengan benda dan kekayaan ini? Sayangnya, tak semua menyetujui. Kita lihat bagaimana banyaknya pemuka dari agama-agama tertentu bersedia terjun ke jalan untuk kampanye karena dana yang diberikan kepadanya cukup menggiurkan. Lantas, kemana rakyat yang dijadikan jemaat ini dibawa? Hal yang sangat memprihatinkan jika dilihat dari segi sejarah, jawa selalu menempatkan pemuk-pemuka agama sebagai penasihat kerajaan. Di satu sisi pemuka agama juga manusia. Begitu yang kerap jadi alasan. Aku takkan pernah membenarkan tindakan ini.
Banyak hal yang tentunya dapat kita angkat untuk dibicarakan di sini, khususnya tentang duniawi yang takkan ada habisnya. Tak bisa dipungkiri, materi memang kita butuhkan. Tapi setidaknya materi bukan satu-satunya tujuan mengapa manusia hidup. Di bagian bumi sana, ada fatalis-fatalis yang masih mempercayai tahayul dengan melakukan ritual dan sebagainya untuk mendapatkan uang, gaji, istri, ahh! Sedangkan di bagian bumi yang lain banyak insan yang rela membuang jauh-jauh martabatnya untuk digadaikan dengan materi. Betapa memalukannya. Tapi kalu dilihat dari humanisnya tetap saja aku tak tega melihatnya. Bahkan, dulu semasa kecilku pernah kudengar cerita yang sangat menyedihkan. Seorang yang nggresek padi di sawah, rela memberikan kehormatannya untuk ditukar dengan berjumput gabah yang didapat dari rontokan panen. Bayangkan, betapa gilanya dunia ini. Coba kita lihat mereka yang katanya berkecukupan dengan enaknya melenggang di atas kendaraan dengan angkuh dan congkak. Realitas yang sangat berkebalikan. Rasa sosial sudah dibuang jauh-jauh dari peradaban. Sosial yang selalu didengung-dengungkan ini hanya merupakan kata yang terjelma dalam stiker dan spanduk saja. Takkan berbentuk nyata kalau begini. Kepahitan inilah yang harusnya membuat kita sebagai manusia dengan M besar mampu bersikap bijaksana. Keadilan sekarang masih terjelma dalam langit-langit rumah yang semakin jauh dipandang dari bawah. Jika kita kalkulasikan berapa banyak kata yang terlontar dari manusia kepada Tuhannya  tentang kehidupan yang makin hari makin mencekiknya? Tentu samudera yang luas ini pun takkan mampu membendungnya.
Selengkapnya.. - Dari Kekuasaan dan Kematerialan, Hingga Kesialan