Kamis, 27 Desember 2012

Jilbab atau Baju?

Fungsi makin memudar seiring perkembangan zaman

Makin hari makin banyak saja orang yang memakai jilbab. Syukurlah. Sebelumnya, perlu saya tegaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini bukan memuat tentang suatu apapun, melainkan kegelisahan saya melihat kontradiksi yang ada di kehidupan. 

Kembali ke pembahasan di atas. Seiring berkembangnya zaman, taraf hidup masyarakat pun semakin menanjak. Maksudnya, cara manusia untuk memenuhi kebutuhannya hidup semakin membaik. Memang begitulah seharusnya. Bukankah dalam hadis pun disebutkan bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin?. Sebagai contoh, lihat saja kepedulian manusia tentang pentingnnya gizi dan kesehatan semakin meningkat pesat. Sumber daya manusia pun demikian. Terlebih dalam bidang pendidikan, orang tua manapun akan selalu miris dan menangis kalau tidak bisa menyekolahkan anaknya. Mereka akan berjuang mati-matian untuk dapat memasukkan anak kesayangannya ke sekolah dengan cara apapun. 

Pesatnya perkembangan zaman ini pun diimbangi dengan minat dan pandangan manusia untuk dilihat sama atau bahkan lebih dari yang lain. Kompetisi dan iri dalam hal ini memainkan kuasanya. Salah satunya adalah gaya berpakaian, jilbab khususnya. Dahulu, jilbab lebih banyak digunakan untuk menandakan bahwa seseorang religius, santriwati kebnyakan. Pandangan ini didasarkan pada kaidah dalam ajaran agama Islam yang mengatakan bahwa seorang wanita harus sepandai mungkin menutup aurat. Batas aurat yang dimaksudkan adalah dari atas bawah, dari ujung rambut sampai kaki. Bagi pihak yang ekstrem, mereka akan menutup seluruh bagian tubuh terkecuali mata dan telapak tangan. Untuk di Indonesia hal ini masih jarang, lantaran mobilitas gerak wanitanya yang masih tinggi. 

Tak dapat disangkal, kini jilbab lebih mewabah. Terlebih beberapa wanita Top di Layar Kaca memakai jilbab yang akhirnya menjadi trend setter akhir-akhir ini. Lebih ke fungsi atau bentuk? Pertanyaan ini yang sering muncul dan menjumpai pikiran saya yang sangat kecil ini. 

Terkait dengan pertanyaan itu, pernah suatu kali saya berbincang-bincang dengan seorang kawan yang lebih melek agama. Beliau bilang "Kopyah seperti halnya jilbab sebenarnya tidak wajib dipakai". Sedikit demi sedikit kuresapi perkataan beliau. Ada benarnya, apa sih tujuan utama dari pemakaian jilbab dan kopyah itu? Untuk menutup aurat dan melindungi diri dari berbagai macam hal yang tidak diinginkan. Kalimat ini saja, kalau direnungkan akan memiliki kekuatan yang sangat besar.
 
Bandingkan dengan era saat ini. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman semua bisa jadi melenceng. Memang dengan balutan jilbab yang digunakan, seorang wanita itu terlihat lebih anggun. Nah, tersiernya sudah dapat, lantas bagaimana primernya??

Marilah pembaca yang budiman, mari kita berpikir dengan arif bijaksana akan pertanyaan ini.
Selengkapnya.. - Jilbab atau Baju?

Rabu, 19 Desember 2012

Lepas dari Belenggu

"Penasaran itu mengasyikan".

Mungkin kata di atas banyak dijumpai teman-teman pembaca dalam kehidupan. Cinta itu misteri, karena itulah cinta itu menarik. Pun masih senada dengan misteri itu ada satu kata lagi yang sering digunakan para filosof hidup itu misteri, karena misteri itulah kita hidup. 

Sungguh. Entah berapa lama rasa penasaran ini muncul terhadap seorang sosok bernama Tan Malaka. Selepas wisuda kira-kira Mei akhir, sebelum kembali ke kampung halaman sengaja kucari buku berjudul Dari Penjara ke Penjara  karya Tan MalakaSialnya, setelah ngubleki toko buku di Jogja, tak jua didapat. Perkataan "Habis, Mas" dan Nggak ada, Mas" seolah menjadi kata mujarab dari sang pedagang buatku yang kebingungan kala itu.
Tak patah semangat, ngublek lagi. Namun, tetap saja mantra itu  yang keluar dari sang konglomerat buku sebagaimana mantra dari sang dukun yang dikeluarkan untuk mengobati pasiennya. Maka dari itu, tak jarang dukun itu dianggap sebagai bumbu tahayul yang istimewa. Barangkali saya sama dengan banyak pasien yang berkujung ke dukun X itu, kala itu. Pasien yang pulang diberi air putih untuk diminum. Dan hasinya,byarrr....sama saja! Dalam pengembaraanku itu, kupilih untuk istirahat sejenak guna mengeliminasi rasa capek yang muncul tiba-tiba bagai macan si dukun (konon). Akhirnya dengan saran sang teman yang cukup masuk akal, kuambil karya Tan Malaka yang lain yitu "Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika)".  

Madilog merupakan buku yang menggariskan cerminan manipol Tan Malaka. Dari pandangan berfilsafat, bernegara, dan berpandangan politik, ada di sini. Sayangnya, bahasa yang digunakan lebih kaku dan abstrak. Dengan susah payah, buku dengan jumlah halaman tak kurang dari 568 eksemplar ini selesai juga. Buku yang sangat membutuhkan banyak keringat untuk membaca. 

Pada hari itu,  Sabtu (10 November 2012) aku diminta Ibu untuk menemaninya ke Jogja. Cocok, Bro!! Benar-benar Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu seperti kata Leo Tolstoy. Di tengah perjalanan, hapeku bergetar ternyata sms dari sang teman. Sang teman di Gang Kantil 16 C memberi tahu bahwa ada Pameran Buku di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama. Plassss, bagai air menyiram tanah gersang. AIr yang sangat diharapkan sang tanah muncul di saat yang tepat. Rencana dadakan menyitaku untuk berpikir lebih jauh. Akhirnya kuputuskan untuk singgah semalam di Jogja, (Ibu pulang hari itu juga). Sampai Jogja, kurang lebih pukul 19.00. Tanpa makan terlebih dahulu, bersama seorang kawan yang baik hati bisa juga saya blusukan ke Pameran. 
Perhatianku tertuju pada satu titik fokus. Tak di sangka DPkP nya Tan Malaka berbaris rapi satu per satu tanpa aba-aba dan tanpa lencang kanan. Wah, tangan kanan refleks langusng meraihnya. Tak menunggu waktu lama, SIKATTT!! 

Satu buku idaman sudah oke dilanjutkan putar-putar lagi, bingung mau cari buku apa. Sebenarnya, banyak juga yang menarik, hingga akhirnya ada satu buku yang menyita pandangan mataku. Buku berujudul Stalin Muda karya Simon Sebag Montefiore terpampang rapi menungguku dengan lambaian tanyannya. Kuraih, lalu kubaca-baca sekilas cover belakangnya. Widih, ternyata buku ini sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa dan termasuk best seller. SIKAT lagi. 
Putar-putar lagi, lhoh tak disangka dompet pun tak terasa menipis. Hingga diputuskan untuk pulang saja. 

Kembali ke DPkP. Karya Tan Malaka yang satu ini memang amazing. Bahasa yang digunakan dalam DPkP sangat asyik, berbeda jauh dengan bahasa yang digunakan dalam Madilog. Bahasa sehari-hari tanpa kekakuan penguasa berbalut dengan humor membuat DPkP lebih hidup. Bagiku sendiri, memang Madilog dan DPkP harus berbeda. Madilog merupakan pandangan manipol Tan Malaka, jadi bahasa yang digunakan terkesan kaku. Bisa jadi, hal ini lebih dikarenakan lebih mementingkan tujuan yang hendak dicapai. Adapun memang seharusnya lebih asyik karena DPkP hampir mirip berupa catatan harian Tan Malaka ketika menjadi pelarian politik. Catatan harian memang harus sesuai dengan sifatnya, terbuka, jujur, dan apa adanya. 

Dua hari yang lalu, Dari Penjara ke Penjara dengan 559 eksemplar halaman ini habis sudah kulalap. 
Satu kata yang dapat kuucap: Hebat benar ini orang! Buat kawan-kawan yang suka dengan biografi, sejarah, maupun politik, saya sarankan untuk membaca DPkP. Tak akan rugi. Merujuk dengan apa yang dikatakan Tan Malaka, logika seyogyanya pembaca gunakan untuk memahami isi buku. Pasalnya, kata yang digunakan dalam DPkP masih bercampur baur dengan kata berbahasa Indonesia di era sebelum kemerdekaan dan setelahnya. Bahasa dan kata yang tidak baku banyak bermunculan, misalnya kata dan lebih sering dipakai, padahal yang dimaksudkan adalah dari. 
Gunakan logika semaksimal mungkin dan selamat menikmati...
Selengkapnya.. - Lepas dari Belenggu

Minggu, 16 Desember 2012

Tantangan atau bahaya?

Perlahan namun pasti kucoba untuk memulai menapaki kehidupan. Sunyi, sepi. Begitulah adanya. Mengapa benci dengan kesunyian? Banyak orang yang mencoba mengusir kesunyian dengan berbagai cara. Dari memainkan musik, mencoba mencari relasi untuk sekadar ngobrol mengisi waktu luang, ada pula yang mengusirnya dengan berbagai kegiatan yang lain, misal olahraga, termasuk nongkrong di depan komputer dengan menyambungkan jaringan internet. Begitulah, seolah-olah manusia takut dengan kesepian. Bukankah, kelak kita juga akan kembali ke dunia kesepian? Tanpa teman, tanpa saudara, juga tanpa musik. 

Kembali kucoba blusukan ke alam ide. Terbentang paradigma yang sangat kontradiktif. Paradigma ini adalah, perbandingan antara desa (rural) dan kota (urban). Entah bagimana pekembangan zaman mulai melahap jiwa-jiwa kesederhanaan manusia, desa khususnya. Masih teringat jelas dalam benakku ketika diminta untuk memberi sambutan dalam acara pengajian di Lokasi KKN. Bingung juga, tema apa yang akan kuhadirkan? Maklumlah, aku lebih suka di belakang layar. Pun, aku tak suka terkenal. Nah, kuhadirkan saja Perlunya Filterisasi Internet. Simpel, tapi sangat penting. Dengan adonan keringat dingin dengan berbagai macam genderang dag-dig-dug, majulah  aku di depan hadirin. Hingga pada penutupan kuutarakan untuk berhati-hati dalam menggunakan internet, perlu sebuah alat yang dinamakan filter atau penyaring. Orang tua harus bisa membimbing anak-anaknya untuk menghadapi er globalisasi. Kututup sambutan dengan hamdalah dan berjuta -juta tawa, karena rasa grogi berpengaruh kepada bahasa plethoten yang kugunakan. 

Kembali ke permasalahan Desa yang tadi. Desa yang dahulu kita anggap brankas nilai-nilai murni bangsa Indonesia kian hari kian tergerus kerikil tajam. Lihat saja, pola hidup masayarakat desa kini berubah menjadi konsumtif. Mereka lebih bangga belanja di Mall daripada di warung atau di pasar. Tak hanya itu, pola konsumtif ini berdampak pada terkurasnya dompet untuk menyamakan atau menyejajarkan kedudukan mereka di masyarakat. Contoh kecil, mereka berlomba-lomba untuk mengenakan T-Shirt bermerk walaupun KW. Gaya hidup pun berubah sedikit demi sedikit. Masyarakat yang dijuluki santun menjelma menjadi makhluk asing. Lihat saja, dari gaya fashion pemudinya. Lebih suka dengan busana yang agak terbuka. Sekali menggunakan busana yang demikian, maka tak sedikit pemuda-pemuda yang mengantri untuk datang ke rumahnya atau bahkan memboncengkannya. Senada tapi tak sama, anak-anak pun lebih suka mengubur permainan petak umpet, jamuran, atau engklek, mereka lebih tertarik dengan Om Super Mario, Paman Perjuangan Semut, atau bahkan, Tekken yang kesemuanya berada dalam Nintendo, Sega, Play Station, bahkan komputer via internet.

Kalau pembaca punya pikiran yang sama, seharusnya kita telisik lebih dalam  faktor apa yang menjadi api yang menjadikan asap dalam dilematika ini? 
Media, tentu saja. Akses media yang begitu jor-joran semakin menakutkan. Pernahkah terpikir dalam benak pembaca berapa jamkah manusia (mereka) menghabiskan waktunya di depan layar televisi? Tontonan apa saja yang mereka lihat dan berpengaruh dalam perkembangan mindsetnya? Tak pelak lagi, obrolan tentang artis A, B, dan sinetron C meramaikan suasana. Persis bagai koran baru yang menyodorkan berita terhangat. Bukan, ini bukan salah masyarakat desa, melainkan salah kita bersama. Mungkin saja,negara kita belum siap untuk bersaing dengan negara-negara maju. Mungkin juga, negara kita adalah negara penikmat paling besar di dunia (bukan negara penghasil). Ataukah undang-undang yang ada hanya dijadikan rujukan dan alasan untuk membenar/menyalahkan masalah? Entahlah! Yang pasti, negara kita kalau belum mampu mereformasi hal-hal yang demikian akan berujung pada kehancuran.

Negara dengan berbagai pemikir dan barisan kaum aristokrat tentu punya beberapa trik dan jurus andalan untuk menghadapi semuanya. Semoga tak hanya retorika dan terori. Bagi kita sendiri, era globalisasi yang demikian hebat tak bisa diacuhkan begitu saja. Perlunya sebuah solusi untuk menjawab pertanyaan yang mungkin ringat tapi menakutkan ini. Barangkali, tema  pengajian di atas tadi memang tidak ada salahnya diterapkan. Filterisasi Perkembangan Zaman itu harus. Tentu kita tidak mau negeri kita makin hancur tergerus, dan masyarakat desa hanya dijadikan "Museum" prasejarah rujukan mahasiswa akhir untuk dijadikan bahan penelitian yang sangat teoretis. 

Bagaimana caranya? 
  1. Jangan terlalu takjub dan tergiur dengan hal-hal baru, bersikaplah biasa saja 
  2. jangan bergantung pada satu hal, kebergantungan ini akan menyebabkan kita mengubur diri kita sendiri
  3. Sikapi dengan cara yang arif dan bjikasana setiap permasalahan yang ada. Caranya, pertimbangkanlah manfaat dan mudharatnya. Ke depan, ke belakang, juga ke lingkungan sekitar 
  4. Belajarlah dari sedikit demi sedikit, ilmu itu tak harus datang dengan seabreg dan secepat kilat 
Mungkin pembaca yang budiman punya berbagai cara ampuh untuk dishare? Saya nantikan usulannya..
Selengkapnya.. - Tantangan atau bahaya?