Sabtu, 23 November 2013

Pilihan yang Terus Tergerus

*Abdul Haris Nur H.
Hidup tidak bisa terlepas dari pilihan. Berbicara tentang pilihan, tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi seseorang untuk memilih. Latar belakang yang sangatheterogen inilah yang nantinya membawa kita kepada suatu jalan. Jalan panjang. Jalan kehidupan yang tak pernah kita tahu dimana dan bagaimana akan berakhir.Jalan inilah, jalan tak ada ujung (meminjam judul novel milik Mochtar Lubis). 

Berbicara tentang jalan kehidupan, belum berapa lama saya mendapat informasi dari seorang teman. Informasi tentang penyunatan nominal gaji karyawan suatu pabrik di Jawa Tengah. Ketika dihadapkan dengan permasalahan demikian. Berbagai pertanyaan timbul dalam kepala manusia. Tidakkah ini bagian dari jalan kehidupan? Lantas, bagaimanakah kita akan menyikapi hal yang demikian? Kebanyakan beberapa pihak cenderung mencari siapa yang harus disalahkan. Tak sedikit pula yang lebih berpikir tentang cara mengatasi,percuma mencari-cari kesalahan. Nyatanya, kasus yang demikian selalu menjadi hal yang sangat umum. 

Di lain pihak, seorang teman yang juga guru di Sekolah Dasar (SD) mengaku bahwa selama satu semester (enam bulan) mengajar ia belum pernah menerima upah sepeser pun. Pengabdian. Bicara tentang pengabdian. Bagi sebagian pihak ada yang memandang, pengabdian tanpa dibayar sudah seharusnya. Seorang emban pun ketika mengabdi kepada raja juga sering tidak dibayar. Permasalahan feodal seperti ini akan menyakitkan rasanya ketika dihadapkan pada zaman serba canggih seperti sekarang ini. Satu hal yang lebih menyakitkan lagi bahwa sang teman ini diminta untuk mengerjakan pengisian data administrasi sekolah. Dalam data dituliskan bahwa gaji guru tidak tetap yang telah lama adalah sekian rupiah. Guru tidak tetap alias baru mengabdi adalah sekian rupiah. Jelas, si teman jengah melihat semua ini. Ia pun bertanya kepada saya, apakah ini korupsi? 

Berpedoman kepada buku pemberian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat mengikuti diskusi dulu, saya mencoba menelusuri pengertian korupsi. Korupsi berasal dari kata berbahasa latin, corruptio. Kata in sendiri punya kata kerja corrumpere yang artinya ‘busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, atau menyogok’. Adapun menurut Transparancy International, korupsi adalah perilaku pejabat publik atau pegawai negeri yang secaranggak wajar dan nggak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekatdengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakankepada mereka. (KPK. Buku Panduan Kamu Buat Ngelawan Korupsi, Pahami Dulu baru Lawan!. “Definisi Korupsi”. Hal.7) 

Dengan merujuk pengertian korupsi di atas, jelas bahwa penyunatan dan penyulapanadalah satu dari sekian banyak tindak korupsi. Nyatanya, kebiasaan penyunatan dan penyulapan seperti ini masih mengakar kuat dalam lingkungan kita.Seolah-olah korupsi adalah hal yang wajib dilakukan manusia untuk melanjutkankehidupan. Tentu sudah sepantasnya yang memang menjadi hak seseorang diberikan.Gaji karyawan harus dibayarkan sesuai dengan hasil kinerjanya. Adapun gaji gurupun harus diberikan. Biarpun mengabdi, tentunya ada fee sebagai pengganti uang lelah dan uang transport. 

Sayamencoba menarik diri untuk sejenak beridam dan merenung. Dalam perenungan ini,lewat di depan saya seorang anak kecil. Saya mencoba melihat anak ini dalam scopeluas. Anak Indonesia. Kepada mereka lah cita-cita luhur bangsa bergantung. Anak-anak pembawa perubahan (agent of change). Lain daripada itu, peran guru dan orang tua tentunya akan sangat menunjang perkembangan si anak. Save Our Children.Bagaimanakah kita menyelamatkan anak-anak ini dari tindakan-tindakan sebagaimana disebutkan diatas. Tak bisa lain, seorang guru hendaknya memberikan pengajaran tentang hal-hal demikian. Karakter kejujuran bangsa memang harus dibangun sejak kecil. Terlebihperan orang tua terhadap si anak. Sayangnya, para orang tua lebih suka memilihbaby sitter untuk mengasuh putra-putrinya. 

Pertumbuhan anak-anak di Indonesia tidak sebanding lurus dengan perkembangan minat untuk menjadi guru. Masih banyak yang ragu-ragu  terjun dalam dunia pendidikan, khususnya menjadi guru. Alasan yang muncul pun bermacam-macam. Dari honor yang tidak cukup, tuntutan yang terlalu berat, rasa belum mumpuni dalam bidang pendidikan, dan masih banyak lagi. Dibuktikan dengan fenomena yang terjadi belakangan ini, banyaknya sarjana lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang notabenenya caln pedidik, lebih memilih dunia perbankan. Alasannya sudah pasti, honor yang lebih besar. Jika permasalahan ini tidak segera disikapi, negara kita tak berapa lama lagi akan ambruk. Negara yang terus menerus terancam. Perkembangan zaman yang terus meningkat menimbulkan tantangan tersendiri, khususnya bagi anak muda. Sementara pemuda penerus harapan bangsa masih kurang perbekalan untuk dapat berdiri tegak. Saat ia dalam masa penggodhokan diri, angin perkembangan zaman sangat kencang menghantam. Sebuah bangunan tentu tidak akan bediri kokoh apabila pondasi yang digunakan untuk bertumpu terlampau rapuh. Sadar dari perenungan ini muncul tanda tanya besar dalam otak saya.Tidakkah mungkin si anak yang lewat ini, nanti ketika besar berubah menjadiseorang koruptor kelas kakap? Ataukah ia kelak menjadi pemberantas koruptor? Atau tak mungkinkahia akan jadi seorang pemuka agama?
Blora,14 November 2013

Selengkapnya.. - Pilihan yang Terus Tergerus

KETIKA TIKUS TENGKURAP DI ASPAL

Suatu ketika saat saya sedang mencoba menikmati alam. Maksud hati hendak mencuci mata dengan pemandangan yang serba hijau. Tak lama berselang pemandangan hijau itu pun berganti dengan pemandangan yang serba tak menarik. Bagaimana tidak? Bangkai-bangkai tikus dengan berbagai pose menempel menghiasi aspal hitam. Lengkap dengan cipratan darah baik dari moncongmaupun dari belahan perutnya. Semua ini bagaikan lukisan dengan kanvas hitam. Lukisan bernilai tinggi karena berlangsung terus menerus.

Pembunuhan makhluk pengerat dengan cara cepat dan tak terlalu merepotkan. Inilah cara yang paling ampuh digunakan di tempat saya. Tak usah heran ketika melihat banyaknya bangkai makhluk sawah, baik tikus maupun ular tiarap rapi di aspal. Tipis dan lengket. Berapa banyak ban yang melindasnya? Hal ini menimbulkan permasalah tersendiri yang harus diatasi. Jika kita ingin mencari sebab kita patut berpikir apakah ini budaya kaum urban marginal yang ada di tempatku? Budaya kaum pedesaan dengan pendidikan yang serba terbatas? Atau barangkali sebegitu hinakah nyawa seekor tikus yang juga makhluk ciptaannNya? Ataukah hati manusia ini berrti bahwa hati manusia kini mulai merem dengan perasaan?

Apa mau dikata kalau memang pelakunya tidak tahu. Akan tetapi bila dikaitkan dengan alasan yang kedua dan ketiga, tentu akan menjadi hal yang sangat timpang. Manusia yang hidup pada tahun ini tentunya memiliki tingkat kecerdasan yang relatif lebih baik. Mereka terlahir dengan tingkat peradaban yang telah banyak tersaring oleh sejarah. Bukankah sejarah itulah yang membuat manusia lebih bijak dalam bersikap.
Manusia-manusia ini adalah manusia yang dilahirkan pada abad millenium yang katanya lebih modern. Manusia yang mampu menggerakkan segala sesuatu hanya dengan sentuhan. Teknologi super canggih yang dijadikan sebagai faktor kebanggaan nyatanya melempem ketika disejejarkan dengan dampak yang diakibatkan. Sebuah pemandangan tikus tadi setidaknya akan berbeda rasa jika bangkai yang menempel di aspal itu diganti. Apa yang akan terjadi kalau bangkai yang telah berkali-kali terlindas ban itu diganti dengan mayat saudara, mayat ayah dan ibu, atau bahkan diganti dengan mayat kita sendiri. Masihmeremkah mata hati manusia menyaksikan pemandangan ini? Bisa jadi, karena manusia thaun ini lebih suka memakan manusia daripada beras.

Satu hal yang pasti adalah perkembangan zaman yang ada saat ini tidak dibarengi dengan pengembangan mental yang kuat. Manusia-manusia zaman ini telah dininabobokkan dengan keadaan. Mereka menjadi manja. Segala sesuatu hanya ingin cepat dan enak. Mudah tanoa keringat. Mereka lupa berpikir tentang dampak yang diakibatkan selanjutnya. Suatu kali ketika saya bersama kawan-kawan camping di Gunung Sumbing. Dalam perjalanan, kami mennjumpai ceruk-ceruk yang biasanya berair. Sayangnya kini telah mampet. Lantas, darimana satwa-satwa yang ada di sana minum. Melihat kekeringan yang ada tentu saja mereka minum dari ludahnya sendiri. Ludah yang hanya dalam hitungan menit akan habis dan kering. Ekosistem terguncang akan berakibat terhadap alam semesta.
Lihatlah, akhir-akhir ini kekeringan yang ada semakin lama semakin parah. Siang menjadi lebih panas dibanding dengan tahun-tahun yang lalu. Pun dengan suhu dingin. Kalau memang sudah demikian salahkah jika satwa yang hidup di gunung, kemudian turun. Mencari makan dan minum hanya untuk memenuhi kebutuhan perut anak-anaknya. Belum lama terjadi, harimau kumbang turun gunung Semeru untuk mencari makan. Harimau hitam ini kemudian masuk ke perkampungan penduduk. Tak lama berselang, ia pun ditembak mati dengan alasan membahayakan dan sulit dikendalikan. Seekor hewan yang hendak mencukupi kebutuhannya tewas tak berdaya dii ujung peluru. Lihat juga di Pati, tepatnya di Pucakwangi. Seekor macan tutul turun ke perkampungan untuk sekadar mencari makan. Untunglah macan ini tidak mengalami nasib tragis sebagaimana si macan kumbang. Ia berhasil ditangkap hidup-hidup.

Perkembangan zaman yang ada malah menjadikan sebagian pihak sengsara. Jika saja sebuah timbangan berat sebelah. Tentunya timbal besi takaran pun lama kelamaan akan jatuh. Dan ketika sudah jatuh, timbal itu pun akan tertimbun tanah dan terinjak-injak oleh kaki-kaki kotor. Apakah kita hanya akan menunggu si timbal in jatuh dan terinjak? Memang masih ada beberapa organ yang mendedikasikan dirinya untuk alam ini. Akan tetapi, jumlah mereka tidak sebanding dengan jumlah manusia yang merasa perutnya lapar. Ketika perut manusia lapar, nafsu untuk mengisi perut yang keroncongan ini lebih vokal daripada pikiran yang jernih. Bermula dari itulah satwa yang ada di alam dikeruk dan dijual untuk memenuhi teriakan perut. 

Mereka yang memiliki wewenang harusnya lebih cepat bergerak kalau ingin alam ini selamat. Sayangnya, kecepatan bergerak mereka hanya ada ketika amplop datang. kecepatan tangan mereka lebih cerdik dari kecepatan tangan pencopet. Mereka tahu kalau isi amplop itu akan berbunga jika ditanam. Sedangkan si pencopet tidak. Mereka hanya tahu, kebutuhan perut belaka. Dan kebiasaan ini akan semakin lama semakin dihapus. Kebiasaan yang telah menjadi budaya bangsa. Akan lebih setuju kalau yang mati dan tengkurap di aspal bukan pengerat kecil melainkan tikus besar. Tikus bersafari dan berdasi.
  Blora, 02 November 2013
Selengkapnya.. - KETIKA TIKUS TENGKURAP DI ASPAL

Senin, 29 Juli 2013

Blora Expedition part 4 (Jipang)

Senin, 24 Juni 2013
          Tentunya akan terasa nikmat kalau apa yang kita idamkan berbuah menjadi kenyataan. Benar saja, aku pun sama halnya dengan manusia-manusia lain yang ada di permukaan bumi ini. Cita-cita dan impian selalu saja menjadi faktor utama untuk menentukan target seseorang. Target yang telah kita pasang inilah yang kemudian berusaha untuk kita raih. Tanpa adanya target cita-cita dan impian, tentu sebuah perjalanan takkan lebih dari cerita hambar belaka.
          Sehubungan dengan itu, ingin kutuliskan rekam jejak perjalanan ekspedisiku yang keempat. Target operasi kami kali ini adalah peninggalan bersejarah kerajaan Jipang Panolan. Salah satu kerajaan yang tak bisa lepas dari track record sejarah Islam di Jawa. Beruntunglah kami dapat mengunjunginya dan merekamnya meski dalam ingatan dan catatan pribadi yang carut marut ini. pernah kalian mendengar nama Raden Arya Penangsang?
Kabupaten Blora memiliki beberapa situs sejarah yang tak boleh dihilangkan begitu saja. Termasuk dengan Arya Penangsang atau Arya Jipang. Sebagai putra daerah, kami hanya ingin mengetahui secara langsung tentang beberapa tempat yang ada di tanah kelahiran kami. Terlebih lagi tentang sebuah kerajaan yang sangat ditakuti Demak sewaktu itu. Beginilah lukisan perjalanan kami.
          Minggu, 23 juni 2013 merupakan awal pembuktian kami. Berawal dari obrolan Zouza bahwa ia pernah ke situs peninggalan Kerajaan Jipang tempo hari, aku jadi semain penasaran. Jipang Panolan, sebuah kerajaan dengan Raden Arya Penangsang sebagai rajanya menyimpan misteri yang sangat besar buatku pribadi. Cerita tentang seorang yang sakti mandraguna yang akhirnya kalah karena kecerobohannya ini pernah kudengar ceritanya ketika masih duduk di bangku kuliah. Bersama seorang kawan, kami pun diskusi tentang tokoh satu ini dengan sangat seru. Kawan diskusiku yang berasal dari Malang ini mempunyai pemahaman tentang Jawa yang lebih. Saking asyiknya diskusikami sampai lupa waktu. Tak disangka diskusi berlangsung dari pukul 19.00 sampai pukul 03.00.
          Usai membuat janji dengan Zouza hari sebelumnya akhirnya kami berangkat juga, Minggu (23/7/13). Pukul 07.30 dari Ngawen perjalanan dimulai. Masih dengan Alfred Merah, kami sibak jalanan yang bergelombang ini. Sebelumnya Zouza pernah menawarkan Vespa Piaggio putihnya untuk perjalanan ini. Akan tetapi mengingat medan yang cukup jauh ditambah dengan kondisi jalan Blora yang hancur kami memutuskan untuk menggunakan Alfred merah. Walau sama tuanya tapi mungkin Alfred lebih bisa diandalkan. Tujuan perjalanan kali ini adalah Cepu. Perjalanan kali ini memang sungguh luar biasa.
Setelah kota Blora terlewati, masuklah kami ke gapura, gerbang masuk Kecamatan Cepu. Sesampai di pertigaan, kami belok kanan. Di kanan jalan nampak terminal yang cukup ramai. Kami berhenti cukup lama di lampu merah. Dari lampu merah terminal itu kami ambil arah kanan lagi. Sampai di suatu pasar, kami salah arah.
“Sebentar, Bro. Kalau tidak salah masuk gang yang ada di depan itu,” kata kawanku ini.
Karena dia memang pernah ke sana, aku yang memegang kemudi mengikuti petunujknya. Nyatanya kami salah jalan, bukannya kami sampai tujuan. Kami malah masuk ke perumahan padat penduduk. Akhirnya keluar dan kembali ke jalan utama Cepu-Randublatung. Hingga akhirnya terselamatkan dengan petunjuk jalan Bandara Ngloram. Kami ambil belok kiri sesuai arah papan tersebut. Hebat, jauh juga perjalanan ini. Pantat mulai kembang kempis. Sebuah kereta api yang melintas menjadi pemandangan yang cukup menghibur. Pun masih dengan goyangan pantat. Kiri, kanan, angkat, duduk lagi, panas sekali.
          Perjalanan makin lama makin menarik. Tanya kenapa? (mengutip jargon iklan) Satu per satu rasa penasaran ini setelah memasuki Desa bernama Jipang. Bahkan, nama Jipang sendiri masih digunakan sebagai nama Desa sampai sekarang. Hebat. Kami ambil arah berbelok, masuk jalan kampung tanpa aspal. Sepeeda motor kami parkir. Air minum, buku, dan pena kami kukeluarkan. Takjub. Sampailah kami di sebuah makam dengan sembilan batu nisan berjajar rapi. Makam yang berpagar tembok ini kesemua nisannya ditutup dengan kain putih. Zouza bilang “Ini, nih makam santri pitu.” Ujarnya sambil minum.
Makam Santri pitu/santri sanga (Dok Pri)
“Kok pitu? Bukannya dalam makam itu terdapat sembilan batu nisan?” tanyaku heran.
“Iya, makam ini sering disebut dengan makam santri pitu, tak jarang juga disebut makam santri sanga. Konon dulu ketika ada penyerangan dari Demak ke Jipang, santri-santri ini dianggap dibunuh arena dianggap sebagai mata-mata. Itu tuh di pertigaan itu katanya dulu tempat bertarungnya Arya Penangsang,”  tutur Zouza.
Sampai kini masih kucoba mencari kejelasan tentang informasi ini. Sumber dari mulut ke mulut ini tentu akan menimbulkan berbagai kontroversi. Tapi setidaknya informasi inilah yang dapat saat itu.
Tak jauh dari lokasi makam Santri Sanga, Alfred ini kupacu lagi untuk menyusuri lembah Bengawan Solo.
“Ayo, katanya mau mencari pecahan keramik,” ajak Zouza.
Kami berhenti di sebuah lahan yang cukup luas. Di sebelah sungai, dengan kondisi tanah banyak tertutup dedaunan kering. Di sinilah kami coba mencari sisa-sisa pecahan keramik. Benar saja, banyak pecahan-pecahan keramik yang tertimbun tanah. Memang yang kami ambil masih tergolong pecahan yang cukup kecil.
“Penduduk di sekitar sini apa mungkin pernah menemukan keramik utuh atau semacamnya ya Bro?” tanyaku sambil memunguti pecahan keramik itu.
“Nah itu dia, Bro. Ada yang bilang kalau penduduk sekitar sini pernah menemukan guci yang utuh. Hanya retak saja,” jawab kawanku ini.
Sesekali kami harus mengibaskan tangan untuk mengusir kerumunan nyamuk yang makin menggila. Satu dua langkah kaki menyaruk rimbunan daun kering. Mata dipasang dengan sangat teliti. Satu per satu pecahan ini masuk kantong plastik.
“Masukkan saja semua yang ada, nanti di rumah baru dicuci,” pinta Zouza.
Kuserahkan pecahan yang aneh “Ini Bro, bekas piring Kaisar Romawi,” kataku sambil cengar-cengir.
Dilihatnya sebentar “Ini pecahan piringnya Mbah Tris, ha ha ha…” sebentar kami tertawa. “Ini lihat fosil manusia purba. Lihat, beda kan sama batu yang lain,” kataku.
“Apa ini? Ini sih pondasi bangunan. Kampret kamu Bro malah ngajak bercanda,” sahut Zouza sambil melemparkan batu yang kuserahkan.
Lembah Bengawan Solo (Dok.Pri)
Hari mulai siang. Akhirnya kami memutuskan untuk segera beranjak dari tempat itu. Alfred kupacu lagi, masih dengan suara cementeng knalpot yang mengeluarkan asap putih. Sampailah kami di sebuah makam. Makam Gedong Jipang. Makam inilah yang menjadi tujuan utama. Sebuah makam dengan pintu gerbang terbuat dari batu bata. Sesekali mengambil gambar di depan pintu gerbang, kami berjalan masuk ke dalam. Sebelum menapakkan kaki di dalam makam, kami bertemu dengan lelaki tua penggembala kambing.
“Mbah, mau melihat-lihat ke dalam,” ujar Zouza.
“Iya, monggo. Tapi itu ya Mas, jangan masuk dalam makam yang dilingkari kain putih itu lho ya. Saya saja yang hidup empat puluh tahun di sini belum pernah masuk ke sana,” kata lelaki tua itu.
Makam Gedong Jipang (Dok.Pri)
Setelah mengucapkan salam, kami pun masuk. Makam yang sangat luas. Terlihat beberapa nisan terbuat dari kayu. Ukiran kayu nisan tua itu berukir. Ukiran yang menandakan bahwa yang dikuburkan sudah cukup lama meninggal. Pada zaman sekarang ini orang lebih memilih nisan beton, bukan ukiran kayu seperti yang ada di sebelah ini. Beberapa kali kamera handphone dibidikkan ke nisan-nisan ini. Ketika kami sampai di tengah makam, tepat di depan makam yang dilingkari kain putih suasana berubah mencekam. Sepi. Mengerikan. Dimana-mana banyak dupa dan sesajian. Kondisi serupa dengan yang kami temukan di makam Santri Sanga.
“Ayo difoto, Bro,” pintaku kepada Zouza.
“Ini kamu saja yang ngambil gambar,” disodorkannya hape itu kepadaku. Segera kuterima sambil mengucap “niatnya baik kok Bro,” langsung jeprat-jepret. Setelah itu, baru Zouza berani mengambil gambar. Memang kondisi makam ini lain dari yang lain. Terdapat tiga nisan dalam tutupan kain putih yang mengitari makam seolah tembok putih itu. Sama halnya dengan pesan si Bapak tadi, kami tidak masuk dalam kitaran kain. Hanya mengambil gambar dari luar batas kain putih. Nisan ini berupa tumpukan batu bata yang berlumut. Batu bata yang sangat aneh, karena bata yang ada dalam makam berbeda dengan bata pada umumnya. Pecahan bata ini nampak berukuran lebih besar. Di sini pula kami jumpai nisan yan ternyata memiliki posisi yang berlawanan. Mungkin mereka yang meninggal mempunyai keyakinan yang berbeda. Pohon-pohon besar di sekitar makam masih nampak berdiri kokoh. Di makam ini pula kami tahan untuk sekadar ngobrol perihal Arya Penangsang dan kerajaan Jipang. Katanya sih pantangan, termasuk juga mengambil barang yang ada di sekitar makam.
Tiga nisan dalam tabir putih (Dok.Pri)
Makam siapa sajakah yang terdapat di dalam? Entah aku pun tak tahu. Tak ada orang lewat yang bisa kutanyai. Setelah kami rasa cukup. Akhirnya kami keluar makam menuju jalanan. Alfred kustarter kembali. Balik ke arah jalan yang kami lewati sebelumnya dan ketika ada lorong kecil kami pun masuk ke dalam. Takjub. Ya, mungkin kata itu yang dapat dijadikan sebagai perwakilan kondisi yang ada di sana. Pepohonan-peohonan besar yang asri dan rindang. Bengawan sore. Bengawan sore ini pula yang menunjukkan sisa-sisa kerajaan Jipang. Masih terlihat batu bata di sekitar lokasi. Mengelilingi daerah yang kami kunjungi itu. Konon, Bengawan Sore ini dulunya digunakan untuk membentengi kerajaan. Bengawan Sore ini dulu digunakan sebagai parit pertahanan dengan aliran air yang diambil dari Lembah Bengawan Solo. Terlihat jelas batu bata yang ada jauh lebih besar dibanding dengan batu bata zaman sekarang. Beberapa gundukan dengan penuh batu bata berlumut seperti kami temukan di makam Gedong Jipang. Terdapat sebuah makam di sini. Entahlah kami pun tak tahu ini makam siapa. Ceceran dupa pun nyata terlihat di sana. Bedanya, tak sebanyak yang ada di makam Gedong. Kami perhatikan terus batu bata ini dengan seksama. Sempat kami ambil dan mengukurnya dengan tangan. Satu kilan, batu bata yang lebih tipis dengan corak gambar di bagian tengah. Tak mungkin ini bata zaman sekarang. Pun dengan hijau lumut yang menyelimuti batu ini.

Waktu pun semakin siang. Terlihat mendung mulai menyergap. Kami pacu Alfred Merah ini. Pulang. Rencananya sih mau mampir ke Makam Janjang yang tertulis di papan pinggir jalan. Ketika kami lihat jaraknya sangat jauh ditambah dengan medan jalan yang rusak, kami pun urung ke sana. Sampai di rumah kurang lebih pukul 14.00. Cukup melelahkan. Istirahat sambil mencuci pecahan keramik yang telah kami dapatkan dari lembah bengawan solo. Banyak hal janggal yang dapat kami temukan dari pecahan keramik ini. kami cari di satu tempat saja banyak sekali motif yang tidak sama. Sungguh perjalanan yang sangat menyenangkan.  



Selengkapnya.. - Blora Expedition part 4 (Jipang)

Blora Expedition Part 3 (Terawang-Manggir)

Minggu, 26 Mei 2013
Rencana yang sudah kuatur sebelumnya bersama adikku akhirnya berjalan. Sabtu menjadi klimaks dari konsep dan rencana itu. Segala sesuatu pasti mepunyai dampak, adanya aksi tentu menghasilkan reaksi. Adapun menurut Hegel sang filsuf, sebuah thesis akan dihadapkan dengan antithesis yang kemudian menimbulkan hasil yaitu sintesis. Maka dari itu, sebagai kesinambungan dari kunjunganku yang kedua kudatangi lagi obyek wisata di daerah Todanan, Blora, Jawa Tengah.
Goa Terawang
Saat pertama kali datang kemari, aku hanya masuk ke cungkup goa utama. Maklumlah, bersama dengan orang-orang semi formal. Dari sini sedikit demi sedikit rasa penasaran itu menemui bentuknya. Hingga akhirnya bersama Tulus dan Sosa (kedua kawanku) ini kusambangi untuk kedua kalinya.
Penasaran sebagai perwujudan tesis ini mendapatkan konfrontasi, hingga membuat diri mencari pembenaran. Antitesis muncul. Yaitu pencarian beberapa goa yang terdapat dalam papan penunjuk jalan. Bosan dengan goa utama saja. Hingga akhirnya ketemu lah sintesis Goa-Goa yang kita jumpai selain Goa utama (Terawang). Goa-goa itu antara lain: Goa Macan, Goa Kidang, dan Goa Celeng.
Pagi itu pukul 08. 30 kami bertolak menuju lokasi. Untukku pribadi sebenarnya hanya untuk mengisi liburan. Tapi mungkin berbeda untuk adikku yang belum pernah ke sini. Dengan Yamaha Merah Alfa keluaran tahun 1992 akhirnya sampailah kami di lokasi. Rute yang kami ambil adalah Ngawen-Japah-Todanan. Bersama motor tua yang terus terengah-engah akhirnya 09.30 sampai di lokasi. Kurang lebih satu jam perjalanan dari Ngawen. Sesampai di portal masuk Goa sepeda motor kami parkir. Menemui penjaga portal untuk membayar biaya masuk. Korup? Mungkin saja. Untuk biaya masuk dipatok harga per @ Rp. 5000,- dan parkir motor Rp. 2000,-. Aku minta tiket masuk. Barangkali ini adalah kebiasaan burukku untuk selalu mengoleksi tiket masuk obyek yang pernah kusambangi. Di lembaran tiket tertulis biaya masuk per @ Rp. 4.000,- dan untuk biaya parkir kendaraan Rp 4.000,-. Kalau memang yang terjadi adalah perubahan yang belum sempat ditulis dalam tiket semoga saja. Dan mudah-mudahan bukan korupsi. Sengaja kuminta kepada petugas tentang denah goa mana saja yang ada di Wanawisata Goa Terawang. Dan digambarkan saat itu juga di kertas HVS.
Berjalan menuju goa utama, Goa Terawang. Nampak  masih seperti yang dulu, belum ada perubahan. Hanya tanah liat yang berlumpur yang nampaknya berubah. Praktis medan akan jauh lebih berat. Bisa jadi semalam di sini hujan. Ketika kami datang masih sepi, belum banyak pengunjung. Menuruni tangga semen yang telah rompal di sana-sini. Tiang handle atau pegangan tangan juga putus di tengah jalan. Masih seperti yang kemarin waktu datang pertama, atau kedua. kedatangan kami disambut primate yang bergelantungan. Ya, era masih menjadi fauna yang tersisa. Tentu selain dari bururng-burung hutan yang antara lain: kutilang, prenjak, ataupun cendhet.
Kususuri Goa. Mulai dari Goa utama, Goa Terawang. Senter kunyalakan. Lalu masuk. Terawang I, Terawang II, hingga Terawang V. Buntu. Kami keluar. Sebelum keluar, kami coba masuki jalan alternatif yang ada. Wah bagus juga. Untuk fauna, kera di sini masih banyak. Kedatangan disambut dengan beberapa kera yang melompat ke sana-kemari. Adikku ini tampak gembira sekali. Terlihat dari sorot mata dan raut mukanya.
Dari Goa Terawang ini, sambil melihat peta yang digambar Bapak Petugas kami lanjutkan perjalanan. Ke kanan lurus, maklum aku adalah orang yang paling payah dalam hal arah. Hanya tahu kanan-kiri oke. Setelah berjalan cukup jauh, target yang kami cari ketemu juga. Goa Bebek. Dilihat dari keadaan sekeliling goa ini nampak jarang dikunjungi. Kami pun sebenarnya tak tahu kalau ada goa di pertigaan jalan setapak. Ketika kulihat peta untuk ke sekian kalinya barulah sebuah pikiran muncul: harusnya Goa Gombak berada di sekitar sini, dan benar saja bukannya Goa Gombak yang kami temukan melainkan Goa Bebek. Goa dengan kemiringan kurang lebih 45 derajat ini masih tertutup ilalang. Selain itu semak-semak juga mengaburkan pandangan. Miris. Goa sebagus ini tidak terawat. Satu hal yang patut disayangkan. Untuk masuk saja dipungut biaya kok kondisi di sini tidak diperhatikan. Untuk apa uang-uang pungutan itu?
Kukeluarkan pisau yang kubawa. Babat sana-sini. dan ketemulah. Karena tidak ada bekas jejak kaki, cukup ngeri juga. Takut-takut jalanan yang kami injak adalah jurang. tetapi ketika kujajajki sedikit demi sedikit ternyata hanya jalanan curam. maklum masih tertutup semak belukar. Masuk goa. Sesampai di dalam napas jadi terengah-engah. Sinar matahari tak masuk ke dalam goa. udara yang ada di dalam goa lembab. Bau yang tercium mirip dengan karbit yang digunakan untuk membuat buah-buahan agar cepat masak. Bau dalam goa ini sangat menyengat. Baru setelah beberapa kali senter kunyalakan ketahuan juga bau ini berasal dari kotoran-kotoran kelelawar. kotoran yang menumpuk di dalam goa. Pertanda goa jarang dikunjungi. Ketika hendak keluar dari goa kami singgah di mulut goa barang sebentar untuk mengabadikan gambar.
“Dik, coba lihat” kataku sambil menunjukkan kaosku yang berasap. Keringat yang terkena sinar matahari ini mengeluarkan asap.
“Who, iya sama. Ini juga,” jawab adikku yang pertama ini.
Goa Bebek (Dok.Pri)
Intermezo di tengah perjalanan. Keluar dari Goa Bebek kami cari Goa Gombak. Goa Gombak kami cari lantaran letaknya menurut peta yang ada dalam gambar tak begitu jauh. Sayang, goa ini tak ketemu juga. Akhirnya kami menempuh perjalalnan menuruni curam hingga sampailah kami di sebuah sungai. Masih teringat jelas dalam benakku bahwa terdapat sebuah goa yang berada di tepi sungai. Akhirnya kami putuskan untuk menyusuri sungai ini. Sungai dengan dasar tanah berkapur.
 Air yang jernih serta dingin ini mampu membuat kami sejenak lupa dengan rasa lelah yang melanda. Satu, dua kali terpeleset karena sebagian tebing sungai terdapat lubang-lubang yang cukup dalam dan licin. Hingga akhirnya sampailah kami di sebuah cerukan yang sedari tadi kami cari. Goa Macan. Goa yang menurutku paling bagus. Bagaimana tidak, goa yang penuh air mulai dari mulut goa sampai dinding akhir goa. Di mulut goa inilah kami putuskan untuk minum dan istirahat. Satu hal yang sangat disayangkan, kami tak memiliki perahu karet. Kalau saja kami punya perahu karet pasti akan kumasuki goa itu dan mencari ujungnya, atau mungkin terapat beberapa cerukan jalan lagi yang ada di dalam goa.
Kalau saja ada perahu karet tentu akan lebih menarik. Goa ini penuh dengan air. Air yang tak kami tahu dasarnya dangkal atau dalam. Memang pernah kami jajaki lebih dulu dengan melemparkan batu untuk mengetahui kedalaman air. Plunggg…nampaknya sangat dalam. Kami coba masukkan tongkat yang kami bawa, sama sekali belum menyentuh pangkal dasar. Ketakutan kami hanya satu, karena goa ini terbentuk dari tanah berkapur tentunya tidak menutup kemungkinan kalau dasar air berupa cekungan. Kalau memang cekungan yang ada terlalu dangkal tak akan jadi masalah, nah kalau cekungan ini semakin dalam dan menurun. Ah, kami tak mau ambil risiko. Cukuplah kami duduk-duduk di mulut goa sambil melepaskan lelah yang menikam. Omelette buatan sendiri dan air mineral yang kami bawa dari rumah, akhirnya menjadi penutup istirahat itu.
Perjalanan kami lanjutan kembali. Tujuan perjalanan ini adalah Goa Kuncir. Lokasi goa menurut gambar di peta adalah searah dengan jalan keluar. Tapak demi tapak kami jejakkan di tanah tandus berkapur ini. Terdapat pemandangan yang belum pernah kami jumpai. Berhubung tanah di sini berkapur, petani-petani membuat tanggul batas sawah dengan barisan batu dan kerikil. Kreatif juga, kala itu jagung dan kacang menjadi tanaman utama di sana. Dengan tanpa menemukan Goa Kuncir kami akhirnya memutuskan untuk keluar karena hari makin mendung. Kami sampai di pintu masuk Goa Terawang kembali pukul 13.30.
Sebenarnya ada rencana untuk mengunjungi Goa Kidang. Goa yang pernah kukunjungi bersama Tulus dan Sosa tempo hari. Sayang, langit makin gelap, waktu juga semakin sore. Akhirnya kami putuskan untuk pulang saja. Jalan yang hendak kami tempuh adalah Todanan-Kunduran-Ngawen. Tamaknya, tampungan air yang ada di langit tak mampu menahan berat yang demikian menjadi. Sampai di sekitar Pabrik Gula GMM (Gendhis Multi Manis) hujan menyiram kami dengan segala keangkuhannya. Memasuki Kecamatan Kunduran hujan berhenti seketika. Sampai di rumah pukul 14.00, segera kami mandi, salat duhur, dan makan. Adikku yang satu ini paling hobi dengan yang namanya tidur. Baru sebentar saja, ia terlelap dengan impian-impiannya.
Malam Hari, 26 Mei 2013.
Malam itu salah seorang teman SMA menelepon “Sini dong. Lagi ngopi nih sendirian, temani sini”. Segera kupacu lagi motorku. Ngobrol-ngobrol sambil nyusu hangat. Obrolan tentang pekerjaan dan kisah beberapa teman membuat pembicaraan enggan terputus. Mendung makin lama makin menceka. Setelah dentuman kilat yang satu itu aku segera minta diri. Dentuman kilat yang seolah menjadi alarm buatku untuk segera pulang. Pukul 21.00 aku pulang. Sampai di rumah, nonton tv. Kurang lebih pukul 22.00 hapeku berdering. Pesan singkat dari seorang kawan lamaku Alfa (Mbah Papa)
Ayo ke berangkat Manggir sekarang. Kalau mau malam ini juga berangkat.
Kaget juga, memang temanku yang satu ini paling hobi naik gunung. Kubalas untuk menemuinya dan ngobrol tentang isi sms itu. Akhirnya dicapai ksepakatan berangkat malam itu juga.
Senter yang semula telah kukeluarkan dari tas akhirnya kembali menempatkan diri di posisinya semula. Di dalam tas bagian depan. Pun dengan pisauku terpasang rapi di celana. Beberapa stok logistik masuk juga, diantaranya: kopi, gula,, ubi, mug, serta jajanan pasar yang tergolek enggan di meja. Makanan pemberian teman Bapak sebagai ungkapan rasa syukur sedekah bumi ikut masuk. Kalau di rumah makanan seperti ini jarang terjamah. Kukeluarkan Alfredku lagi. Motor Yamaha Alfa keluaran tahun 1992,  yang nampaknya sudah cukup lama beristirahat. Pelan-pelan kutuntun motor ini. Karea suaranya yang melebihi petir aku tak mau mengendarainya di depan rumah. Kutunggu Mbahe di depan rumahnya. Lama juga. Akhirnya Mbahe dengan Alif keluar membawa dua buah tas besar. Satu carriel berisi tenda, satunya tas punggung biasa. Cek logistik. Mie instan yang menurut kami sudah dipersiapkan Alif ternyata lolos dari ingatan. Sempat terjadi saling menyalahkan lantaran kami kira mie instan sudah disiapkan Alif. Hingga akhirnya dua bungkus roti masuk dalam tas. Mampir warung, Alif beli nasi kucing, dia belum makan malam. Isi angin. Isi bensin.
Pukul 22.30 kami berangkat. Aku dan adikku berangkat ke Todanan lagi. Jalanan yang telah kami tempuh tadi siang, kami tempuh lagi malam ini. Rute yang kami pilih masih sama dengan rute tadi siang: Ngawen-Japah-Todanan. Sialnya mataku bermasalah kalau malam begini. Jalanan tak begitu nampak. Lubang-lubang jalan kena trabas. Tak ayal beberapa cipratan dan super shocking therapy menjadi satu hal yang mengagetkan. Dingin. Sepi. Sesekali terdengar teriakan
“Astaghfirullaaaaahhhhh…pelan-pelan to Mas” pekik Dik Sofa. Kujawab dengan tawa “haaa….haaa..haa”
Akhirnya setelah sukses melewati Kecamatan Japah, kami masuk Kecamatan Todanan. Kami ambil arah Desa Ketileng. Jalan desa yang jauh dari jalan utama menambah seru suasaa. Setelah mampu menerobos jalanan malam yang dingin ditambah sisa air genangan hujan tadi siang kami sampai di Desa Kacangan. Jam di tangan ini menunjukkan pukul 00.00. Kami cari tempat untuk memarkir kendaraan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Sembari mengendarai motor pelan-pelan kami terus memasang mata untuk mencari rumah penduduk yang masih terbuka. Tak ada. Kami putuskan untuk berhenti di Balai Desa yang masih ramai. Beberapa orang masih berkumpul di sana. Sangat wajar, besok adalah hari pemilihan gubernur. Tak ayal kalau Balai Desa ini masih ramai meski jam sudah terlampau larut. Turun dari kendaraan kami sampaikan maksud kami kepada Bapak-Bapak yang berkumpul di Balai desa untuk titip sepeda motor. Ah, sial mereka tak berani menjamin kemanan.
“Mungkin jam segini di sini masih ramai, Mas. Tapi nanti, kami akan pulang ke rumah masing-masing,” kata salah seorang Bapak.
“Dibawa naik saja. Nanti di ujung tanjakan sana ada rumah, nah motornya diparkir di situ saja. Tenang saja, aman..” seru Bapak yang lain.
Kami pun menuruti imbauan si Bapak. Jalanan makin menanjak. Dalam hati bergumam “hebat juga si Alfred ini, kuat diajak menanjak padahal berboncengan. Tidak percuma kau sering kuperlakukan dengan istimewa.” Sampai di depan rumah penduduk yang masih tertutup pintunya, motor kami parkir. Was-was. Kami kunci setir. Mbah Papa yang kelihtan sangat was-was. Dia lupa tidak membawa gembok. Kami tingaalkan motor, lalu naik. Alip di depan sebagai navigator. Ia bilang kalau pernah ke sini lima tahun yang lalu ketika masih SMA.
Cuaca hari itu sangat bersahabat. Bulan bediri dengan sombongnya menerangi jalan kami. Karena terangnya ini, rasa dingin malam itu tak terlalu parah. Biarpun jalanan cukup terang karena sinar bulan kukeluarkan senter. Senter ini ternyata mampu menjadi dewa penolong. Hanya ada satu senter, ya senter ini. Kami sorotkan ke puncak-puncak di kanan kiri. Mencari tahu mana puncak yang akan kami daki.
Jalanan menuju Puncak Manggir berbatu tajam dan licin. Memang tak terlalu tinggi, lebih tinggi Gunung Api Purba Nglanggeran. Sampailah kami di puncak pukul 01.00. Satu jam perjalanan menuju puncak kalau ditempuh pada malam hari. Itu pun dengan ingatan yang kadang-kadang terganggu. Di puncak terdapat sebuah bangunan beratap tanpa dinding. Bangunan yang sudah usang. Dilihat dari kondisi fisiknya sepertinya dulu terdapat dinding tembok, mungkin sudah dihancurkan. Hal ini terlihat dari sisa gempuran-gempuran di tepi bangunan.
Perjalanan berakhir. Bongkar tas. Mbahe dan Alip mendirikan tenda, aku dan adikku membuat api unggun. Api tak mau menyala. Kayu yang kami dapatkan banyak yang basah lantaran embun. Tak ada parafin, tisyu atau kertas semacamnya. Ah perlu perjuangan ekstra. Setelah cukup lama kegiatan: pantik-kipas-tiup akhirnya api unggun nyala juga meski dengan manja.
Alip yang belum sempat makan malam langsung membuka perbekalannya. Usai makan dia langsung tidur dalam tenda. Tak ada mie instan, satu kesalahan yang cukup fatal. Jelas, ketika udara di puncak sedemikian dingin maka manusia akan mencoba menghangatkan diri salah satunya dengan makan. Buka-buka tas, untunglah ada empat ubi jalar yang kubawa dari rumah. Bakar ubi, masak kopi. Tak ada juga yang membawa sendok. Tanpa takaran sendok, kami buat kopi dengan ukuran sepantasnya saja. Kayu yang cukup bersih jadi alternatif utama pengganti sendok untuk mengaduk. Setelah kopi matang, roti dan ubi bakar jadi menu utama pengganjal perut.
Bersama Alif (Dok.Pri)


Ketika kutanya “kapasitas tenda untuk berapa orang?” Mbahe menjawab “Tenda ini harusnya untuk tiga orang.” Akhirnya, pukul 03.00 kami masuk tenda dan tidur dengan posisi yang sangat menghimpit. Kami tidur dengan kaki terlipat dengan posisi badan miring. Tanpa matras karena matrasnya dipakai Alif yang telah tidur duluan. Heran. Bisa juga aku tidur dalam suasana begini. Biasanya aku sering menghabiskan waktu dengan bakar-bakar sampai pagi. Itu pun ditambah dengan ngobrol-ngobrol. Barangkali kecapekan tadi siang ditambah perjalanan malam ini. 
Terdengar suara-suara aneh yang saling bersahutan. Ketika itu pukul 04.30. dengan suara yang masih ingin terlelap Mbahe bilang itu suara merak. Setelah keluar tenda baru kutahu itu adalah suara ayam hutan yang berkokok bersahutan. Embun nampak menutupi sebagian dataran ini. Putih perak. Mirip dengan uban kakekku dulu. Dataran ini menguban air. Teman-teman masih pada tidur.
Perlahan hari mulai terang. Sinar mentari mulai menyapu uban kakek itu. Ketika penyapuan itu terjadi segera kumasak kopi. Sengaja kumasak kopi supaya aroma ini membangunkan mereka. Tak lama satu per satu Dik Sofa dan Mbah Papa bangun dan keluar tenda. “Hahahaha, sukses juga jurusku ini,” gumamku dalam hati. Kopi matang. Kami naik ke atap bangunan tak bertembok itu. Pemandangan yang indah dapat terlihat dari sini. Uban yang satu per satu hilang itu sangat jelas terlihat. Sayangnya tak ada sun rise. Nampaknya dataran yang kami daki ini kurang tinggi. Setelah foto-foto, kami turun kembali.  Sarapan dan minum kopi. Alip bangun. Ia naik ke atap dan minta difoto.

Pukul 07.30 packing dan turun. Sempat lupa jalan. Nrabas. Ternyata jalan yang kami trabas adalah jalan memutar. Aihhhh…Pukul 08.00 kami sampai di bawah. Kami pun pulang menuju rumah masing-masing. Dengan mata yang masih sepet, berpadukan bau mulut yang khas, ditambah dengan bau badan yang istimewa kami susuri jalanan. Sampai di rumah pukul 10.00 langsung mandi, sarapan, dan tidur. Pukul 13.00 bangun kemudian pergi ke TPS mencoblos yang nyatanya tak ada suat suara yang kulubangi. Melipat dan melipat kembali setelah itu memasukkan surat suara di tempatnya. Ah! Aku tak pernah bersimpati dengan acara-acara demikian.
Pemandangan Manggir pagi hari (Dok.Pri)
Mungkin karena capek yang belum hilang, pukul 14.00 tidur lagi sampai pukul 17.30. Nah kalau acara yang demikian aku paliing bersimpati. Walaupun melelahkan tapi jelas banyak hal yang bisa kudapatkan hari ini. Setidaknya Gunung Manggir yang lama kuimpikan akhirnya bisa kudaki. Salah satu dataran tinggi yang ada di daerah tempat tinggalku akhirnya dapat kulukiskan dalam memori masa laluku. 
Selengkapnya.. - Blora Expedition Part 3 (Terawang-Manggir)

Senin, 15 April 2013

Pengabdian

                  Dalam malam inipikiranku masih melayang-alayang. Tentunya syaraf mata masih tertegang. muncul seribu satu kunang-kunang. Jelmaan pikiran-pikiran yang selalu membayang. Satu di antaranya adalah tentang pengabdian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, abdi berarti 'orang bawahan; pelayan; dan hamba' Adapun pengabdian mempunyai arti 'proses, cara, perbuatan mengabdi atau mengabdikan' (2007: 2). Kaitannya dengan pengertian ini entah mengapa saya kurang menyukai dengan arti dari abdi yang pertama karena masih berbau feodal. Kasta masyarakat masih terasa. 

               Pengabdian adalah proses dari melayani. Satu hal yang ingin saya tulis di sini adalah tentang pengabdian masyarakat. Manusia tidak bisa lepas dari apa yang namanya masyarakat. Manusia dan masyarakat telah menyatu bagaikan daging dengan darah. Pengabdian kepada masyarakat (secara lebih khusus) dan rakyat (lebih general) memerlukan tekad dan keberanian yang kuat. Merujuk dari kedua pengertian di atas maka keikhlasan menjadi kunci dari pengabdian. 
Bagi manusia-manusia yang menginginkan imbalan daripadanya tentu takkan kuasa. Mereka akan tersingkir dari pengabdian Tak jarang mereka menganggap pengabdian hanyalah suatu bentuk kekonyolan yang tak berujung. Mereka akann senantiasa dilema. Pasalnya, materi adalah satu hal utama dalam benak mereka. Prinsip ekonomi milik Adam Smith senantiasa diterapkan dalam hidupnya. Dia menjauhkan segala hal yang berkaitan dengan filsafat. Mereka hanya percaya bahwa ada suatu hal yang lebh besar di dunia ini, Tuhan. Akan tetapi mereka tidak mau mengamalkan apa yang dimiliki untuk orang lain. Payah. 
Cobalah sejenak kita pikirkan kehidupan. Memang tak dapat disangkal manusia perlu materi untuk hidup dan melanjutkan kehidupan. Akan tetapi bukanlah materi itu yang utama. Disadari atau tidak keenyamanan dan kenikmatanlah yang dicari manusia. Hubungannya dengan kedua hal yang sangat berhubungan ini dapat kita ambil contoh yaitu pernikahan. 
Dalam usia 20 tahun ke atas, banyak remaja yang gelisah. hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, anggapan bahwa banyak teman yang telah menikah (lalu bagaimana dengannya?) Kedua, ketakutan terhadap mitos dan anggapan masyarakat tentang batasan wajar menikah. Terlebih wanita, dia akan bimbang ketika muncul slogan lama perawan tua? Ketiga, rasa takut karena dikira tidak laku. Keempat, tidak bisa melawan kehendak orang tua yang menginginkan anaknya segera menikah. Dengan segera menikah maka tanggung jawab orang tua akan sedikit terkurangi. Kelima, takut kalau dilangkahi si adik. Tentunya masih banyak alasan yang dapat dijadikan buti kuat pendukung pendapat di atas. 
               Pendapat-pendapat ini sering kujumpai dari mulut teman-teman ketika diskusi. menanggapi pendapat yang berjajar seperti pulau-pulau ini aku lebih memilih diam dan tersenyum. Bahkan, tak jarang kucoba korek-korek informasi dari pembicara. 
Bagiku sendiri. Dalam hati yang paling dalam aku punya satu keyakinan yang kuat bahwa tujuan mulia dari hidup bukanlah mencai pasangan. Jodoh, pasangan, pernikahan hanyalah satu step kehidupan. Memang, ssemua orang cenderung memilih untuk melewatinya. Tentunya dengan berbagai pertimbangan dan kepentingan masing-masing. Biarlah bukankah itu hak setiap manusia bernapas? 
Kaitannya dengan contohh pernikahan di atas, manusia tak segan-segan mengeluarkan budget yang tak sedikit. Bahkan mungkin hingga bepuluh-puluh juta. Wah! 
Satu contoh lagi, manusia tentu dengan senang hati mengeluarkan biaya meskipun tinggi untuk kesenangan dan kenikmatan. Banyak yang dapat kita tarik di sini. Hobby masing0masing manusia [un beragam, dari yang nol rupiah misal lari-lari sampai ke berrupiah-rupiah. What for? Untuk menyalurkan imajinasinya demi terpenuhinya kesenangan dann kenikmatan hati. Puas adalah satu indikator yang dapat digunakan sebagai penentu keberhasilan. 
               
Dari kedua contoh ini kita jadikan simultan untuk variabel yang bernama pengabdian. Kalau kedua contoh ini selalu diumbar tentu akan menimbulkan dampak yang negatif. Pengabdian memang sulit karena dilandasi keikhlasann. Keikhlasan menuntut jiwa suci yang terluapkan. Andai saja pengabdian itu dilakukan dengan senang hati dengan indikator ketercapaian nikmat pasti lain cerita dari kedua contoh itu. Celakalah mereka yang mempunyai jiwa busuk. Pengabdian kepada masyarakat mempunyai arti tersendiri bagi yang menikmatinya. Arti itu tidak dapat digambarkan maupun ditakar dengan ukuran gram. Ia akan selalu berada dalam jalur rel kemisteriusan yang dapat dicapai oleh manusia yang mempunyai jiwa suci. 
       Darimana jiwa misterius itu didapat? Pertanyaan klasik. Tentunya dari perasaan senasib seperjuangan terhadap sesama. Dengan perasaan ini sudahkah dapat dikatakan bahwa jiwa misterisu itu bersarang dalam hati manusia? Tidak! Percuma saja kalau perasaan ini tidak diaplikasikan dengan tindakan nyata. Bahayanya mereka yang salah menafsirkan akan berubah menjadi suatu ancaman. Dengan penafsiran yang salah, barangkali setelah melihat realita yang ada seseorang akan berbalik arah menjadi egois, bahkan sombong. 
             Perasaan yang seimbang akan menimbulkan titik ledak yang membuat jiwa manusia melompat dalam tataran kesucian yang manis tadi. Dan apabila terjadi salah penafsiran dia akan meledak tepat pada dirinya sendiri. Jadi, lakukanlah yang terbaik buat bangsa dan rakyatmu. Jangan perkaya diri. Di antara kita masih terdapat manusia-manusia kapar. Tak usahlah kita kenyangkan perut kita. Tak ada guna
Selengkapnya.. - Pengabdian

Kamis, 11 April 2013

Blora Expedition (part 2)

                    Selasa 19 Maret 2013. Hari ini tepat pukul 09.30 kumulai petualanganku kembali. Setelah sekian lama akhirnya dimulai lagi. Kali ini hanya berdua. Dengan ditemani sahabat baikku bernama Tulus Setyadi Ekspedisi kedua kita buka kembali. Setelah pekerjaan rumah kupercepat, berangkat juga. Ekspedisi Insidental. Prepare terlebih dahulu. Air mineral, sarung, mantol, pisau dan beberapa buah salak, semua kumasukkan ke dalam tas merahku. Adapun TE (Target Ekspedisi) kali ini Blora bagian selatan, arah Randublatung. TE pertama, JATI DENOK. Jati Denok merupakan pohon jati besar yang konon untuk mengukur diameter batang diperlukan sedikitnya sepuluh orang untuk mendekap. Berdasarkan informasi yang berhasil kuperoleh, jati besar ini berada di Desa Jatiklampok. Kami sadar, persiapan sangat kurang, termasuk cari informasi. Informasi kuperoleh dari teman hari itu juga, itu pun hanya tanya jawab via SMS. Begini jawaban sang teman:
“Letaknya di Desa Jatiklampok, kalu dari Pasar Blora lurus saja ke arah Randublatung,”

Sepeda motor dipacu ke tujuan, arah Blora-Randublatung. Di tengah perjalanan sengaja kami hentikan deru sepeda motor. Tepat di sisi kiri jalan setelah cukup jauh memasuki hutan terdapat pohon besar dengan dikelilingi pagar di sekitarnya. Di batang pohon tertempel tulisan di papan kayu Jati Gong. Heran juga kenapa dinamai Jati Gong, padahal pohon tersebut bukanlah pohon jati. Ambil gambar, perjalanan dilanjut. Perjalanan terhenti lagi, lantaran terdapat menara pandang di sebelah kiri jalan yang kami lewati. Objek yang bagus untuk ambil gambar. Di menara itu tertulis Dilarang naik selain petugas. Ah sikat saja, kucoba naik sampai setengah tangga. Ngeri, angin yang menghempas terlalu kencang. Membuat tangga bergoyang. Beginilah kalau penyakit phobia ketinggian, belum sampai puncak, aku turun. Lanjut lagi.

Dua kali tanya penduduk dan nyaris kesasar. Jalan yang kami lalui pun jauh dari kata bagus. Maklum di tengah hutan. Kondisi jalan zig-zag ditambah batu-batuan yang menjulang keluar dari tanah, kami babat. Kami harus berterima kasih kepada Agung. Seorang anak kecil yang masih duduk di bangku kelas 5 SD ini menjadi malaikat bagi kami. Ia mengantarkan kami ke lokasi setelah jalan yang kami lalui terlampau jauh dari objek. Agung kami temui di jalan sewaktu kami mencoba bertanya kepada Mas-Mas pencari rumput. Mas-mas yang kami tanya pun belum tahu pasti lokasi Jati Denok, katanya beliau bukan asli daerah situ. Jadi dicegatnya Agung ketika lewat. Niat si Agung ingin menjemput emaknya yang merumput di hutan situ. Setelah bertemu emak nya di pinggir jalan, disuruhnya mengantar kami terlebih dahulu. Kami pun diantar. Agung naik motor tanpa alas kaki. Hebat.

Sesampai di lokasi, kami bertiga: Agung, Tulus, dan aku ngobrol-ngobrol sebentar. Baru aku tahu, jarak sekolah Agung dari rumah jauhnya minta ampun. Ia pun berangkat dengan jalan kaki. Motor yang dipakainya ditinggal di rumah. Tak lupa, kami ajak Agung untuk foto-foto. Sebelum Agung pergi kuberikan sedikit salak yang kubawa dari rumah. Niatnya sih untuk bekal kami, tapi alangkah lebih baik kalau salak ini kami berikan kepada Agung Si Malaikat pertama. Semoga bermanfaat. Pastinya salak itu tak sebanding dengan pertolongan yang diberikan kepada kami.

Sepeninggal Agung tak henti-hentinya kami pandangi Pohon Jati besar ini. Pohon yang masih berdiri kokoh dengan dikelilingi pagar kayu bercat cokelat. Pertanda masih dijaga kelestariannya. Tertulis berbagai keterangan di papan yang dipaku pada batang pohon. Dari keterangan itu baru kami ketahui bahwa pohon jati itu sudah berusia sekitar 350 tahun. Usia yang sama dengan pendudukan Belanda di Indonesia. Tepat di bawah pohon nampak bekas sesajian. Ah javanisme ini.
Ketika kami akan segera beranjak, datanglah Mas-Mas yang tadi mencegat Agung. Beliau ternyata penasaran ingin tahu seperti apa Jati Denok itu. Sambil duduk ngobrol-ngobrol ringan, tak jadi beranjak. Kukeluarkan air minum dari tas merah. Entah benar entah tidak, dari obrolan ini pula kami tahu bahwa di sekitar sini masih banyak terdapat sumber-sumber minyak.
“Sebenarnya Blora itu kaya. Banyak sumber minyak. Pohon jati juga banyak. Coba kalau masyarakat Blora jengkel dan membuat Negara sendiri. Oiya, dengar-dengar didekat sini ada sumber gas elpiji juga lho,” kata Mas itu.
Obrolan rampung, kami beranjak dari lokasi pertama. Obrolan dengan ma situ membuka TE baru lagi, yaitu petilasan. Praktis,rencana hendak ke kubur batu peninggalan zaman Megalithikum kami cancel lantaran lokasi yang masih ngeblur.
            Keluar dari hutan tempat Jati Denok TE kedua kami cari Petilasan. Kumainkan senjata pamungkas, tanya. Kali ini kusambangi Pos Penjaga Hutan. Kami bertanya di sana. Dengan berbekal informasi penjaga yang acuh tak acuh, kami berangkat. Letaknya ternyata tak jauh dari Pos Penjagaan Hutan. Dengan kondisi jalan yang naik dan licin, perjalanan semakin seru. Sepi. Sunyi. Hanya kami yang lewat jalan setapak itu. Perjalanan terhenti di jalan bercabang. Bingung, arah mana yang akan kami tempuh. Percayalah di hutan-hutan seperti ini kalian pasti akan menemui jalan bercabang. Membingungkan.
Syukurlah, Malaikat kedua datang. Dari arah lain terlihat dua orang Ibu-Ibu mengendarai sepeda motor. Setelah kami tanya tentang petilasan Si Ibu menjawab “Oh, Punden? Ayo Mas sekalian saja, kita satu arah,” kata SI Ibu. Kondisi jalan makin menanjak dan licin. Si Ibu lalu memencet klakson keras-keras dan menghentikan sepeda motornya. “Ini lho Mas yang namanya Punden,” kata Si Ibu lalu melanjutkan perjalanan.

Entah kenapa bulu kuduk kami merinding. Sunyi senyap. Tak ada orang satupun kecuali aku dan Tulus. Kami parkir sepeda motor. Kudekati lokasi itu. Kata Mas-Mas yang kutemui di hutan tempat Jati Denok berada, petilasan ini adalah petilasan Sunan Pojok. Kondisi Petilasan sama dengan yang ada di Jati Denok. Dikelilingi pagar kayu. Tampak pagar kayu ini baru. Tandanya belum lama dipugar.

Satu hal yang mengejutkan adalah tentang konstruksi tanah. Tanah yang ada di sini berundak-undak. Mungkin saja ini adalah bagian dari Punden Berundak yang ada dalam sejarah. Adapun tepat di atas undakan terdapat setumpuk batu. Batu itu tersusun rapi. Lalu, menuruni undakan masih ada gentong air, jumlahnya tiga buah. Dua buah terletak berdampingan dengan gayung dan corong di atasnya. Sedangkan gentong yang satu berada di undakan paling dasar.
“Bro, sepertinya jangan foto dengan objek orang deh,” kata Tulus. Aku paham dengan maksudnya. Setelah foto-fotokami beranjak pulang. Sungguh suasana di sana sangat mencekam dipadu dengan mendung yang kian datang. Kami pun ngobrol tentang suasana ngeri ini.

Entah kenapa bisa begitu, mungkin sugesti yang berlebihan. Untuk menyeimbangkan sugesti yang berlebihan kami coba untuk selalu berpikir positif. Tak dapat dibohongi, rasanya ekspedisi kali ini kurang berkesan. Medan yang terlalu mudah, obyek yang kurang elegan menambah biasa-nya perjalanan.

Perjalanan sampai di Desa Karangpace. Di kanan jalan dari arah Randublatung terdapat dua gapura bertuliskan Desa Karangpace Klopoduwur. Lhah, bukannya di desa ini masyarakat Samin berada? Masyarakat Samin yang membangkang dan melawan penjajahan Belanda dengan sikap boikotnya seperti dalam tetraalogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer? Aku jadi teringat perjalanan ingin menemui masyarakat Samin tempo hari. Aku dan teman-teman dari LPM Pendapa dulu ditipu. Katanya masyarakat Samin di Klopoduwur sudah tidak ada, kami disarankan untuk mencari di Desa Bapangan, Mendenrejo. Dan kini kuulangi perjalanan itu. Kami putuskan untuk mencoba masuk gerbang gapura itu tanpa tanya masyarakat. Kami masuk ke gerbang kedua terlebih dulu, siapa tahu masih ada peninggalan masyarakat Samin di situ. Ah, tidak ada. Tak mau nyerah, kami masuk ke gerbang yang satunya. Dari kejahan terlihat penjual jajanan penthol naik sepeda. Kami putuskan untuk beli penthol sambil cari informasi. Dan benar saja si Penjual Penthol bilang “kalau masuk ke sana ya Desa Karangpace, Mas. Itu yang di sana ada aula,” kata penjual Penthol. “Aula apa, Pak?” tanyaku. “Orang Samin, Mas” jawab si Bapak Penjual Penthol lirih bahkan nyaris tak terdengar. Nah ini dia yang kita cari, pikir kami.
Penthol kami kantongilalu masuk ke lorong menurun. Ternyata lorong buntu, sial. Sebelum sampai ke ujung lorong di kiri jalan tertulis Jurus Tandur Sedulur Sikep. Satu per satu TE kita mulai menemukan titik terang. Ketika sampai di ujung lorong, kami pun tecengang. Bediri megah sebuah gazebo. Gazebo ini lah yang jadi TE kami. Tempat pertemuan masyarakat Samin atau yang lebih akrab dipanggil sedulur sikep. Kalu dilihat dari bangunannya, gazebo ini belum lama berdiri. Kedatangan kami di gazebo ini disambut dengan tatap mata sinis warga sekitar. Biarkanlah. Kami coba masukke gazebo ini. Di dalam gazebo terpajang beberapa foto kegiatan serta tulisan-tulisan asas ajaran dan prinsip hisup masyarakat Samin. Tepat di tengah Gazebo terdapat tulisan besar yang berbunyi: SANGKAN PARANING DUMADI. Ambil beberapa gambar.

Di sini pula kami dibuat heran dengan pemandangan yang menaruk. Pertama, di depan gazebo berdiri rumah penduduk berdinding kulit-kulit kayu. Kedua, ketika kami duduk sambil makan Penthol sandiwara lewatlah seorang Ibu dengan ternak peliharaannya. Posisi Si Ibu berada di belakang sapi peliharaan dengan membawa sabu dan ikrak. Terlihat setiap kali si ternak mengeluarkan kotoran, si Ibu dengan sigap memberishkannya. Dahsyat! Ketiga, ketika akan beranjak dari tempat duduk, lewatlah anak kecil membawa mainan. Mainan ini menyerupai mobil-mobilan terbuat dengan kayu lengkap dengan rodanya. Wah barangkali cara ini yang digunakan masyarakat Samin untuk senantiasa menolak modernisasi yang sering membawa dampak buruk.  
Kami sadari, tatapan asing masyarakat itu lantaran kami tidak menyapa terlebih dahulu. Cari tempat salat duhur. Kami berhenti di masjid Agung Baitunnur. Baru aku tahu bahwa masjid ini didirikan oleh sekelompok orang tionghoa yang tinggal di Blora. Usai salat duhur, kami mencoba untuk pulang melewati depan RSUD. Hanya ingin memastikan adakah sisa peninggalan dr. Soetomo di sini. Dalam benakku mungkin saja nama dr. Soetomo dipakai menjadi nama RSUD. Berdasar informasi yang kudapat dari Rumah Kaca, bagian akhir dari Tetralogi Pulau Buru: dulu, dr. Soetomo pernah ditugaskan di rumah sakit Zending di Blora. Bahkan, ia sempat tertarik dengan wanita setempat. Dugaanku salah, nama RSUD Blora bukan RSUD dr. Soetomo. Akan tetapi, nama dr. Soetomo digunakan sebagai nama jalan di depan RSUD yang membentang ke selatan. Ah, setidaknya dia pendiri Budi Utomo pernah singgah di sini. Blora memang misterius.
Setelah kucoba cari info ternyata petilasan itu terdapat di arela Gunung Pegat. Menurut rumor dan mitos yang beralku sampai sekarang ketika ad airing-iringan pengantin tidak diperkenankan melewati daerah itu. Katanya pernikahan tidak akan langgeng dan berakhir dengan perceraian. Temanku pun mengungkapkan hal yang sama. Dia berkata dahulu ketika meminang istrinya yang tinggal di Randublatung, ia memilih jalan memutar.




Selengkapnya.. - Blora Expedition (part 2)