Minggu, 26 Mei 2013
Rencana
yang sudah kuatur sebelumnya bersama adikku akhirnya berjalan. Sabtu menjadi
klimaks dari konsep dan rencana itu. Segala sesuatu pasti mepunyai dampak,
adanya aksi tentu menghasilkan reaksi. Adapun menurut Hegel sang filsuf, sebuah
thesis akan dihadapkan dengan antithesis yang kemudian menimbulkan hasil yaitu
sintesis. Maka dari itu, sebagai kesinambungan dari kunjunganku yang kedua
kudatangi lagi obyek wisata di daerah Todanan, Blora, Jawa Tengah.
Goa
Terawang
Saat pertama kali datang kemari, aku hanya
masuk ke cungkup goa utama. Maklumlah, bersama dengan orang-orang semi formal.
Dari sini sedikit demi sedikit rasa penasaran itu menemui bentuknya. Hingga
akhirnya bersama Tulus dan Sosa (kedua kawanku) ini kusambangi untuk kedua
kalinya.
Penasaran sebagai perwujudan tesis ini
mendapatkan konfrontasi, hingga membuat diri mencari pembenaran. Antitesis
muncul. Yaitu pencarian beberapa goa yang terdapat dalam papan penunjuk jalan.
Bosan dengan goa utama saja. Hingga akhirnya ketemu lah sintesis Goa-Goa yang
kita jumpai selain Goa utama (Terawang). Goa-goa itu antara lain: Goa Macan,
Goa Kidang, dan Goa Celeng.
Pagi itu pukul 08. 30
kami bertolak menuju lokasi. Untukku pribadi sebenarnya hanya untuk mengisi
liburan. Tapi mungkin berbeda untuk adikku yang belum pernah ke sini. Dengan Yamaha
Merah Alfa keluaran tahun 1992
akhirnya sampailah kami di lokasi. Rute yang kami ambil adalah
Ngawen-Japah-Todanan. Bersama motor tua yang terus terengah-engah akhirnya
09.30 sampai di lokasi. Kurang lebih satu jam perjalanan dari Ngawen. Sesampai
di portal masuk Goa sepeda motor kami parkir. Menemui penjaga portal untuk
membayar biaya masuk. Korup? Mungkin saja. Untuk biaya masuk dipatok harga per
@ Rp. 5000,- dan parkir motor Rp. 2000,-. Aku minta tiket masuk. Barangkali ini
adalah kebiasaan burukku untuk selalu mengoleksi tiket masuk obyek yang pernah
kusambangi. Di lembaran tiket tertulis biaya masuk per @ Rp. 4.000,- dan untuk
biaya parkir kendaraan Rp 4.000,-. Kalau memang yang terjadi adalah perubahan
yang belum sempat ditulis dalam tiket semoga saja. Dan mudah-mudahan bukan
korupsi. Sengaja kuminta kepada petugas tentang denah goa mana saja yang ada di
Wanawisata Goa Terawang. Dan digambarkan saat itu juga di kertas HVS.
Berjalan
menuju goa utama, Goa Terawang. Nampak
masih seperti yang dulu, belum ada perubahan. Hanya tanah liat yang
berlumpur yang nampaknya berubah. Praktis medan akan jauh lebih berat. Bisa
jadi semalam di sini hujan. Ketika kami datang masih sepi, belum banyak
pengunjung. Menuruni tangga semen yang telah rompal di sana-sini. Tiang handle atau pegangan tangan juga putus
di tengah jalan. Masih seperti yang kemarin waktu datang pertama, atau kedua.
kedatangan kami disambut primate yang bergelantungan. Ya, era masih menjadi
fauna yang tersisa. Tentu selain dari bururng-burung hutan yang antara lain:
kutilang, prenjak, ataupun cendhet.
Kususuri
Goa. Mulai dari Goa utama, Goa Terawang. Senter kunyalakan. Lalu masuk.
Terawang I, Terawang II, hingga Terawang V. Buntu. Kami keluar. Sebelum keluar,
kami coba masuki jalan alternatif yang ada. Wah bagus juga. Untuk fauna, kera
di sini masih banyak. Kedatangan disambut dengan beberapa kera yang melompat ke
sana-kemari. Adikku ini tampak gembira sekali. Terlihat dari sorot mata dan
raut mukanya.
Dari
Goa Terawang ini, sambil melihat peta yang digambar Bapak Petugas kami
lanjutkan perjalanan. Ke kanan lurus, maklum aku adalah orang yang paling payah
dalam hal arah. Hanya tahu kanan-kiri oke. Setelah berjalan cukup jauh, target
yang kami cari ketemu juga. Goa Bebek. Dilihat dari keadaan sekeliling goa ini
nampak jarang dikunjungi. Kami pun sebenarnya tak tahu kalau ada goa di pertigaan
jalan setapak. Ketika kulihat peta untuk ke sekian kalinya barulah sebuah
pikiran muncul: harusnya Goa Gombak berada di sekitar sini, dan benar saja bukannya
Goa Gombak yang kami temukan melainkan Goa Bebek. Goa dengan kemiringan kurang
lebih 45 derajat ini masih tertutup ilalang. Selain itu semak-semak juga
mengaburkan pandangan. Miris. Goa sebagus ini tidak terawat. Satu hal yang
patut disayangkan. Untuk masuk saja dipungut biaya kok kondisi di sini tidak
diperhatikan. Untuk apa uang-uang pungutan itu?
Kukeluarkan
pisau yang kubawa. Babat sana-sini. dan ketemulah. Karena tidak ada bekas jejak
kaki, cukup ngeri juga. Takut-takut jalanan yang kami injak adalah jurang.
tetapi ketika kujajajki sedikit demi sedikit ternyata hanya jalanan curam.
maklum masih tertutup semak belukar. Masuk goa. Sesampai di dalam napas jadi
terengah-engah. Sinar matahari tak masuk ke dalam goa. udara yang ada di dalam
goa lembab. Bau yang tercium mirip dengan karbit yang digunakan untuk membuat
buah-buahan agar cepat masak. Bau dalam goa ini sangat menyengat. Baru setelah
beberapa kali senter kunyalakan ketahuan juga bau ini berasal dari
kotoran-kotoran kelelawar. kotoran yang menumpuk di dalam goa. Pertanda goa
jarang dikunjungi. Ketika hendak keluar dari goa kami singgah di mulut goa
barang sebentar untuk mengabadikan gambar.
“Dik,
coba lihat” kataku sambil menunjukkan kaosku yang berasap. Keringat yang
terkena sinar matahari ini mengeluarkan asap.
“Who,
iya sama. Ini juga,” jawab adikku yang pertama ini.
|
Goa Bebek (Dok.Pri) |
Intermezo
di tengah perjalanan. Keluar dari Goa Bebek kami cari Goa Gombak. Goa Gombak
kami cari lantaran letaknya menurut peta yang ada dalam gambar tak begitu jauh.
Sayang, goa ini tak ketemu juga. Akhirnya kami menempuh perjalalnan menuruni
curam hingga sampailah kami di sebuah sungai. Masih teringat jelas dalam
benakku bahwa terdapat sebuah goa yang berada di tepi sungai. Akhirnya kami
putuskan untuk menyusuri sungai ini. Sungai dengan dasar tanah berkapur.
Air yang jernih serta dingin ini mampu membuat
kami sejenak lupa dengan rasa lelah yang melanda. Satu, dua kali terpeleset
karena sebagian tebing sungai terdapat lubang-lubang yang cukup dalam dan
licin. Hingga akhirnya sampailah kami di sebuah cerukan yang sedari tadi kami
cari. Goa Macan. Goa yang menurutku paling bagus. Bagaimana tidak, goa yang
penuh air mulai dari mulut goa sampai dinding akhir goa. Di mulut goa inilah
kami putuskan untuk minum dan istirahat. Satu hal yang sangat disayangkan, kami
tak memiliki perahu karet. Kalau saja kami punya perahu karet pasti akan
kumasuki goa itu dan mencari ujungnya, atau mungkin terapat beberapa cerukan
jalan lagi yang ada di dalam goa.
Kalau
saja ada perahu karet tentu akan lebih menarik. Goa ini penuh dengan air. Air
yang tak kami tahu dasarnya dangkal atau dalam. Memang pernah kami jajaki lebih
dulu dengan melemparkan batu untuk mengetahui kedalaman air. Plunggg…nampaknya
sangat dalam. Kami coba masukkan tongkat yang kami bawa, sama sekali belum
menyentuh pangkal dasar. Ketakutan kami hanya satu, karena goa ini terbentuk
dari tanah berkapur tentunya tidak menutup kemungkinan kalau dasar air berupa
cekungan. Kalau memang cekungan yang ada terlalu dangkal tak akan jadi masalah,
nah kalau cekungan ini semakin dalam dan menurun. Ah, kami tak mau ambil
risiko. Cukuplah kami duduk-duduk di mulut goa sambil melepaskan lelah yang
menikam. Omelette buatan sendiri dan air mineral yang kami bawa dari rumah,
akhirnya menjadi penutup istirahat itu.
Perjalanan
kami lanjutan kembali. Tujuan perjalanan ini adalah Goa Kuncir. Lokasi goa
menurut gambar di peta adalah searah dengan jalan keluar. Tapak demi tapak kami
jejakkan di tanah tandus berkapur ini. Terdapat pemandangan yang belum pernah
kami jumpai. Berhubung tanah di sini berkapur, petani-petani membuat tanggul
batas sawah dengan barisan batu dan kerikil. Kreatif juga, kala itu jagung dan
kacang menjadi tanaman utama di sana. Dengan tanpa menemukan Goa Kuncir kami
akhirnya memutuskan untuk keluar karena hari makin mendung. Kami sampai di
pintu masuk Goa Terawang kembali pukul 13.30.
Sebenarnya
ada rencana untuk mengunjungi Goa Kidang. Goa yang pernah kukunjungi bersama
Tulus dan Sosa tempo hari. Sayang, langit makin gelap, waktu juga semakin sore.
Akhirnya kami putuskan untuk pulang saja. Jalan yang hendak kami tempuh adalah
Todanan-Kunduran-Ngawen. Tamaknya, tampungan air yang ada di langit tak mampu
menahan berat yang demikian menjadi. Sampai di sekitar Pabrik Gula GMM (Gendhis
Multi Manis) hujan menyiram kami dengan segala keangkuhannya. Memasuki
Kecamatan Kunduran hujan berhenti seketika. Sampai di rumah pukul 14.00, segera
kami mandi, salat duhur, dan makan. Adikku yang satu ini paling hobi dengan
yang namanya tidur. Baru sebentar saja, ia terlelap dengan impian-impiannya.
Malam
Hari, 26 Mei 2013.
Malam
itu salah seorang teman SMA menelepon “Sini dong. Lagi ngopi nih sendirian,
temani sini”. Segera kupacu lagi motorku. Ngobrol-ngobrol sambil nyusu hangat.
Obrolan tentang pekerjaan dan kisah beberapa teman membuat pembicaraan enggan
terputus. Mendung makin lama makin menceka. Setelah dentuman kilat yang satu
itu aku segera minta diri. Dentuman kilat yang seolah menjadi alarm buatku
untuk segera pulang. Pukul 21.00 aku pulang. Sampai di rumah, nonton tv. Kurang
lebih pukul 22.00 hapeku berdering. Pesan singkat dari seorang kawan lamaku
Alfa (Mbah Papa)
Ayo ke berangkat Manggir sekarang.
Kalau mau malam ini juga berangkat.
Kaget
juga, memang temanku yang satu ini paling hobi naik gunung. Kubalas untuk
menemuinya dan ngobrol tentang isi sms itu.
Akhirnya dicapai ksepakatan berangkat malam itu juga.
Senter yang semula telah kukeluarkan
dari tas akhirnya kembali menempatkan diri di posisinya semula. Di dalam tas
bagian depan. Pun dengan pisauku terpasang rapi di celana. Beberapa stok
logistik masuk juga, diantaranya: kopi, gula,, ubi, mug, serta jajanan pasar
yang tergolek enggan di meja. Makanan pemberian teman Bapak sebagai ungkapan
rasa syukur sedekah bumi ikut masuk. Kalau di rumah makanan seperti ini jarang
terjamah. Kukeluarkan Alfredku lagi. Motor Yamaha Alfa keluaran tahun 1992, yang nampaknya sudah cukup lama beristirahat.
Pelan-pelan kutuntun motor ini. Karea suaranya yang melebihi petir aku tak mau
mengendarainya di depan rumah. Kutunggu Mbahe
di depan rumahnya. Lama juga. Akhirnya Mbahe dengan Alif keluar membawa dua
buah tas besar. Satu carriel berisi tenda, satunya tas punggung biasa. Cek
logistik. Mie instan yang menurut kami sudah dipersiapkan Alif ternyata lolos
dari ingatan. Sempat terjadi saling menyalahkan lantaran kami kira mie instan
sudah disiapkan Alif. Hingga akhirnya dua bungkus roti masuk dalam tas. Mampir
warung, Alif beli nasi kucing, dia belum makan malam. Isi angin. Isi bensin.
Pukul 22.30 kami berangkat. Aku dan
adikku berangkat ke Todanan lagi. Jalanan yang telah kami tempuh tadi siang,
kami tempuh lagi malam ini. Rute yang kami pilih masih sama dengan rute tadi
siang: Ngawen-Japah-Todanan. Sialnya mataku bermasalah kalau malam begini.
Jalanan tak begitu nampak. Lubang-lubang jalan kena trabas. Tak ayal beberapa
cipratan dan super shocking therapy
menjadi satu hal yang mengagetkan. Dingin. Sepi. Sesekali terdengar teriakan
“Astaghfirullaaaaahhhhh…pelan-pelan
to Mas” pekik Dik Sofa. Kujawab dengan tawa “haaa….haaa..haa”
Akhirnya
setelah sukses melewati Kecamatan Japah, kami masuk Kecamatan Todanan. Kami
ambil arah Desa Ketileng. Jalan desa yang jauh dari jalan utama menambah seru
suasaa. Setelah mampu menerobos jalanan malam yang dingin ditambah sisa air
genangan hujan tadi siang kami sampai di Desa Kacangan. Jam di tangan ini
menunjukkan pukul 00.00. Kami cari tempat untuk memarkir kendaraan. Semua pintu
rumah tertutup rapat. Sembari mengendarai motor pelan-pelan kami terus memasang
mata untuk mencari rumah penduduk yang masih terbuka. Tak ada. Kami putuskan
untuk berhenti di Balai Desa yang masih ramai. Beberapa orang masih berkumpul
di sana. Sangat wajar, besok adalah hari pemilihan gubernur. Tak ayal kalau
Balai Desa ini masih ramai meski jam sudah terlampau larut. Turun dari
kendaraan kami sampaikan maksud kami kepada Bapak-Bapak yang berkumpul di Balai
desa untuk titip sepeda motor. Ah, sial mereka tak berani menjamin kemanan.
“Mungkin
jam segini di sini masih ramai, Mas. Tapi nanti, kami akan pulang ke rumah
masing-masing,” kata salah seorang Bapak.
“Dibawa
naik saja. Nanti di ujung tanjakan sana ada rumah, nah motornya diparkir di
situ saja. Tenang saja, aman..” seru Bapak yang lain.
Kami pun menuruti imbauan si Bapak.
Jalanan makin menanjak. Dalam hati bergumam “hebat juga si Alfred ini, kuat
diajak menanjak padahal berboncengan. Tidak percuma kau sering kuperlakukan
dengan istimewa.” Sampai di depan rumah penduduk yang masih tertutup pintunya,
motor kami parkir. Was-was. Kami kunci setir. Mbah Papa yang kelihtan sangat was-was. Dia lupa tidak membawa
gembok. Kami tingaalkan motor, lalu naik. Alip di depan sebagai navigator. Ia
bilang kalau pernah ke sini lima tahun yang lalu ketika masih SMA.
Cuaca hari itu sangat bersahabat. Bulan
bediri dengan sombongnya menerangi jalan kami. Karena terangnya ini, rasa
dingin malam itu tak terlalu parah. Biarpun jalanan cukup terang karena sinar
bulan kukeluarkan senter. Senter ini ternyata mampu menjadi dewa penolong.
Hanya ada satu senter, ya senter ini. Kami sorotkan ke puncak-puncak di kanan
kiri. Mencari tahu mana puncak yang akan kami daki.
Jalanan menuju Puncak Manggir berbatu
tajam dan licin. Memang tak terlalu tinggi, lebih tinggi Gunung Api Purba
Nglanggeran. Sampailah kami di puncak pukul 01.00. Satu jam perjalanan menuju
puncak kalau ditempuh pada malam hari. Itu pun dengan ingatan yang
kadang-kadang terganggu. Di puncak terdapat sebuah bangunan beratap tanpa
dinding. Bangunan yang sudah usang. Dilihat dari kondisi fisiknya sepertinya
dulu terdapat dinding tembok, mungkin sudah dihancurkan. Hal ini terlihat dari sisa
gempuran-gempuran di tepi bangunan.
Perjalanan berakhir. Bongkar tas. Mbahe dan Alip mendirikan tenda, aku
dan adikku membuat api unggun. Api tak mau menyala. Kayu yang kami dapatkan
banyak yang basah lantaran embun. Tak ada parafin, tisyu atau kertas
semacamnya. Ah perlu perjuangan ekstra. Setelah cukup lama kegiatan: pantik-kipas-tiup
akhirnya api unggun nyala juga meski dengan manja.
Alip yang belum sempat makan malam
langsung membuka perbekalannya. Usai makan dia langsung tidur dalam tenda. Tak
ada mie instan, satu kesalahan yang cukup fatal. Jelas, ketika udara di puncak
sedemikian dingin maka manusia akan mencoba menghangatkan diri salah satunya
dengan makan. Buka-buka tas, untunglah ada empat ubi jalar yang kubawa dari
rumah. Bakar ubi, masak kopi. Tak ada juga yang membawa sendok. Tanpa takaran
sendok, kami buat kopi dengan ukuran sepantasnya saja. Kayu yang cukup bersih
jadi alternatif utama pengganti sendok untuk mengaduk. Setelah kopi matang,
roti dan ubi bakar jadi menu utama pengganjal perut.
|
Bersama Alif (Dok.Pri) |
Ketika kutanya “kapasitas tenda untuk
berapa orang?” Mbahe menjawab “Tenda ini harusnya untuk tiga orang.” Akhirnya,
pukul 03.00 kami masuk tenda dan tidur dengan posisi yang sangat menghimpit.
Kami tidur dengan kaki terlipat dengan posisi badan miring. Tanpa matras karena
matrasnya dipakai Alif yang telah tidur duluan. Heran. Bisa juga aku tidur
dalam suasana begini. Biasanya aku sering menghabiskan waktu dengan bakar-bakar
sampai pagi. Itu pun ditambah dengan ngobrol-ngobrol. Barangkali kecapekan tadi
siang ditambah perjalanan malam ini.
Terdengar suara-suara aneh yang saling bersahutan.
Ketika itu pukul 04.30. dengan suara yang masih ingin terlelap Mbahe bilang itu
suara merak. Setelah keluar tenda baru kutahu itu adalah suara ayam hutan yang
berkokok bersahutan. Embun nampak menutupi sebagian dataran ini. Putih perak.
Mirip dengan uban kakekku dulu. Dataran ini menguban air. Teman-teman masih
pada tidur.
Perlahan hari mulai terang. Sinar
mentari mulai menyapu uban kakek itu. Ketika penyapuan itu terjadi segera
kumasak kopi. Sengaja kumasak kopi supaya aroma ini membangunkan mereka. Tak
lama satu per satu Dik Sofa dan Mbah Papa bangun dan keluar tenda. “Hahahaha,
sukses juga jurusku ini,” gumamku dalam hati. Kopi matang. Kami naik ke atap
bangunan tak bertembok itu. Pemandangan yang indah dapat terlihat dari sini. Uban
yang satu per satu hilang itu sangat jelas terlihat. Sayangnya tak ada sun rise. Nampaknya dataran yang kami
daki ini kurang tinggi. Setelah foto-foto, kami turun kembali. Sarapan dan minum kopi. Alip bangun. Ia naik
ke atap dan minta difoto.
Pukul 07.30 packing dan turun. Sempat
lupa jalan. Nrabas. Ternyata jalan yang kami trabas adalah jalan memutar. Aihhhh…Pukul
08.00 kami sampai di bawah. Kami pun pulang menuju rumah masing-masing. Dengan
mata yang masih sepet, berpadukan bau mulut yang khas, ditambah dengan bau
badan yang istimewa kami susuri jalanan. Sampai di rumah pukul 10.00 langsung
mandi, sarapan, dan tidur. Pukul 13.00 bangun kemudian pergi ke TPS mencoblos
yang nyatanya tak ada suat suara yang kulubangi. Melipat dan melipat kembali setelah
itu memasukkan surat suara di tempatnya. Ah! Aku tak pernah bersimpati dengan
acara-acara demikian.
|
Pemandangan Manggir pagi hari (Dok.Pri) |
Mungkin karena capek yang belum hilang, pukul
14.00 tidur lagi sampai pukul 17.30. Nah kalau acara yang demikian aku paliing
bersimpati. Walaupun melelahkan tapi jelas banyak hal yang bisa kudapatkan hari
ini. Setidaknya Gunung Manggir yang lama kuimpikan akhirnya bisa kudaki. Salah
satu dataran tinggi yang ada di daerah tempat tinggalku akhirnya dapat
kulukiskan dalam memori masa laluku.