Sabtu, 09 Maret 2013

Gelisah

Detik, berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti bulan. Dan bulan kemudian berganti tahun. Tahun berubah menjadi abad. Semua bercerita tentang masa, waktu. Teringat akan noktah merah bernama waktu ini. Dalam waktu yang tak kita tahu samapai kapan akan berujung ini pernahkah sedikit kita berpikir tentang kehidupan? 
Kehidupan yang bagaimana? Ya, pertanyaan ini mungkin sekali dua kali menghampiri kita. Dia akan mudah kita lupakan, tetapi dengan cepat akan kembali lagi. Kembali untuk menggoda kita yang masih sembunyi dan malu-malu untuk mencari jawab atas pertanyaan ini. 
Pernahkah kita berpikir tentang apa yang sedang ataupun telah kita lakukan?
Sederhananya, sadar atau tidak. Waktu akan terus berjalan dengan menyimpan berbagai teka-teki yang ada di dalamnya. Coba kita berpikir sejenak. Setiap hari manusia bergelut dengan pekerjaan yang konon untuk mengejar yang satu ini: penghidupan. Memang tak bisa dimunafikkan, semua pun akan setuju kalau permasalahan yang satu ini sering membuat pusing kepala. Satu yang masih terngiang-ngiang di kepala. Jika manusia setiap hari bergeak untuk mendapatkan penghidupan. Seolah waktu hanyalah komidi putar yang terus berjalan. Komidi berawakkan kita yang terus menerus berputar tanpa kita tahu kemana, bagaimana, dan seperti apa tujuan hidup kita yang sesungguhnya. Komidi ini terus menerus berputar dengan menyisakan permasalahan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Permasalahan yang dibuat dan coba dipecahkan oleh manusia berakal. Tak jarang, banyak keluhan mendera di sini. 
Roda kehidupan ini berputar dengan segenap bahan bakar dan pelumas yang digunakan, yaitu kisah dan keluh kesah. Coba kita pikirkan, seharian kita mencari sumber penghidupan tapi kadang tak terasa kemana habisnya. Kita berusaha untuk mendapatkan sumber penghidupan yang berlebih tapi nyatanya habis juga. Manusia bergelut dengan segala yang dilakukan, berpenghasilan rendah. Nyatanya juga habis tanpa sisa. Lalu, apa sebenarnya yang kita lakukan? Menghabiskan waktu? Manjalani takdir?
Makin hari aku semakin gelisah dengan yang satu ini. Persis hantu. Datang dan pergi seenaknya. 
Yang aku tahu hanya satu ada kekuatan yang maha besar di dunia ini. Dan manusia-manusia mencoba menangis dan memohon. Dia lah Pelindung Ummat. Dialah yang menjadi rujukan dari segala. Dia lah Allah. Tuhan semesta alam. Yang karenanya hidup ini tak ubahnya misteri. Misteri yang berada ddi telapak tangan. Bisa kita lihat tapi tak bisa kita sentuh dan ubah. Ah, dunia dan kehidupan. Semua kukembalikan pada Mu, Maha Hidup. 
Selengkapnya.. - Gelisah

Jumat, 08 Maret 2013

menjejak-jejak dalam Jejak Langkah

         Setiap orang punya hal yang sangat disukainya. Ada yang melek dengan fashion. Ada yang melek dengan barang elektronik, motor, dan sebagainya. Pun denganku. Tak ada bedanya dengan manusia lain, aku juga memiliki kegemaran berlebih pada satu hal: buku. Entah kenapa setiap kali melihat barang yang satu ini mataku terbelalak tanpa menunggu respon dari otak. Menelisik lebih jauh, mengutip dari pendapat Tan Malaka. Bukankah setiap hal selalu menuai dampak? Dampak dari kesukaanku yang berlebih adalah hujan dampratan dari pihak yang berwajib. Yah, sekali, dua kali, semprotan nyamuk  ini selalu datang tanpa menunggu si nyamuk terbang. 


Dan akhirnya, sukses. satu buku telah habis kulumat. Sudah menjadi kewajiban setiap kali membaca buku harus ada tulisan sebagai penanda. Kali ini sasaran utama adalah Jejak Langkah. Buku setebal 721 halaman sudah habis tanpa sisa. Hebat, mantap. Buku ketiga Tetralogi Buru (The Buru Quartet) ini lebih banyak membicarakan tentang organisasi pribumi dalam masa kolonial Hindia Belanda. Minke sebagai tokoh utama tak henti-hentinya dihadapkan dalam ujian yang sangat berat. Setelah kehilangan Annelies Mellema, wanita indo Belanda istri yang dicintainya (dalam Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa) Minke menikah lagi dengan Ang San Mei, wanita Tioghoa yang punya segudang pengetahuan dan keberanian. Dan untuk kedua kalinya Minke kehilangan istri yang sangat dibanggakannya. Akan tetapi, tokoh utama ini tidak berlarut-larut bersedih. Terinspirasi oleh almarhumah istri, Ia bangkit dan mendirikan organisasi pribumi yang diberi nama "Syarikat Priyayi." Kehadirannya menambah marak organisasi perlawanan terhadap penjajah. Minke kemudian membuat surat kabar sendiri bernama Medan Priyayi, yang untuk selanjutnya dikenal degan nama Medan. Surat kabar khusus dengan bahasa Melayu yang lebih bisa dibaca masyarakat. Dengan surat kabar ini karirnya semakin menanjak. Hal yang berlawanan dengan kondisi organisasi. Syarikat Priyayi semakin terpuruk dan ambruk. 

       Dari keaktifannya ini kemudian Ia mendapatkan istri untuk ketiga kalinya. Berasal dari Manado bernama Prinses Van Kasiruta. Seorang wanita cantik berkulit coklat putri raja yang dibuang di Sukbumi. Prinses kemudian mengisi hari-harinya, mebantu Minke hingga akhirnya dialah wanita pribumi yang mampu mengurus percetakan majalah wanita untuk pertama kalinya.
Kecewa dengan Syarikat Priyayi yang telah ambruk, Minke kemudian mendirikan Syarikat Dagang Islamiyah yang disingkat SDI. Organisasi ini kemudian berkembang luas dan meimiliki pengikut yang sangat banyak di seluruh Hindia. Medan tetap berjalan dengan posisi Minke sebagai ketua SDI. Seiring perkambangan zaman SDI lalu pecah menjadi dua. SDI abangan dan SDI putih. Karir yang menanjak makin lama makin jadi sorotan. Lalu, kejadian besar menimpa Minke yang akhirnya diciduk dan dibuang oleh polisi karena dianggap mengadakan provokasi dan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.

      Cerita di atas hanya sekelumit gambaran tentang isi Jejak Langkah. Banyak cerita menarik yang terkandung di dalamnya. Kemampuan berinteraksi antartokoh, kondisi piskologis yang meledak-ledak, keberanian tokoh yang menakjubkan, semua ada dalam satu buku ini. Memang hebat Pramoedya. Bagaimana tidak, menulis cerita yang begini fenomenal di pengasingan. 

     Adapun untuk membaca diperlukan wawasan yang tidak sedikit. Kita akan dihadapkan dengan berbagai pertanyaan halus tentang tokoh-tokoh yang terselip dalam novel. baru kuketahui sedikit demi sedikit bahwa Wardi adalah gambaran dari Soewardi Soeryaningrat atau lebh dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara. Kemudian Douwager yang tidak lain adalah Douwes Dekker. Lalu, Marko yang ternyata Mas Marco Kartodikromo. Dan Minke sendiri, yang tersirat dalam novel disebutkan namanya T.A.S tidak lain adalah Raden Mas Tirto Adi Soeryo, Bapak Pers Indonesia. Putra dari Bupati Bojonegoro. Benar-benar buku menawan. Ah Jejak Langkah selesai dilanjut dengan yang lebih tebal Rumah Kaca. Buku terakhir dari tetralogi setebal 646 ini semoga lekas terselesaikan. 
Selengkapnya.. - menjejak-jejak dalam Jejak Langkah

Senin, 04 Maret 2013

Tarian Gagap Manusia Bumi

Masih terngiang dalam otak dan telingaku. Bukan. Itu bukan lantaran nyanyian merdu kepak sayap nyamuk, melainkan tarian gagap Manusia Bumi. Tak henti-hentinya aku berpikir tentang perkembangan zaman yang kian mengamuk. Masih perlukah kita bertanya berapa banyak orang yang tergerus dalam erosi modernisasi? 


Bukan, saya bukan ingin mengutuk dan menjadikan diri saya seorang pemuja aliran konservatif kelas kakap. Bukan, saya hanya ingin menginagtkan agar kita sebagai manusia, melek. Bukan selalu memejamkan sebelah mata dan memandang segala perkembangan dengan kekaguman. Ketakjuban yang tidak dibarengi dengan landasan yang jelas. Bukankah ketika kita di lingkup Sekolah Dasar sudah diajarkan tentang Sumber Daya Alam yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui? Diajarkan pula barang-barang untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dari primer, sekunder, tersier, sampai komplementer? 

Sayangnya, manusia zaman sekarang lebih cenderung memandang segala sesuatu dengan simpel. Komplementer disulap dan diubah menjadi primer. Tak percaya? 
Beberapa akan saya sebutkan di sini. Adapun penggantian ini selalu mempunyai dampak dan pengaruh terhadap kehidupan. 
  1. Sentir/uplik/dilah makin lama makin hilang dari tembok rumah bahkan lampu petromax kini menjadi barang buruan kolektor karena dianggap antik dan kuno. Jika kalian punya pasti akan laku dengan harga yang maha. Lampu tempel ini diganti dengan lampu listrik. Tak hanya itu, sebagai penggant, dicarikan pula inovasi yang cukup hebat yaitu dengan lampu isi ulang (recharge lamp). Kerugian pasti ada, hilangnya Sumber Daya Alam pribumi yang senantiasa kita banggakan. Minyak lenyap dari peredaran. Mungkin anak kita tak akan pernah tahu dan melihat wujud dari minyak tanah yang sebenarnya.
  2. Masih berkaitan dengan minyak, gas sebagai pengganti minyak tanah pun sekarang muncul dalam beberapa varian. Lihat saja dari yang 3 kg, 5 kg, 12 kg, dan ah banyak lagi tentunya. Saya masih ingat penggantian minyak tanah dengan gas elpiji ini digagas oleh mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla atau lebih akrab dipanggil JK. Kini, minyak tanah bukan hanya hilang dalam peredaran bahkan ambles dan kembali lagi ke dalam tanah yang tak kita ketahui dimana. Tadi saja, untuk mendapatkan gas elpiji seberat 3 kg harus kupacu kendaran untuk mengelilingi kecamatan. Beberapa toko kudatangi dan jawaban serupa yang kudapat: kosong! Akhirnya kudapat gas itu dengan harga yang Rp. 2000,- lebih tinggi yang sama halnya dengan berkurangnya kadar bensin dari motor bututku. 
  3. Penggunaan media telekomunikasi sekarang yang semakin canggih. Untuk penggunaan telepon seluler yang Jadul (jaman dulu) mulai berada dalam ambang kepunahan. Ya, kini hape lebih modern. Lengkap dengan layanan fitur internet dan berbagai macam di dalamnya. Jangan salah, tindak kriminal yang ada pun mulai merebak dengan segala fiturnya, dari perkosaan, pencabulan, pencurian, yah banyak lagi, untuk menalak istri pun bisa. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh maraknya penggunaan teknologi yang berlebihan. Dengan berlebihan inilah yang kemudian menyebabkan moral manusia menjadi moral marit. 
  4. Sepeda motor. Senada dengan no. 1, 2, dan 3. Penggunaan sepeda motor yang kian berlebih menimbulkan kemacetan dimana-mana. Tak hanya itu, tingkat konsumtif masyarakat pun meningkat. Sumber BBM kini kian menjadi dewa yang selalu dipuja dan dicari. Bayangkan, penggantian sepeda onthel dengan sepeda motor makin hari makin meresahkan. lihat mulai dari polusi udara, peningkatan status global warming, meningkatnya tingkat kecelakaan, amblesnya tanah karena banyaknya tekanan dari permukaan, dan lebih parah lagi menyebabkan manusia menjadi manja. Manja untuk berjalan kaki atau mengayuh sepeda. Padahal, kalau ditelisik lebih jauh bukankah kita dianugerahi kaki supaya digunakan untuk berjalan? Bukankah dengan berjalan tubuh kita akan menjadi sehat? 
  5. Permasalahan makanan pun demikian. Merebaknya makanan cepat saji membawa dampak yang tidak kalah mengenaskan. Penggunaan bahan pengawet kian menjamur dimana-mana. Terbukti berbagai penyakit  aneh pun tak bisa dibilang sedikit, dari stroke, H1 N1, dll. 

Ah, makin lama kemajuan zaman makin menempatkan posisinya di puncak. Benarkah ini disebabakan oleh globalisasi yang makin lama makin mengkhawatirkan? Mestinya kita cermat dengan keadaan. Memang, revolusi Inggris, Revolusi Prancis, Revolusi Bolshevik itu muncul sebagai titik tolak perkembangan peradaban manusia. Cita-cita para penggerak itu kian hari kian melenceng dari tujuan semula. Dari yang semula penggunaan teknologi untuk memudahkan manusia dalam bertindak, kini berubah menjadi menimang-nimang sang manusia untuk tidak bertindak. Maka dari itu, coba kita bayangkan apa yang akan terjadi dengan peradaban manusia barang 10 atau 20 tahun mendatang. Secara tidak sadar manusia akan dituntut untuk berlomba-lomba memebangun kuburannya sendiri dengan corak dan pernak-pernik yang sangat indah. 
Seyogyanya, kita sebagai makhluk yang katanya paling sempurna bersikap mawas diri agar tidak menjadi makhluk yang menghalalkan pembunuhan secara tidak langsung terhadap sesama. Perkembangan zaman dan teknologi hendaknya disikapi dengan sangat kritis, bukan hanya takjub dan ikut larut dalam bahaya yang sangat nyata. Memang, bangsa ini sekarang tak lebih dari bangsa manusia gagap yang bingung mencari arah. 
Selengkapnya.. - Tarian Gagap Manusia Bumi