Selasa 19 Maret 2013. Hari ini tepat
pukul 09.30 kumulai petualanganku kembali. Setelah sekian lama akhirnya dimulai
lagi. Kali ini hanya berdua. Dengan ditemani sahabat baikku bernama Tulus
Setyadi Ekspedisi kedua kita buka kembali. Setelah pekerjaan rumah kupercepat,
berangkat juga. Ekspedisi Insidental. Prepare
terlebih dahulu. Air mineral, sarung, mantol, pisau dan beberapa buah salak,
semua kumasukkan ke dalam tas merahku. Adapun TE (Target Ekspedisi) kali
ini Blora bagian selatan, arah Randublatung. TE pertama, JATI DENOK. Jati Denok merupakan pohon
jati besar yang konon untuk mengukur diameter batang diperlukan sedikitnya
sepuluh orang untuk mendekap. Berdasarkan informasi yang berhasil kuperoleh,
jati besar ini berada di Desa Jatiklampok. Kami sadar, persiapan sangat kurang,
termasuk cari informasi. Informasi kuperoleh dari teman hari itu juga, itu pun
hanya tanya jawab via SMS. Begini
jawaban sang teman:
“Letaknya
di Desa Jatiklampok, kalu dari Pasar Blora lurus saja ke arah Randublatung,”
Sepeda
motor dipacu ke tujuan, arah Blora-Randublatung. Di tengah perjalanan sengaja kami
hentikan deru sepeda motor. Tepat di sisi kiri jalan setelah cukup jauh
memasuki hutan terdapat pohon besar dengan dikelilingi pagar di sekitarnya. Di
batang pohon tertempel tulisan di papan kayu Jati Gong. Heran juga
kenapa dinamai Jati Gong, padahal pohon tersebut bukanlah pohon jati. Ambil
gambar, perjalanan dilanjut. Perjalanan terhenti lagi, lantaran terdapat menara
pandang di sebelah kiri jalan yang kami lewati. Objek yang bagus untuk ambil
gambar. Di menara itu tertulis Dilarang
naik selain petugas. Ah sikat saja, kucoba naik sampai setengah tangga.
Ngeri, angin yang menghempas terlalu kencang. Membuat tangga bergoyang. Beginilah
kalau penyakit phobia ketinggian,
belum sampai puncak, aku turun. Lanjut lagi.
Dua kali tanya penduduk dan nyaris
kesasar. Jalan yang kami lalui pun jauh dari kata bagus. Maklum di tengah
hutan. Kondisi jalan zig-zag ditambah batu-batuan yang menjulang keluar dari
tanah, kami babat. Kami harus berterima kasih kepada Agung. Seorang anak kecil
yang masih duduk di bangku kelas 5 SD ini menjadi malaikat bagi kami. Ia mengantarkan
kami ke lokasi setelah jalan yang kami lalui terlampau jauh dari objek. Agung
kami temui di jalan sewaktu kami mencoba bertanya kepada Mas-Mas pencari
rumput. Mas-mas yang kami tanya pun belum tahu pasti lokasi Jati Denok, katanya
beliau bukan asli daerah situ. Jadi dicegatnya Agung ketika lewat. Niat si
Agung ingin menjemput emaknya yang
merumput di hutan situ. Setelah bertemu emak
nya di pinggir jalan, disuruhnya mengantar kami terlebih dahulu. Kami pun
diantar. Agung naik motor tanpa alas kaki. Hebat.
Sesampai di lokasi, kami bertiga: Agung,
Tulus, dan aku ngobrol-ngobrol sebentar. Baru aku tahu, jarak sekolah Agung
dari rumah jauhnya minta ampun. Ia pun berangkat dengan jalan kaki. Motor yang
dipakainya ditinggal di rumah. Tak lupa, kami ajak Agung untuk foto-foto.
Sebelum Agung pergi kuberikan sedikit salak yang kubawa dari rumah. Niatnya sih
untuk bekal kami, tapi alangkah lebih baik kalau salak ini kami berikan kepada
Agung Si Malaikat pertama. Semoga bermanfaat. Pastinya salak itu tak sebanding
dengan pertolongan yang diberikan kepada kami.
Sepeninggal Agung tak henti-hentinya
kami pandangi Pohon Jati besar ini. Pohon yang masih berdiri kokoh dengan
dikelilingi pagar kayu bercat cokelat. Pertanda masih dijaga kelestariannya. Tertulis
berbagai keterangan di papan yang dipaku pada batang pohon. Dari keterangan itu
baru kami ketahui bahwa pohon jati itu sudah berusia sekitar 350 tahun. Usia
yang sama dengan pendudukan Belanda di Indonesia. Tepat di bawah pohon nampak
bekas sesajian. Ah javanisme ini.
Ketika kami akan segera beranjak,
datanglah Mas-Mas yang tadi mencegat Agung. Beliau ternyata penasaran ingin
tahu seperti apa Jati Denok itu. Sambil duduk ngobrol-ngobrol ringan, tak jadi
beranjak. Kukeluarkan air minum dari tas merah. Entah benar entah tidak, dari
obrolan ini pula kami tahu bahwa di sekitar sini masih banyak terdapat
sumber-sumber minyak.
“Sebenarnya
Blora itu kaya. Banyak sumber minyak. Pohon jati juga banyak. Coba kalau
masyarakat Blora jengkel dan membuat Negara sendiri. Oiya, dengar-dengar
didekat sini ada sumber gas elpiji juga lho,” kata Mas itu.
Obrolan
rampung, kami beranjak dari lokasi pertama. Obrolan dengan ma situ membuka TE baru
lagi, yaitu petilasan. Praktis,rencana hendak ke kubur batu peninggalan zaman
Megalithikum kami cancel lantaran lokasi yang masih ngeblur.
Keluar dari hutan tempat Jati Denok TE kedua
kami cari Petilasan. Kumainkan senjata pamungkas, tanya. Kali ini kusambangi Pos Penjaga Hutan. Kami bertanya di
sana. Dengan berbekal informasi penjaga yang acuh tak acuh, kami berangkat.
Letaknya ternyata tak jauh dari Pos Penjagaan Hutan. Dengan kondisi jalan yang
naik dan licin, perjalanan semakin seru. Sepi. Sunyi. Hanya kami yang lewat
jalan setapak itu. Perjalanan terhenti di jalan bercabang. Bingung, arah mana
yang akan kami tempuh. Percayalah di hutan-hutan seperti ini kalian pasti akan
menemui jalan bercabang. Membingungkan.
Syukurlah, Malaikat kedua datang. Dari
arah lain terlihat dua orang Ibu-Ibu mengendarai sepeda motor. Setelah kami tanya
tentang petilasan Si Ibu menjawab “Oh, Punden? Ayo Mas sekalian saja, kita satu
arah,” kata SI Ibu. Kondisi jalan makin menanjak dan licin. Si Ibu lalu memencet
klakson keras-keras dan menghentikan sepeda motornya. “Ini lho Mas yang namanya
Punden,” kata Si Ibu lalu melanjutkan perjalanan.
Entah kenapa bulu kuduk kami merinding.
Sunyi senyap. Tak ada orang satupun kecuali aku dan Tulus. Kami parkir sepeda
motor. Kudekati lokasi itu. Kata Mas-Mas yang kutemui di hutan tempat Jati
Denok berada, petilasan ini adalah petilasan Sunan Pojok. Kondisi Petilasan
sama dengan yang ada di Jati Denok. Dikelilingi pagar kayu. Tampak pagar kayu
ini baru. Tandanya belum lama dipugar.
Satu
hal yang mengejutkan adalah tentang konstruksi tanah. Tanah yang ada di sini
berundak-undak. Mungkin saja ini adalah bagian dari Punden Berundak yang ada
dalam sejarah. Adapun tepat di atas undakan terdapat setumpuk batu. Batu itu
tersusun rapi. Lalu, menuruni undakan masih ada gentong air, jumlahnya tiga
buah. Dua buah terletak berdampingan dengan gayung dan corong di atasnya.
Sedangkan gentong yang satu berada di undakan paling dasar.
“Bro,
sepertinya jangan foto dengan objek orang deh,” kata Tulus. Aku paham dengan
maksudnya. Setelah foto-fotokami beranjak pulang. Sungguh suasana di sana
sangat mencekam dipadu dengan mendung yang kian datang. Kami pun ngobrol
tentang suasana ngeri ini.
Entah
kenapa bisa begitu, mungkin sugesti yang berlebihan. Untuk menyeimbangkan
sugesti yang berlebihan kami coba untuk selalu berpikir positif. Tak dapat
dibohongi, rasanya ekspedisi kali ini kurang berkesan. Medan yang terlalu
mudah, obyek yang kurang elegan menambah biasa-nya perjalanan.
Perjalanan sampai di Desa Karangpace. Di
kanan jalan dari arah Randublatung terdapat dua gapura bertuliskan Desa Karangpace Klopoduwur. Lhah,
bukannya di desa ini masyarakat Samin berada? Masyarakat Samin yang membangkang
dan melawan penjajahan Belanda dengan sikap boikotnya seperti dalam tetraalogi
Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer? Aku jadi teringat perjalanan ingin
menemui masyarakat Samin tempo hari. Aku dan teman-teman dari LPM Pendapa dulu
ditipu. Katanya masyarakat Samin di Klopoduwur sudah tidak ada, kami disarankan
untuk mencari di Desa Bapangan, Mendenrejo. Dan kini kuulangi perjalanan itu.
Kami putuskan untuk mencoba masuk gerbang gapura itu tanpa tanya masyarakat.
Kami masuk ke gerbang kedua terlebih dulu, siapa tahu masih ada peninggalan
masyarakat Samin di situ. Ah, tidak ada. Tak mau nyerah, kami masuk ke gerbang
yang satunya. Dari kejahan terlihat penjual jajanan penthol naik sepeda. Kami putuskan untuk beli penthol sambil cari informasi. Dan benar saja si Penjual Penthol bilang “kalau masuk ke sana ya
Desa Karangpace, Mas. Itu yang di sana ada aula,” kata penjual Penthol. “Aula apa, Pak?” tanyaku. “Orang
Samin, Mas” jawab si Bapak Penjual Penthol
lirih bahkan nyaris tak terdengar. Nah ini dia yang kita cari, pikir kami.
Penthol kami
kantongilalu masuk ke lorong menurun. Ternyata lorong buntu, sial. Sebelum
sampai ke ujung lorong di kiri jalan tertulis Jurus Tandur Sedulur Sikep. Satu per satu TE kita mulai menemukan
titik terang. Ketika sampai di ujung lorong, kami pun tecengang. Bediri megah
sebuah gazebo. Gazebo ini lah yang jadi TE kami. Tempat pertemuan masyarakat
Samin atau yang lebih akrab dipanggil sedulur sikep. Kalu dilihat dari
bangunannya, gazebo ini belum lama berdiri. Kedatangan kami di gazebo ini
disambut dengan tatap mata sinis warga sekitar. Biarkanlah. Kami coba masukke
gazebo ini. Di dalam gazebo terpajang beberapa foto kegiatan serta
tulisan-tulisan asas ajaran dan prinsip hisup masyarakat Samin. Tepat di tengah
Gazebo terdapat tulisan besar yang berbunyi: SANGKAN PARANING DUMADI. Ambil beberapa gambar.
Di
sini pula kami dibuat heran dengan pemandangan yang menaruk. Pertama, di depan
gazebo berdiri rumah penduduk berdinding kulit-kulit kayu. Kedua, ketika kami
duduk sambil makan Penthol sandiwara
lewatlah seorang Ibu dengan ternak peliharaannya. Posisi Si Ibu berada di
belakang sapi peliharaan dengan membawa sabu dan ikrak. Terlihat setiap kali si
ternak mengeluarkan kotoran, si Ibu dengan sigap memberishkannya. Dahsyat!
Ketiga, ketika akan beranjak dari tempat duduk, lewatlah anak kecil membawa
mainan. Mainan ini menyerupai mobil-mobilan terbuat dengan kayu lengkap dengan
rodanya. Wah barangkali cara ini yang digunakan masyarakat Samin untuk
senantiasa menolak modernisasi yang sering membawa dampak buruk.
Kami sadari, tatapan asing masyarakat
itu lantaran kami tidak menyapa terlebih dahulu. Cari tempat salat duhur. Kami
berhenti di masjid Agung Baitunnur. Baru aku tahu bahwa masjid ini didirikan
oleh sekelompok orang tionghoa yang tinggal di Blora. Usai salat duhur, kami
mencoba untuk pulang melewati depan RSUD. Hanya ingin memastikan adakah sisa peninggalan
dr. Soetomo di sini. Dalam benakku mungkin saja nama dr. Soetomo dipakai
menjadi nama RSUD. Berdasar informasi yang kudapat dari Rumah Kaca, bagian akhir dari Tetralogi Pulau Buru: dulu, dr.
Soetomo pernah ditugaskan di rumah sakit Zending di Blora. Bahkan, ia sempat
tertarik dengan wanita setempat. Dugaanku salah, nama RSUD Blora bukan RSUD dr.
Soetomo. Akan tetapi, nama dr. Soetomo digunakan sebagai nama jalan di depan
RSUD yang membentang ke selatan. Ah, setidaknya dia pendiri Budi Utomo pernah
singgah di sini. Blora memang misterius.
Setelah kucoba cari info ternyata
petilasan itu terdapat di arela Gunung
Pegat. Menurut rumor dan mitos yang beralku sampai sekarang ketika ad
airing-iringan pengantin tidak diperkenankan melewati daerah itu. Katanya
pernikahan tidak akan langgeng dan berakhir dengan perceraian. Temanku pun
mengungkapkan hal yang sama. Dia berkata dahulu ketika meminang istrinya yang
tinggal di Randublatung, ia memilih jalan memutar.
1 komentar:
Keren-keren ...
Jangan lupa juga buka BANDIT-SOSIAL.BLOGSPOT.COM
Ok ...
Posting Komentar