Kamis, 11 April 2013

Blora Expedition (part 2)

                    Selasa 19 Maret 2013. Hari ini tepat pukul 09.30 kumulai petualanganku kembali. Setelah sekian lama akhirnya dimulai lagi. Kali ini hanya berdua. Dengan ditemani sahabat baikku bernama Tulus Setyadi Ekspedisi kedua kita buka kembali. Setelah pekerjaan rumah kupercepat, berangkat juga. Ekspedisi Insidental. Prepare terlebih dahulu. Air mineral, sarung, mantol, pisau dan beberapa buah salak, semua kumasukkan ke dalam tas merahku. Adapun TE (Target Ekspedisi) kali ini Blora bagian selatan, arah Randublatung. TE pertama, JATI DENOK. Jati Denok merupakan pohon jati besar yang konon untuk mengukur diameter batang diperlukan sedikitnya sepuluh orang untuk mendekap. Berdasarkan informasi yang berhasil kuperoleh, jati besar ini berada di Desa Jatiklampok. Kami sadar, persiapan sangat kurang, termasuk cari informasi. Informasi kuperoleh dari teman hari itu juga, itu pun hanya tanya jawab via SMS. Begini jawaban sang teman:
“Letaknya di Desa Jatiklampok, kalu dari Pasar Blora lurus saja ke arah Randublatung,”

Sepeda motor dipacu ke tujuan, arah Blora-Randublatung. Di tengah perjalanan sengaja kami hentikan deru sepeda motor. Tepat di sisi kiri jalan setelah cukup jauh memasuki hutan terdapat pohon besar dengan dikelilingi pagar di sekitarnya. Di batang pohon tertempel tulisan di papan kayu Jati Gong. Heran juga kenapa dinamai Jati Gong, padahal pohon tersebut bukanlah pohon jati. Ambil gambar, perjalanan dilanjut. Perjalanan terhenti lagi, lantaran terdapat menara pandang di sebelah kiri jalan yang kami lewati. Objek yang bagus untuk ambil gambar. Di menara itu tertulis Dilarang naik selain petugas. Ah sikat saja, kucoba naik sampai setengah tangga. Ngeri, angin yang menghempas terlalu kencang. Membuat tangga bergoyang. Beginilah kalau penyakit phobia ketinggian, belum sampai puncak, aku turun. Lanjut lagi.

Dua kali tanya penduduk dan nyaris kesasar. Jalan yang kami lalui pun jauh dari kata bagus. Maklum di tengah hutan. Kondisi jalan zig-zag ditambah batu-batuan yang menjulang keluar dari tanah, kami babat. Kami harus berterima kasih kepada Agung. Seorang anak kecil yang masih duduk di bangku kelas 5 SD ini menjadi malaikat bagi kami. Ia mengantarkan kami ke lokasi setelah jalan yang kami lalui terlampau jauh dari objek. Agung kami temui di jalan sewaktu kami mencoba bertanya kepada Mas-Mas pencari rumput. Mas-mas yang kami tanya pun belum tahu pasti lokasi Jati Denok, katanya beliau bukan asli daerah situ. Jadi dicegatnya Agung ketika lewat. Niat si Agung ingin menjemput emaknya yang merumput di hutan situ. Setelah bertemu emak nya di pinggir jalan, disuruhnya mengantar kami terlebih dahulu. Kami pun diantar. Agung naik motor tanpa alas kaki. Hebat.

Sesampai di lokasi, kami bertiga: Agung, Tulus, dan aku ngobrol-ngobrol sebentar. Baru aku tahu, jarak sekolah Agung dari rumah jauhnya minta ampun. Ia pun berangkat dengan jalan kaki. Motor yang dipakainya ditinggal di rumah. Tak lupa, kami ajak Agung untuk foto-foto. Sebelum Agung pergi kuberikan sedikit salak yang kubawa dari rumah. Niatnya sih untuk bekal kami, tapi alangkah lebih baik kalau salak ini kami berikan kepada Agung Si Malaikat pertama. Semoga bermanfaat. Pastinya salak itu tak sebanding dengan pertolongan yang diberikan kepada kami.

Sepeninggal Agung tak henti-hentinya kami pandangi Pohon Jati besar ini. Pohon yang masih berdiri kokoh dengan dikelilingi pagar kayu bercat cokelat. Pertanda masih dijaga kelestariannya. Tertulis berbagai keterangan di papan yang dipaku pada batang pohon. Dari keterangan itu baru kami ketahui bahwa pohon jati itu sudah berusia sekitar 350 tahun. Usia yang sama dengan pendudukan Belanda di Indonesia. Tepat di bawah pohon nampak bekas sesajian. Ah javanisme ini.
Ketika kami akan segera beranjak, datanglah Mas-Mas yang tadi mencegat Agung. Beliau ternyata penasaran ingin tahu seperti apa Jati Denok itu. Sambil duduk ngobrol-ngobrol ringan, tak jadi beranjak. Kukeluarkan air minum dari tas merah. Entah benar entah tidak, dari obrolan ini pula kami tahu bahwa di sekitar sini masih banyak terdapat sumber-sumber minyak.
“Sebenarnya Blora itu kaya. Banyak sumber minyak. Pohon jati juga banyak. Coba kalau masyarakat Blora jengkel dan membuat Negara sendiri. Oiya, dengar-dengar didekat sini ada sumber gas elpiji juga lho,” kata Mas itu.
Obrolan rampung, kami beranjak dari lokasi pertama. Obrolan dengan ma situ membuka TE baru lagi, yaitu petilasan. Praktis,rencana hendak ke kubur batu peninggalan zaman Megalithikum kami cancel lantaran lokasi yang masih ngeblur.
            Keluar dari hutan tempat Jati Denok TE kedua kami cari Petilasan. Kumainkan senjata pamungkas, tanya. Kali ini kusambangi Pos Penjaga Hutan. Kami bertanya di sana. Dengan berbekal informasi penjaga yang acuh tak acuh, kami berangkat. Letaknya ternyata tak jauh dari Pos Penjagaan Hutan. Dengan kondisi jalan yang naik dan licin, perjalanan semakin seru. Sepi. Sunyi. Hanya kami yang lewat jalan setapak itu. Perjalanan terhenti di jalan bercabang. Bingung, arah mana yang akan kami tempuh. Percayalah di hutan-hutan seperti ini kalian pasti akan menemui jalan bercabang. Membingungkan.
Syukurlah, Malaikat kedua datang. Dari arah lain terlihat dua orang Ibu-Ibu mengendarai sepeda motor. Setelah kami tanya tentang petilasan Si Ibu menjawab “Oh, Punden? Ayo Mas sekalian saja, kita satu arah,” kata SI Ibu. Kondisi jalan makin menanjak dan licin. Si Ibu lalu memencet klakson keras-keras dan menghentikan sepeda motornya. “Ini lho Mas yang namanya Punden,” kata Si Ibu lalu melanjutkan perjalanan.

Entah kenapa bulu kuduk kami merinding. Sunyi senyap. Tak ada orang satupun kecuali aku dan Tulus. Kami parkir sepeda motor. Kudekati lokasi itu. Kata Mas-Mas yang kutemui di hutan tempat Jati Denok berada, petilasan ini adalah petilasan Sunan Pojok. Kondisi Petilasan sama dengan yang ada di Jati Denok. Dikelilingi pagar kayu. Tampak pagar kayu ini baru. Tandanya belum lama dipugar.

Satu hal yang mengejutkan adalah tentang konstruksi tanah. Tanah yang ada di sini berundak-undak. Mungkin saja ini adalah bagian dari Punden Berundak yang ada dalam sejarah. Adapun tepat di atas undakan terdapat setumpuk batu. Batu itu tersusun rapi. Lalu, menuruni undakan masih ada gentong air, jumlahnya tiga buah. Dua buah terletak berdampingan dengan gayung dan corong di atasnya. Sedangkan gentong yang satu berada di undakan paling dasar.
“Bro, sepertinya jangan foto dengan objek orang deh,” kata Tulus. Aku paham dengan maksudnya. Setelah foto-fotokami beranjak pulang. Sungguh suasana di sana sangat mencekam dipadu dengan mendung yang kian datang. Kami pun ngobrol tentang suasana ngeri ini.

Entah kenapa bisa begitu, mungkin sugesti yang berlebihan. Untuk menyeimbangkan sugesti yang berlebihan kami coba untuk selalu berpikir positif. Tak dapat dibohongi, rasanya ekspedisi kali ini kurang berkesan. Medan yang terlalu mudah, obyek yang kurang elegan menambah biasa-nya perjalanan.

Perjalanan sampai di Desa Karangpace. Di kanan jalan dari arah Randublatung terdapat dua gapura bertuliskan Desa Karangpace Klopoduwur. Lhah, bukannya di desa ini masyarakat Samin berada? Masyarakat Samin yang membangkang dan melawan penjajahan Belanda dengan sikap boikotnya seperti dalam tetraalogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer? Aku jadi teringat perjalanan ingin menemui masyarakat Samin tempo hari. Aku dan teman-teman dari LPM Pendapa dulu ditipu. Katanya masyarakat Samin di Klopoduwur sudah tidak ada, kami disarankan untuk mencari di Desa Bapangan, Mendenrejo. Dan kini kuulangi perjalanan itu. Kami putuskan untuk mencoba masuk gerbang gapura itu tanpa tanya masyarakat. Kami masuk ke gerbang kedua terlebih dulu, siapa tahu masih ada peninggalan masyarakat Samin di situ. Ah, tidak ada. Tak mau nyerah, kami masuk ke gerbang yang satunya. Dari kejahan terlihat penjual jajanan penthol naik sepeda. Kami putuskan untuk beli penthol sambil cari informasi. Dan benar saja si Penjual Penthol bilang “kalau masuk ke sana ya Desa Karangpace, Mas. Itu yang di sana ada aula,” kata penjual Penthol. “Aula apa, Pak?” tanyaku. “Orang Samin, Mas” jawab si Bapak Penjual Penthol lirih bahkan nyaris tak terdengar. Nah ini dia yang kita cari, pikir kami.
Penthol kami kantongilalu masuk ke lorong menurun. Ternyata lorong buntu, sial. Sebelum sampai ke ujung lorong di kiri jalan tertulis Jurus Tandur Sedulur Sikep. Satu per satu TE kita mulai menemukan titik terang. Ketika sampai di ujung lorong, kami pun tecengang. Bediri megah sebuah gazebo. Gazebo ini lah yang jadi TE kami. Tempat pertemuan masyarakat Samin atau yang lebih akrab dipanggil sedulur sikep. Kalu dilihat dari bangunannya, gazebo ini belum lama berdiri. Kedatangan kami di gazebo ini disambut dengan tatap mata sinis warga sekitar. Biarkanlah. Kami coba masukke gazebo ini. Di dalam gazebo terpajang beberapa foto kegiatan serta tulisan-tulisan asas ajaran dan prinsip hisup masyarakat Samin. Tepat di tengah Gazebo terdapat tulisan besar yang berbunyi: SANGKAN PARANING DUMADI. Ambil beberapa gambar.

Di sini pula kami dibuat heran dengan pemandangan yang menaruk. Pertama, di depan gazebo berdiri rumah penduduk berdinding kulit-kulit kayu. Kedua, ketika kami duduk sambil makan Penthol sandiwara lewatlah seorang Ibu dengan ternak peliharaannya. Posisi Si Ibu berada di belakang sapi peliharaan dengan membawa sabu dan ikrak. Terlihat setiap kali si ternak mengeluarkan kotoran, si Ibu dengan sigap memberishkannya. Dahsyat! Ketiga, ketika akan beranjak dari tempat duduk, lewatlah anak kecil membawa mainan. Mainan ini menyerupai mobil-mobilan terbuat dengan kayu lengkap dengan rodanya. Wah barangkali cara ini yang digunakan masyarakat Samin untuk senantiasa menolak modernisasi yang sering membawa dampak buruk.  
Kami sadari, tatapan asing masyarakat itu lantaran kami tidak menyapa terlebih dahulu. Cari tempat salat duhur. Kami berhenti di masjid Agung Baitunnur. Baru aku tahu bahwa masjid ini didirikan oleh sekelompok orang tionghoa yang tinggal di Blora. Usai salat duhur, kami mencoba untuk pulang melewati depan RSUD. Hanya ingin memastikan adakah sisa peninggalan dr. Soetomo di sini. Dalam benakku mungkin saja nama dr. Soetomo dipakai menjadi nama RSUD. Berdasar informasi yang kudapat dari Rumah Kaca, bagian akhir dari Tetralogi Pulau Buru: dulu, dr. Soetomo pernah ditugaskan di rumah sakit Zending di Blora. Bahkan, ia sempat tertarik dengan wanita setempat. Dugaanku salah, nama RSUD Blora bukan RSUD dr. Soetomo. Akan tetapi, nama dr. Soetomo digunakan sebagai nama jalan di depan RSUD yang membentang ke selatan. Ah, setidaknya dia pendiri Budi Utomo pernah singgah di sini. Blora memang misterius.
Setelah kucoba cari info ternyata petilasan itu terdapat di arela Gunung Pegat. Menurut rumor dan mitos yang beralku sampai sekarang ketika ad airing-iringan pengantin tidak diperkenankan melewati daerah itu. Katanya pernikahan tidak akan langgeng dan berakhir dengan perceraian. Temanku pun mengungkapkan hal yang sama. Dia berkata dahulu ketika meminang istrinya yang tinggal di Randublatung, ia memilih jalan memutar.




1 komentar:

Unknown mengatakan...

Keren-keren ...
Jangan lupa juga buka BANDIT-SOSIAL.BLOGSPOT.COM
Ok ...

Posting Komentar