Senin, 15 April 2013

Pengabdian

                  Dalam malam inipikiranku masih melayang-alayang. Tentunya syaraf mata masih tertegang. muncul seribu satu kunang-kunang. Jelmaan pikiran-pikiran yang selalu membayang. Satu di antaranya adalah tentang pengabdian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, abdi berarti 'orang bawahan; pelayan; dan hamba' Adapun pengabdian mempunyai arti 'proses, cara, perbuatan mengabdi atau mengabdikan' (2007: 2). Kaitannya dengan pengertian ini entah mengapa saya kurang menyukai dengan arti dari abdi yang pertama karena masih berbau feodal. Kasta masyarakat masih terasa. 

               Pengabdian adalah proses dari melayani. Satu hal yang ingin saya tulis di sini adalah tentang pengabdian masyarakat. Manusia tidak bisa lepas dari apa yang namanya masyarakat. Manusia dan masyarakat telah menyatu bagaikan daging dengan darah. Pengabdian kepada masyarakat (secara lebih khusus) dan rakyat (lebih general) memerlukan tekad dan keberanian yang kuat. Merujuk dari kedua pengertian di atas maka keikhlasan menjadi kunci dari pengabdian. 
Bagi manusia-manusia yang menginginkan imbalan daripadanya tentu takkan kuasa. Mereka akan tersingkir dari pengabdian Tak jarang mereka menganggap pengabdian hanyalah suatu bentuk kekonyolan yang tak berujung. Mereka akann senantiasa dilema. Pasalnya, materi adalah satu hal utama dalam benak mereka. Prinsip ekonomi milik Adam Smith senantiasa diterapkan dalam hidupnya. Dia menjauhkan segala hal yang berkaitan dengan filsafat. Mereka hanya percaya bahwa ada suatu hal yang lebh besar di dunia ini, Tuhan. Akan tetapi mereka tidak mau mengamalkan apa yang dimiliki untuk orang lain. Payah. 
Cobalah sejenak kita pikirkan kehidupan. Memang tak dapat disangkal manusia perlu materi untuk hidup dan melanjutkan kehidupan. Akan tetapi bukanlah materi itu yang utama. Disadari atau tidak keenyamanan dan kenikmatanlah yang dicari manusia. Hubungannya dengan kedua hal yang sangat berhubungan ini dapat kita ambil contoh yaitu pernikahan. 
Dalam usia 20 tahun ke atas, banyak remaja yang gelisah. hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, anggapan bahwa banyak teman yang telah menikah (lalu bagaimana dengannya?) Kedua, ketakutan terhadap mitos dan anggapan masyarakat tentang batasan wajar menikah. Terlebih wanita, dia akan bimbang ketika muncul slogan lama perawan tua? Ketiga, rasa takut karena dikira tidak laku. Keempat, tidak bisa melawan kehendak orang tua yang menginginkan anaknya segera menikah. Dengan segera menikah maka tanggung jawab orang tua akan sedikit terkurangi. Kelima, takut kalau dilangkahi si adik. Tentunya masih banyak alasan yang dapat dijadikan buti kuat pendukung pendapat di atas. 
               Pendapat-pendapat ini sering kujumpai dari mulut teman-teman ketika diskusi. menanggapi pendapat yang berjajar seperti pulau-pulau ini aku lebih memilih diam dan tersenyum. Bahkan, tak jarang kucoba korek-korek informasi dari pembicara. 
Bagiku sendiri. Dalam hati yang paling dalam aku punya satu keyakinan yang kuat bahwa tujuan mulia dari hidup bukanlah mencai pasangan. Jodoh, pasangan, pernikahan hanyalah satu step kehidupan. Memang, ssemua orang cenderung memilih untuk melewatinya. Tentunya dengan berbagai pertimbangan dan kepentingan masing-masing. Biarlah bukankah itu hak setiap manusia bernapas? 
Kaitannya dengan contohh pernikahan di atas, manusia tak segan-segan mengeluarkan budget yang tak sedikit. Bahkan mungkin hingga bepuluh-puluh juta. Wah! 
Satu contoh lagi, manusia tentu dengan senang hati mengeluarkan biaya meskipun tinggi untuk kesenangan dan kenikmatan. Banyak yang dapat kita tarik di sini. Hobby masing0masing manusia [un beragam, dari yang nol rupiah misal lari-lari sampai ke berrupiah-rupiah. What for? Untuk menyalurkan imajinasinya demi terpenuhinya kesenangan dann kenikmatan hati. Puas adalah satu indikator yang dapat digunakan sebagai penentu keberhasilan. 
               
Dari kedua contoh ini kita jadikan simultan untuk variabel yang bernama pengabdian. Kalau kedua contoh ini selalu diumbar tentu akan menimbulkan dampak yang negatif. Pengabdian memang sulit karena dilandasi keikhlasann. Keikhlasan menuntut jiwa suci yang terluapkan. Andai saja pengabdian itu dilakukan dengan senang hati dengan indikator ketercapaian nikmat pasti lain cerita dari kedua contoh itu. Celakalah mereka yang mempunyai jiwa busuk. Pengabdian kepada masyarakat mempunyai arti tersendiri bagi yang menikmatinya. Arti itu tidak dapat digambarkan maupun ditakar dengan ukuran gram. Ia akan selalu berada dalam jalur rel kemisteriusan yang dapat dicapai oleh manusia yang mempunyai jiwa suci. 
       Darimana jiwa misterius itu didapat? Pertanyaan klasik. Tentunya dari perasaan senasib seperjuangan terhadap sesama. Dengan perasaan ini sudahkah dapat dikatakan bahwa jiwa misterisu itu bersarang dalam hati manusia? Tidak! Percuma saja kalau perasaan ini tidak diaplikasikan dengan tindakan nyata. Bahayanya mereka yang salah menafsirkan akan berubah menjadi suatu ancaman. Dengan penafsiran yang salah, barangkali setelah melihat realita yang ada seseorang akan berbalik arah menjadi egois, bahkan sombong. 
             Perasaan yang seimbang akan menimbulkan titik ledak yang membuat jiwa manusia melompat dalam tataran kesucian yang manis tadi. Dan apabila terjadi salah penafsiran dia akan meledak tepat pada dirinya sendiri. Jadi, lakukanlah yang terbaik buat bangsa dan rakyatmu. Jangan perkaya diri. Di antara kita masih terdapat manusia-manusia kapar. Tak usahlah kita kenyangkan perut kita. Tak ada guna

0 komentar:

Posting Komentar