Senin, 14 Januari 2013

Dua Mata Pisau


Sepasang kaki tak akan bisa berjalan bersamaan. Begitulah kehidupan, Kawan. Kadang apa yang telah kita ingin dan rencanakan tidak sesuai dengan harapan. Bahkan, yang lebih parah dari itu adalah segala tindak tanduk yang kita lakukan dipandang sebelah mata dengan berbagai macam cibiran. 

Lalu, bagaimana kita bersikap? 

Kembali ke perumpamaan awal tadi, jikalau kaki kanan yang maju terlebih dahulu, tentu kaki kiri berada di belakang. Pun sebaliknya. Ibarat sepasang kaki itu, jika kita mencoba berkarya kadang masyarakat menilai bahwa apa yang kita lakukan tidak sesuai dengan apa yang biasanya ada. Perbedaan itulah yang tak jarang menuai perdebatan. Satu hal yang sudah wajar
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimanakah sikap kita selanjutnya, diamkah atau tetap maju? 

Jika kita memilih untuk tetap diam, berarti tak ada bedanya dengan bertekuk lutut atau mengibarkan bendera putih. Menyerah tanpa arti. Daripada menyerah seperti model ini lebih baik harakiri seperti yang dilakukan ksatria-ksatria dan bushido Jepang. Kalau toh itu baik dan tidak menganggu hajat hidup banyak orang mengapa kita harus berhenti? 

Sampai kapan pun masyarakat akan seperti itu, itu mungkin dikarenakan mereka takut berbeda. Lebih cenderung untuk menyamakan atau menyejajarkan dengan yang sudah ada. Menanggapi cibiran mereka, menurut pendapat saya lebih baik diam. Biarkan mereka berkarya dengan yang mereka bisa. Nikmati saja prosesnya. Suatu saat kalau proses itu telah menemukan titik terang, mereka akan tahu apa yang kita kerjakan. Tak usah banyak omong, biar hasil dari proses yang membuktikan. Bicara masalah diam jadi teringat dengan perkataan Tan Malaka yang berkata "Diam itu emas dan bicara itu perak." Jadi, selagi masih hidup harusnya gunakan sebaik mungkin perkataan. Selaraskan dengan tindakan yang kita lakukan, maka hasil yang dicapai pun akan maksimal dan memuaskan. \m/ 
Selengkapnya.. - Dua Mata Pisau

Sabtu, 12 Januari 2013

Mental Pejuang, Jiwa Sosial

Sistem yang diterapkan di tempatku belajar mungkin lain. Dari hapalan Al Quran, tiga bahasa, boarding school, ah memang semua itu punya ciri khas. 
Belum lama, tepatnya Kamis pagi, kurang lebih pukul 09.00 aku dan kawan-kawan berangkat ke Desa Turirejo, Kec. Jepon, Kab. Blora guna memohon izin penggunaan tempat untuk MD. Oiya, kawan. MD itu kepanjangan dari Mukhoyyam Dirasy yang artinya kemah pendidikan. MD ini adalah tindak lanjut dari usul yang telah kusampaikan sebelumnya. Waktu itu, aku melihat bahwa teman-teman kecil di Base Camp masih sering mengejek satu sama lainnya. Kekompakan belum ada. Ego masih berkuasa. Untuk mengatasi hal ini perlu sebuah pengkondisian agar rasa persaudaraan muncul. Bagaimana cara pengkondisian persaudaraan? 

Pikirku kala itu, coba saja ada hiburan yang terarah dengan menumbuhkan tanggung jawab untuk bisa menyelaraskan diri sendiri dengan orang lain. Nah, dapat terlintas dibenakku "kalau saja ada kemah, Pak. Dengan kemah, mereka akan saling berinteraksi satu sama lain. Mereka juga akan bertanggung jawab karena ada beban, misalnya masak bersama. Kalau tidak makan tentu mereka bakal kelaparan," ujarku kala itu. Ditindaklanjuti juga usulku itu, walau molor. Eh, malah aku yang ditunjuk jadi ketua. Walah...

Usai menyerahkan surat permohonan izin. Kembali ke Base Camp, lalu pulang. Sesampai rumah, undangan Karate juga sudah kubuat. Rencananya, malam mau disebar. Tapi, gagal karena hari itu adalah hari untuk mengisi bimbel di Base Camp. Acara nyebar undangan di-cancel. Dengan panser berangkat lagi ke Blora. Sebelumnya sudah janjian mau nyebar undangan.  Tapi, begitu tahu acara nyebar undangan ku-cancel, si Teman mengirimkan pesan singkat. Beginilah sms dari sang teman "Wah, bayaran lak dobel, Bro?" Segera kubalas, "Bro, untuk menjadi pelatih karate tak ada bayaran. Hal ini tak jauh beda dengan Pelatih Karate, selagi belum mati mari berjuang Bro." 

Slogan lama yang sering kita kenal Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa dan ternyata belum berubah. Kontradiktif sekali dengan mental anak muda zaman sekarang. Entah, apakah mereka lebih berpandangan pragmatis atau hedonis, aku  tak tahu. Lihat saja, tak jarang lulusan FKIP yang notabenenya calon guru malah dilema. Tak sedikit, yang  lebih tertarik untuk terjun ke dunia Perbankan. Mengapa? penghasilan yang tidak sebanding, begitu kata mereka. Memang, semua itu kembali ke jiwa dan personal. Untuk para guru dan calon guru teruslah berjuang, tak usah khawatir, buatmu sudah disediakan tempat terbaik di sana. 
Selengkapnya.. - Mental Pejuang, Jiwa Sosial

Hidupkan Hidupmu dengan Hidup, Warnai Kehidupanmu...


Semilir angin pagi ini membasuh wajah kota Blora yang mungkin bopeng sebelah. Angin itu datang menjelma menjadi alat kosmetik untuk merias kota kecil di Timur Jawa Tengah. Seolah tak mau ketinggalan, Sang Embun memberikan sedikit sentuhan sebelum akhirnya ditutup oleh sinar Mentari.
Pagi ini, jam di kamarku menunjukkan pukul 06.00. Masih dingin memang, tapi ah dingin itu kan hanya sebagian cerita kehidupan. Kuambil sepeda oenta Hero kesayanganku. Oenta yang sekian lama kudambakan, akhirnya terbeli juga dengan hasil jerih payahku sendiri. Ets, jangan salah. Apapun itu, memang lebih puas kalau hasil jerih payahnya sendiri. 

Akhirnya Kumulai pagiku. 
Pedal ditendang, Hero pun jalan. Target hari ini, Embung Bruk. Daerah irigasi yang selalu menjadi lokasi favoritku. Satu, dua, tiga, entah berapa rumah penduduk yang sudah kulewati. Coba kalau ada iringan lagu simfoni atau musik instrumental yang syahdu, akan lebih pas. Sembari mengayuh dua pedal yang melambangkan kehdiupan dan kematian, suara hatiku menjelma menjadi kata-kata.
"Hidup memang rasanya indah kalau dinikmati seperti ini. Untuk bisa menikmati hidup, tentunya kita harus hidup terlebih dahulu." Perjalanan berlanjut. 
Sampailah ke persawahan. Hamparan padi menghijau di kanan kiri meyuguhkan pemandangan membuat mata yang masih ngantuk ini menjadi terbelalak Tuhan tak berhenti menunjukkan karyanya yang bijaksana, kawan. Percayalah!

Tletik air turun menghinggapi tangan dan besi tuaku. Ada apakah gerangan? Embunkah atau gerimiskah? Was-was. Ini dia, ternyata gerimis mulai turun, pesona alam kian hebat dalam balutan kanvas kehidupan. Singgasananya yang tak pernah miring ataupun lepas.
Tak lama kemudian, di sebelah barat tepat di atas padi hijau muncul pelangi dengan warna anggunnya yang kian menambah maraknya suasana. Merah, biru, kuning, hijau, semua bercampur dengan paduan warna dan tekstur yang sangat serasi. Lengkaplah sudah pagi ini.

Tujuan ke Embung Bruk tidak tercapai lantaran hujan. Walaupun begitu, ada hal hebat yang kuperoleh yang mungkin saja tidak akan kudapatkan di sana. Pelajaran hidup yang tidak berbeda jauh dengan cerita Dua Lelaki Tua (hal.151) dalam novel Dimana Ada Cinta, Di sana Tuhan Ada karya Leo Tolstoy, seorang Sastrawan Rusia yang sangat agung.Selain itu, seolah mengamini. Benar juga apa yang tertuang dalam Dasa Darma Pramuka butir kedua "Cinta Alam dan Kasih Sayang Sesama Manusia". Dengan adanya butir kedua Dasa Darma Pramuka ini menambah padunya kata-kata. Butir kedua Dasa Darma Pramuka lalu kutarik untuk kuintegrasi kan dengan karya fenomenal Leo Tolstoy Dimana Ada Cinta, Di sana Tuhan Ada. Hingga jadilah satu bentuk kalimat yang sederhana yaitu:
Cintailah alammu, maka Tuhan akan menunjukkan cintanya pula kepadamu
Selengkapnya.. - Hidupkan Hidupmu dengan Hidup, Warnai Kehidupanmu...

Kamis, 10 Januari 2013

Blora Lebih Dekat

Tak kenal maka tak sayang. Banyak orang yang bilang seperti itu, benarkah?

Bagaimana rasa sayang bisa muncul kalau kenal saja tidak. Sebenarnya sudah lama hasrat untuk menulis muncul, tapi barangkali kekuatan malas lebih besar daripada semangat menulis. Akhirnya, hari inilah kucoba merangkai kata untuk kujadikan dokumen sosial kelak. 


Ngomong-ngomong masalah kenal dan sayang, akhir januari kemarin kusambangi daerah pembuat penasaran. Goa Terawang. Goa yang terletak di Kecamatan Todanan, Blora bagian barat menyimpan misteri tersendiri buatku. Mengapa? Jujur saja, dari dulu hanya tahu keberadaan Goa dari cerita orang alias jarene jare. Blora yang berada di wilayah pegunungan kapur utara mempunyai banyak potensi wisata. Terlebih wisata Goa. Goa Terawang memang sungguh cantik. Cobalah kawan pembaca berkunjung ke sana. Jangan lupa bawa kamera, potret sebanyak-banyaknya.

Berangkat pukul 08.00 sampai di sana pukul 10.30. Kami bertiga, Saya sendiri, Tulus Setyadi dan Zouza Aprilyanto. Jumlah keberangkatan yang selalu ditakuti oleh para petualang maupun pendaki. Ganjil. 

Kondisi Goa masih alami. Terbukti di dalam goa masih gelap tanpa penerangan lampu, jadi harap bawa senter sendiri. Selain itu, flora dan fauna juga masih banyak. Sekali datang, puluhan kera akan menjemput Anda. Supaya lebih jelas akan saya ceritakan. Setelah mengjnjakkan kaki di Goa Terawang. 


Masih di Todanan, tepatnya di pintu masuk Goa tertulis: Goa Gombak. "Ah Sudah sampai di sini rugi kalau langsung pulang". Itulah gambaran pikiran kita. Hajar lagi, menyusuri jalan setapak yang cukup jauh, terdengar bunyi, air gemercik. Lhoh apa ini sungai? Kondisinya persis dengan jurang. Yak benar, ini dia sumber bunyi air itu. Sungai yang sebagian airnya masuk ke dalam Goa. Inilah yang dinamakan Goa Gombak. Sesampainya di sana kami mencoba melihat lebih dalam lagi. Jadi, kondisi Goa ini kecil tapi memanjang. Persis di mulut Goa terdapat batu yang menyerupai pintu gerbang. Jika kita masuk lebih dalam, bukan batu yang kita injak melainkan air. Mudahnya batu hanya di mulut Goa, selebihnya air tenang yang terlihat tidak mengalir. Kemungkinan besar mengalir tapi langsung arusnya langsung ke bawah. Fantastik. 

Pengembaraan kami tidak berhenti sampai di Goa kedua. Perjalanan berlanjut ke Waduk Bentolo. Waduk yang dahulunya dijadikan bumi perkemahan dan sekarang mulai tergerus perkembangan zaman. Bumi perkemahan beralih menjadi pabrik gula. Waduk yang cukup bagus walaupun debit airnya belum banyak. Maklum waktu, hujan masih belum selebat sekarang. 


Usai mampir di warung untuk sekadar mengisi perut, perjalanan berlanjut lagi. Goa Kidang. Yak, ini dia yang TO (Target Operasi) kita sebenarnya. Trek jalan berbeda jauh dengan trek Goa Terawang. Adapun trek jalan menuju Goa Kidang sangat menanjak dengan tanah berbatu kapur. Tanpa papan nama dan tanpa penunjuk jalan. Maklumlah, Goa Kidang tak banyak dikunjungi orang. Bahkan, sudah tidak dianggap sebagai objek wisata lagi. Terbukti dari pintu masuk yang sudah hancur tidak terawat. Berbeda jauh dengan pintu masuk Goa Terawang. 
Setelah setengah perjalanan tak juga kita temukan letak Goa. Untunglah, ada beberapa orang yang mencari rumput.

 Berkat arahan Ibu dan Bapak Pencari Rumput. Sampailah kita pada satu tebing. Kami takjub melihatnya. Jurang yang hebat. Tebing yang bukan vertikal melainkan melingkar horizontal di tanah dengan berbagai tumbuhan liar di sekelilingnya. Turun. Kita turun dan Wah. Hebat, ini dia TO yang kita cari selama ini. Masih dalam bayang-bayang kekaguman. Lobang horizontal tadi menyimpan dua Goa yang tidak begitu dalam yaitu Goa Celeng dan Goa Kidang. Goa yang sama sekali tidak terawat. Siapa sangka, di balik rimbunnya dedaunan ini terdapat Goa indah yang kita cari?
Foto di samping adalah mulut Goa Celeng, tak seberapa jauh dari Goa Celeng, inilah Goa Kidang yang membuat kita penasaran. Di tempat ini lah belum lama, kira-kira April 2012 ditemukan dua fosil manusia purba jenis Homo Sapiens. Memang, pertama kita bingung dan bertanya-tanya dimana letak penemuan fosil itu? Tapi setelah melihat tekstur tanah yang berbeda dengan tanah lain barulah kita punya firasat bahwa di tanah ini lah fosil manusia zaman purbakala ditemukan. Tanah yang tampak baru ditutup, dengan kondisi masih gembur dan halus. 


Tak hanya itu, di sebelahnya terdapat sisa kayu yang kemungkinan digunakan sebagai pathok atau tiang pancang. 

Akhirnya, rasa penasaran itu ditebus di akhir tahun 2012 tepatnya pada 29 Desember 2012. Akhir tahun yang sangat bermakna dan juga penebusan yang melelahkan tapi memuaskan. Sepanjang perjalanan pulang kendaraan sang kawan bermasalah. Ini dia, 
satu hal yang sebenarnya sudah diprediksi sebelumnya karena kita berangkat dengan Panser dan Tank masa lampau. Kendaraan klasik yang tetap bertahan di tengah arus perkembangan. Dengan segala kekuatan yang dimiliki si Panser dan Tank Baja kami pulang tertatih-tatih. 


Selengkapnya.. - Blora Lebih Dekat