Orang menamaiku Kampret. Entah kenapa aku pun tak tahu.
Barangkali karena aku biasa melek di malam hari. Aku terlahir dari keluarga
agamis yang taat. Bapak dan Ibu, sama agamisnya. Mungkin itulah yang kemudian
tertitiskan sedikit di sini: di darahku.
Layaknya anak-anak yang lain aku, aku juga punya masa kecil yang
indah. Banyak teman yang seru. Selain itu, aku juga suka bermain. Kini usiaku
menginjak remaja. Sudah berkepala dua mirip dengan jumlah tanduk naga. Dan di
usia seperti ini kelabilanku menduduki puncak istimewa yang tak
tergoyahkan.
Malam itu, ketika aku sedang bertarung dengan pikiranku
tiba-tiba hapeku menjerit. "Kampret! bikin kaget saja," geutuku.
Memang, hal yang paling tidak mengasyikkan adalah ketika kita sedang menikmati
sesuatu tapi diganggu dengan cara yang frontal. dan itu sagat tidak aku sukai.
Ah, hape kuno yang kini mungkin masuk dalam rentetan urutan pengganjal pintu
kamar anak muda. No camera, no internet, cukup menjalankan funsi
dan peran utamanya saja. SMS dan telepon, itu saja. Datang pesan singkat dari
sang teman. Dia mengabarkan tentang kegelisahan terhadap gadis yang
dicintainya.
"Coba, apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti ini,
Pret?" tanyanya dalam bahasa penuh singkatan. Nyaris, tak kupahami isi sms
itu.
"Ada apa sebenarnya?" tanyaku menanggapi.
Bingung juga jika diperhadapkan dengan masalah seperti ini.
karena otak mungil ini terlanjur nge-blank maka lebih baik cari
hiburan saja.
Berangkatlah ke embung irigasi. Lihat air, merasakan sapan angin
sepoi-sepoi, dan menunggu datangnya pikiran baru. Tak bisa tidak, sms dari sang
teman selalu menyebabkan pikiran yang sedang kubiarkan mencari rumput yang
disukainya kembali tanpa disuruh.
Ah, cinta. Apa sih sebenarnya cinta itu, sampai orang sebegitu
gilanya? Persetan lah dengan berbagai teori yang mengatakan cinta ini A, cinta
ini B, bla, bla, bla... Coba ada yang berani membuat kumpulan teori jelmaan
cinta. Tentu akan banyak bahan yang tak habis-habisnya di dapat. Tapi, buatku
sendiri masih bingung dengan esensi cinta semestinya.
Jika pertanyaan ini muncul tentu harusnya ada jawaban yang bisa
diperoleh. Sayangnya, jawaban itu pun kemudian akan menambah rentetan daftar
teori definisi cinta. Ah, terlalu teoretis, aku nggak suka.
Senja datang, bermacam pikiran menyeruak memasuki altar suci
ini. Ketika kupegang cangkir kopiku, datang Hamdi. Dengan langkah santai,
masuklah ia ke rumah.
"Oey Pret, kemana kau? Kucari nggak ada di rumah,"
"Oey Pret, kemana kau? Kucari nggak ada di rumah,"
"Aku mencoba mencari hawa Di, biar nggak suntuk di rumah.
Dasar kampret, itu si Parno. Bisa-bisanya dia jatuh cinta sama si Rahma,"
ucapku.
"Loh ya wajar, to Pret. Namanya juga manusia, normal bukan
kalau seorang lelaki jatuh cinta kepada wanita?" jawab Hamdi.
"Wajar, sih wajar Di. Tapi apa rahma itu bisa mencintai
Parno dengan tulus? Rahma kan anak orang berada. Apa benar dia mau menerima
Parno? Jangan-jangan Rahma hanya mencari sensasi?"
"Wah, wah kamu ini kok bisa negative thinking begitu?
Jangan gitu biarlah sobat kita, bahagia?" Ujar hamdi.
Sesekali kugerakkan tangan untuk menghalau kerumunan nyamuk yang
datang entah dari mana. Dari dulu sampai sekarang nyamuk masih menjadi hewan
peliharaan dewa-dewa kayangan yang tak bisa dihitung jumlahnya.
"Bukannya tidak mau si Parno bahagia, tapi aku khawatir
kalau-kalu cinta Rahma ke dia hanya isapan jempol semata. Kasihan
bukan?"
"Setidak-tidaknya Parno sudah berusaha mencoba. Masalah
jodoh tidaknya kan bukan urusan kita? Atau jangan-jangan kau juga pingin punya
kekasih seperti dia?"
Kuteguk kopi hitam yang tak lagi hangat. Kurengkuh asa dalam
udara malam ini. Dingin. Syahdu. Hamdi masih seperti dulu. Bijaksana meski
lebih tertutup.
"Alaaaah, mana ada anak gadis yang mau sama pemuda desa
macam aku begini. Uang tak punya. Sapi pun tiada, ah sawah? Apalagi! Bakal
menderita itu anak gadis," gerutuku.
"Ha...ha...ha... kamu ini Pret masih saja punya pikiran
sekolot itu," sambil memegang perut yang tak pernah gemuk ia tertawa
terbahak-bahak.
"Lhoh itu bukan perkara sepele lho, dasar Kampret sialan.
Kalau aku sih lebih ke situ Di. Coba, mana ada orang tua yang mau melepaskan
anaknya ke orang miskin seperti kita? Keluar dari kandang macan, bukannya masuk
ke sarang emas malah masuk jurang. kan begitu?"
Tampak muncul tiga garis sejajar di dahi Hamdi.
"Tidakkah kamu juga punya pikiran seperti itu, Di? Masa
tidak?"
hamdi masih menerawang jauh.
"Sementara waktu sih Sri masih oke-oke aja sama aku.
Kayaknya kamu ini terlalu takut melangkah deh Pret.."
Sembari meluruskan kedua kaki, kutarik udara malam ini
sekuat-kuatnya sambil menjulangkan teriakku ke langit.
"Ahhhhh...entahlah, klise!!!"
"Ahhhhh...entahlah, klise!!!"
Kutebarkan pandangku ke semua. Kuraba alam ini dengan berjuta
rabaan yang tak lebih bagai fatamorgana.
Setelah ngobrol lama dengan Hamdi, akhirnya aku pulang. Di meja
kamarku. Kulirik kanan dan kiri. Walhasil tak ada satu barangpun yang menarik,
kecuali buku harian beserta pena mungil pemberian sang Ayah. Pena yang sangat
kusayang karena pena inilah yang selalu mengingatkan aku kepada Ayah. Ayah yang
kini sudah tiada endath ke mana. Kurengkuh buku harian warna kuning itu.
Kuambil pena pemberian ayah. Kutulis tentang isi hatiku hari ini, tentang
obrolanku dengan Hamdi. Tentang parno yang gagah berani tak mundur satu langkah
pun.
Pagi datang. Mentari tak malau-malu menyembulkan wajahnya kali
ini. Kabut-kabut embun seakan berlari melihat rambut, mata, dan parasnya yang
kuning kemerah-merahan.
Yak, hari ini kuputuskan untuk bertemu langsung dengan Parno.
Tak lain dan tak bukan supaya kegelisahankun berujung.
Sesampai di rumah bamboo itu kusandarkan sepeda onthelku. Maklum,
aku hanya anak desa sepeda pun sudah bersyukur beribu syukur.
“Assalamualaikum,” salamku sambil berdiri di tengah pintu.
Di ruang depan hanya nampak kursi bamboo dengan berbagai macam
debu yang menumpuk. Di atasnya tertata gambar Parno ketika sunatan. Satu hal
yang menandai seorang laki-laki sebagai laki-laki. Pembaptisan secara
mengharukan: potong daging. Hening, tanpa ada sahutan suara. Kuulang lagi.
“Asalamualaikumm…” ulangku dengan agak keras.
“Ya, waalaikumsalam..” sahut suara parau tanda masih banyak liur
di tenggorokannya.
Muncul sesosok manusia dalam rimbunnya sinar pagi. Berjalan
dengan gontai dan mengucek mata. Satu, dua, dan tiga mata itu akhirnya
membelalak.
“Wooooo sialan kau Mpret, kukira pak Lurah!” ucap Parno.
“Lhoh ini tamu ini, masa tamu dihantam pakai cacian. Nggak sopan
kau No.”
“Iya deh iya, piye ada
apa? Tumben kamu datang sepagi ini?” Parno masih terlihat malas
Kami berdua duduk di kursi yang masih berdebu. Tanda si pemilik
rumah rajin bersih-bersih.
“Sudah ngopi?” Tanya Parno.
Ia beranjak lalu masuk ke belakang. Terdengar suara gelas
berdenting. Disusul aroma yang sangat menggebu dalam beberapa kepulan. Akhirnya
ia kembali lagi membawa talam berisi dua gelas kopi dan sepiring ketan.
“Ayoh kita sarapan bareng,” ajak Parno.
Dengan bau napas yang menderu ditambah dengan segumpal debu yan
terbawa angin pas sekali dengan judul sebuah film Deru Debu. Film masa kecilku dulu.
Sembari makan dan ngopi perbincangan pun dimulai.
“Piye, apa yang kau risaukan
Pret? ” memang, semenjak SMA Parno,
Hamdi dan Lugito yang selalu menjadi sahabat terbaikku.
“Kamprett,
dengar-dengar kau dekat sama Si Rahma ya, No?” tanyaku.
Ditaruhnya segelas kopi
itu dengan mandang mukaku. Persis seperti baru hari itu dia melihat aku.
“Tahu darimana kau? ”
Parno angkat bicara.
Memang, aku benci
dilihat dengan tatapan seperti itu. Jadi kupilih untuk menebarkan pandang untuk menghindari kontak
mata secara langsung.
“Semua anak muda di
Desa ini tahu No, kalau Rahma, wanita tercantik di Desa sedang kau rayu dank au
dekati,” selaku menjawab.
“Oh iya, bener juga
kamu. Yaa, begitulah Pret. Barangkali ini juga yang dinamakan perasaan. Tak
bisa dibohongi, tak bisa ditutupi. Yaa dibiarkan saja, kelak dia akan tahu apa yang sedang dialami si kembarannya.
Hati kecil.” Jawab Parno. Aman, alasanku dapat diterima tanpa mengundang
pertanyaan lagi.
Kuangkat gelas kopiku,
kusruput sedikit demi sedikit dan ketan pun habis. Tinggal kegelapan yang
tinggi menjulang. Kegelapan kopi dengan aroma biusnya.
“Eh, ada apa sebenarnya
tiba-tiba tanya seperti ini?” selidik Parno.
“Enggak, enggak ada
apa-apa. Aku cuma mau tahu kebenaran cerita orang-orang, langsung dari mulut
kamu,” jawabku.
Seteguk demi seteguk
minuman hitam itu akhirnya habis. Seiring dengan habisnya meinuman gelap pekat
itu, habis pula bahan obrolan. Ini lah yang menandai seseorang secara tidak
langsung untuk pergi pamit dengan alas an menyambungnya di lain kesempatan.
Kukayuh sepeda tuaku, sepeda yang kubeli dengan hasil
keringatku sendiri. Yah, tak seberapa memang. Tapi ini hasil kerja kerasku
sendiri, tiap kali dikayuh terasa puas dan bangga. Sawah, pohon-pohon di
pinggir jalan kulewati begitu saja. Hingga akhirnya sampailah aku di rumah.
Rumah yang dikelilingi tembok bambu. Satu hal yang mengkhawatirkan tetapi
alami. Mengkhawatirkan karena lobang di sela anyaman bambu dapat dilihat dari luar. Ah, tak apa. Memang,
aku tak punya barang apa-apa kecuali seonggok pakaian yang kummel dan sebarisan
buku.
Masuk kamar tiduran sebentar. Melayang-layang di kepalaku
seorang wanita bernama Rahma. Teman
sekelas sewaktu SMP dulu. Wanita yang memang cantik, supel, dan ceria. Berambut
panjang sepunggung yang lebih suka diikat daripada digerai. Punya gigi yang tak
beraturan alias gingsul, katanya ini sih yang menambah wanita kian mempesona
selain lesung pipit tentunya. Tak disangka wanita ini yang kemudian menyita
hati dan jiwa seorang Parno. Parno yang baik hati, sahabatku sedari kecil.
Menjelang magrib dengan
selembar sarung kuikatkan di bagian pusarku. Sarung yang tak lagi rapi bermotif
kotak-kotak punya Bapak dulu. Kuambil peci hitam beledu yang makin lama berubah
kekuningan karena mampu melakukan fotosintesis. Suatu kegiatan yang tak hanya
dilakukan oleh tumbuhan saja. Peciku pun bisa. Bagaimana tidak? Sedikit terkena
air, lalu lembab terkena sinar matahari, menguap dan kering. Begitu terus.
Jadilah peci ini berwarna hitam kekuningan mirip rambut orang Indonesia.
Kupercepat langkahku menuju surau dekat rumah. Dan, aktivitas kerohanian
dimulai.
Usai salat magrib, aku
sengaja duduk-duduk di serambi surau. Tak tahunya si Rahma lewat. Menyapaku.
Cewek satu ini yang mampu membuat sahabatku tergila-gila. Ah, wanita
dimana-mana sama saja. Selalu menrampas hati orang lain tanpa izin terlebih
dahulu. Malam rasanya berputar begitu lambat. Saking lambatnya, memancing
berbagai anganku muncul.
Kali ini perhatianku
lebih banyak tertuju kepada pendidikan. Pendidikan inilah yang dahulu kala
menjadi ajian paling sakti sebagai balas budi Belanda kepada Indonesia. Van
Deventer yang memulai dengan politik balas budinya. Edukasi, irigasi, dan
imigrasi. Terkait dengan pendidikan ini, orang-orang intelektual menyebutnya
suatu hal yang abstrak, jauh dari segi kekonkretan. Tapi bagiku, kusebut ini
hanya impian. Rasanya ingin sekali hijrah ke suatu daerah dan beljar lebih
banyak. Memperluas pengetahuan. Melihat belahan bumi yang lain. Belajar tentang
peradaban budaya dan masyarakatnya. Masih jelas terngiang dalam otakku yang
sempit ini kata-kata Bapak: kuasailah ilmu, maka dunia akan berada di tanganmu.
Tak usah bingung mikir uang, jodoh, atau yang lain. Kalau kamu berpendidikan
semua pun akan mendekat. Aku masih ingat jelas wejangan Bapak dulu ketika
ngobrol-ngobrol menghabiskan waktu di malam hari. Tapi, darimana biayanya?
Sementara Bapak hanya seorang penjaga parkir di pasar. Dan Ibu, yah Ibu hanya
seorang guru TK swasta milik yayasan masjid sekitar rumah. Berapa banyak
pundi-pundi yang didapat tiap hari?
Sebentar akuu tertunduk
melihat lantai surau yang masih berdebu. Mungkin ini debu tadi sore karena aku
melihat kawan baikku Mono sering datang untuk menyapu. Memang, semestinya aku
bersyukur bahwa dengan segala keadaan yang ada padaku tak kurang-kurang
pendidikan terhisap dalam tubuhku. Baik dari tingkat TK, SD, SMP, dan SMA.
Dibanding dengan mereka yang putus sekolah aku masih termasuk dalam kategori
orang beruntung. Tergeregap tubuh ini ketika tangan kasar memegan bahuku. Mono
duduk di sampingku. Seorang lelaki yang cukup tua. Tanpa istri, tanpa anak.
Mungkin karena cacat yang dideritanya wanita-wanita menjauh. Anak pertama dari
ketiga saudara ini mengajakku berbincang.
“A…ada apa, Dik?”
dengan terbata-bata Ia mencoba bertanya.
“Ah enggak Dhe. Enggak
ada apa-apa. Lhoh, kok belum pulang?” Karena rentangan usia yang teraut cukup
jauh, aku panggil dia Pak Dhe. Mungkin usianya terpaut tiga atau lima tahun
lebih muda disbanding Bapak.
“Hii…hiiya sekalian
nung…nunggu Isya, Dik. Mau?” dikeluarkannya dua buah roti terbungkus plastik
hitam.
“Hii…ini tadi diberi
Pak Haji. Ini, ayo…” disodorkannya kedua roti itu padaku.
Dengan senyum simpul
kuambil satu buah. Dan ditariknya sebuah, dibuka bungkusnya lalu kami makan
bareng-bareng.
“Wah, enak ya Dhe,”
Kuangkat jempolku. Kuberikan untuknya.
Dengan senyum bangga,
ia balas jempolku itu dengan setumpuk senyum gembira. Lalu, kutepuk-tepuk
pundaknya. Dan ia membenarkan posisi kopyahnya yang bolong di sebelah kanan.
“Eh, Dhe sudah azan.
Ayo cepat dipukul kentongannya,” beranjaklah kami dari tempat masing-masing.
Hari-hari berlalu begitu saja tanpa ada yang menarik. Hingga akhirnya hape butuku
bergetar. Segera kubuka, ternyata pesan singkat dari Hamdi. Isinya:
Ayo
ke tempat biasa. Kami sudah menunggu.
Wah, asyik juga
sore-soren begini menikmati udara bebas. Kukayuh sepeda oenta Hero-ku. Melintasi sawah yang saat itu sedang menguning.
Kulihat barisan pohon tanpa sepatu, tanpa cabaret, juga tanpa senjata api.
Mulus. Sampai juga di tempat tujuan. Embung. Semacam waduk kecil untuk
menyimpan debit air yang selanjutnya akan dialirkan untuk irigasi sawah.
Kulihat Hamdi dan heran juga. Bukannya Parno, malah Rahma. Dengan sepeda di
tangan, kutuntun bersama hati yang terus berkecamuk tak tentu. Bertanya pada
sang empunya sendiri. Ada apa ini? Ada apa sebenarnya? Rahma memandang ke
arahku, juga Hamdi. Mereka melambaikan tangan. Kubalas dengan secarik senyum
yang kubuat-buat. Senyum kepalsuan yang kugunakan untuk tameng dari pertanyaan
yang terus mengancam.
“Lama juga, kamu ini
Pret?” gerutu Hamdi.
“Iya, kan naik sepeda Di.
Kalau pake motor ya pasti sudah sampai sedar tadi,” jawabku gusar. Sepeda. Baru
aku tahu kalau sepeda itu berasal dari bahasa Belanda Velocipede.
“Ayo sini. Ini ada
Rahma juga,” kata Hamdi sambil melihat wanita itu. Wanita yang satu ini.
Kuulurkan tanganku ini untuk berjabat tangan. Walau Bapak dan Ibu muslim yang
taat, tapi tidak pernah mengajari kami untuk menolak atau mengajukan jabat
tangan kepada lawan jenis.
Kami duduk
berdampingan. Rahma, Hamdi, dan aku. Duduk menghadap barat. Sekaligus nampak
raut muka sang langit yang mulai temaram dipadu dengan munculnya satu, dua
garis berwarna orange. Di depan kami, dengan bangunan yang mulai terkelupas
dari kulit semennya nampak air yang menggelombang rendah. Gelombang yang
diakibatkan dari angin sekitar. Bukan dari retakan lempengan bumi.
“Gimana, ada apa ini.
Kok tumben Rahma mau gabung?” tanyaku.
Dengan senyum kepalsuan
pula wanita itu lalu berbicara. Senyum yang tampak dibuat-buat.
“”