Jumat, 24 Januari 2020

Tulikah matamu, butakah telingamu

Hujan di luar menderu-deru
Masih kau anggurkan kopi dan bukumu?
Sementara hayal dan pikirmu berdesak-desakan jadi satu
Menunggu nunggu akankah kau tulis atau kau biarkan berlalu

Hujan di luar menderu-deru
Masih saja kau biarkan anak dan cucumu?
Sementara biangnya pontang-panting cari susu
Mengais-ngais dompet dan sakumu

Hujan di luar sana menderu-deru
Terus saja kau rusak negaramu
Sementara anak-anak muda
Terus diam, bermain hape melulu

Hai kamu!
Masih saja kau menggerutu
Sementara darah pendahulumu
Terisak-isak oleh sembilu

Masih sajakah kau begitu sementara kenistaan, kemunafikan, penghancuran besar-besaran berada tepat di sebelahmu
Blora, 31 Agustus 2018 (19.51)
Selengkapnya.. - Tulikah matamu, butakah telingamu

Selasa, 21 Januari 2020

Buru-Buru Kaya

Langit sore ini nampak teduh. Maklumlah. Hari ini, sedari pagi hujan menggebyah-uyah Blora dengan sejadi-jadinya. Hujan yang senantiasa ditunggu oleh banyak orang. Pasalnya,  si Badrol, si Tamrin, dan si Nyongek, pun dengan tetanggaku yang lain masih ogah-ogahan ke sawah. Tanah yang masih keras dan belum bisa ditanami apa-apa menjadi alasan utama kemalasan mereka. Sebenarnya hujan sudah turun beberapa kali di sini namun hujan yang turun belum sehebat hari ini. Hujan hari ini benar-benar bisa membuat tanah di sawah menjadi lumpur. Harapan petani di tempat kami akhirnya dikabulkan. Dalam kondisi serba berair ini aku pulang dari tempat kerjaku.
Di sepanjang jalan aku mengendarai motor dengan cukup pelan. Bahkan bisa dibilang sangat pelan dari biasanya aku mengendari sepeda motor. Bayangkan, motor melaju hanya dengan  kecepatan 40 km/jam. Kondisi jalanan basah. Kiri basah. Kanan basah. Jujur, aku sangat menyukai suasana setelah hujan. Bagiku hujan adalah penegas. Penegas keragu-raguan sikap antara panas dan mendung. Hujan pula lah yang membuat pemandangan yang semula berdebu menjadi nampak jelas. Debu hilang. Hitam jadi hitam. Putih jadi putih. Selain jalanan berbubah menjadi licin karena basah, kondisi hati yang teraduk-aduk mejadi alasan kedua untuk memacu motor dengan kecepatan rendah.
Lapar. Dalam hati yang campur aduk ini aku bertemu dengan hal yang luar biasa. Hal yang kumaksud dalam hal ini adalah kata-kata yang seringkali diucapkan orang. Saking seringnya kata-kata itu diucapkan maka makna dan esensinya bagiku semakin hilang. Akan tetapi kali ini rasanya sangat berbeda. Sebuah kalimat makanlah selagi lapar dan berhentilah sebelum kenyang muncul tiba-tiba dan mendesakku untuk tidak bisa tidak menyelidikinya. Kata-kata ini tepat dengan kondisi yang aku alami sore ini. Bicara tentang makan aku jadi ingat perutku yang tengah meronta.  Ah, di rumah tentu tidak ada makanan, setidaknya itulah yang terlintas dalam kepalaku. Istriku jarang sekali memasak. Sering aku mampir ke warung untuk makan. Bahkan tak jarang aku ditawari  beberapa teman untuk makan di rumahnya. Lama, lama, lama sekali aku berpikir dalam kelaparan yang melandaku.
Dinn!! Suara klakson truk mengagetkanku. Memaksaku untuk segera menepi sambil tetap berpikir. Yah. Benar juga terkadang aku lupa untuk berpikir sejauh ini. Kini pikiranku terseret untuk mencari tahu mengapa ia jarang sekali memasak? Kuselidiki satu per satu kemungkinan demi kemungkinannya. Lama-lama aku jadi malu. Sering aku sebagai laki-laki hanya menuntut kepada istri untuk masak ini-masak itu. Tanpa kusadari dan bertanya kembali sudahkah kita memberinya uang belanja? Makin lama pikiranku makin terhanyut dalam lamunan. Hanyut sehanyut-hanyutnya laksana bungkus permen yang terbawa air selokan di sana-sini. Dalam hanyutnya launan ini muncul kembali kata-kata itu, makanlah selagi lapar dan benhentilah sebelum kenyang. Kata-kata itu mendarat mulus dalam benakku dan terus menyita konsentrasiku mengendarai sepeda motor ini.
Motor kuhentikan tepat di depan warung mi ayam. Ah, hujan-hujan begini asyik juga ya makan mi. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat akan istriku di rumah. Sudah berapa kalikah ia mengalah. Pertanyaan itu muncul. Dalam hati ini juga muncul sosok lain dari diriku yang mengacung-acungkan telunjuknya sambil berkata “Tega sekali kau, Mat. Istri dan anakmu tak tak pernah kau cari tahu sudah makan apa belum. Kamu enak-enak aja makan di warung ini itu semaumu. Tahukah kau kalau selama ini istrimu tak makan siang hanya untuk merawat anak-anakmu? Sementara kau di sini?” Ah. Tak tega juga rasanya. Kudatangi penjual mi ayam lantas aku bilang untuk dibungkus saja. Sambil menunggu, pikiranku masih saja melayang. Di depanku ada seorang laki-laki dan perempuan sedang lahap makan mi. Dari baju yang digunakan nampak dia bukan orang sembarangan. Berseragam khaki dan bersepatu. Yah, kantoran. Entah pejabat teras atau pesuruh aku tak tahu karena dua-duanya pun sekarang sama saja. Bahkan lebih kece para pesuruh jika dilihat dari fashionnya. Lama aku perhatikan dua orang itu makan. Dari caranya membersihkan kuah di mulut aku tahu bahwa dua orang ini sama-sama pesuruh. Yang besar dan tinggi pesuruh dengan lembut, yang laki-laki kurus hitam pesuruh kasar. Kelihatan dari cara laki-laki ini mengelap sisa kuah dengan ujung lengan bajunya.
Melihat dua orang ini memoriku memanggil-manggil dan membongkar cerita dari Abah. Tempo hari keponakanku datang ke rumah bersama pak Dhe untuk pinjam uang. Bahkan memohon agak mengiba agar Abah mencarikan pinjaman uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Lima juta rupiah. Nominal yang tidak sedikit bagi Abah yang punya anak tiga. Butuh cepat katanya. “Mau dipakai apa uang to?” tanya ayah menimpali. Si keponakan menjawab dengan suara lirih sambil melihat ujung kakinya, “Buat beli mobil Pak Lik.” Mendengar ucapan itu Abah sontak berkata “Buru-buru sekali kau ingin kaya.” Akhirnya Abah berkata kepada Pak Dhe untuk berusaha mencarikan. Tapi tidak janji bisa mendapatkan uang itu dalam waktu dekat. Ah, Abahku ini masih saja seperti Abah yang kukenal selalu tak enakan hati. Ia berkata halus agar tidak menyakiti hati kakaknya.
Buru-buru sekali ingin kaya? Hmm. Kata-kata ini dahsyat sekali masuk dalam otakku waktu itu. Rasaya kok bisa pas ya kalau dikaitkan dengan kalimat makanlah selagi lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Aha! Iya, iya, iya. Ketemu sekarang. “Ini Mas,” kata Bapak penjual mi ayam. Setelah kubayar, aku lalu pulang. Sesampai rumah dengan gembira aku pun membuka sebungkus mi ayam ini. Kutuang di piring lalu kupanggil istriku untuk makan berdua. Kebetulan anak-anak masih sekolah. Nampak istriku pun ikut lahap makan. Kini aku sadar. Aku tak akan mengulangi kebiasaanku makan di warung lagi. Lebih baik apa adanya asal dimakan berdua. Masalah kenyang atau tidak itu urusan belakangan. Nampaknya memang benar aku harus berlatih bersyukur dan senantiasa bersabar menikmati dinamika kehidupan ini. Harisz (21/01/2020:21.54 )

Selengkapnya.. - Buru-Buru Kaya