Langit sore ini nampak teduh. Maklumlah. Hari ini,
sedari pagi hujan menggebyah-uyah
Blora dengan sejadi-jadinya. Hujan yang senantiasa ditunggu oleh banyak orang.
Pasalnya, si Badrol, si Tamrin, dan si
Nyongek, pun dengan tetanggaku yang lain masih ogah-ogahan ke sawah. Tanah yang
masih keras dan belum bisa ditanami apa-apa menjadi alasan utama kemalasan
mereka. Sebenarnya hujan sudah turun beberapa kali di sini namun hujan yang
turun belum sehebat hari ini. Hujan hari ini benar-benar bisa membuat tanah di
sawah menjadi lumpur. Harapan petani di tempat kami akhirnya dikabulkan. Dalam kondisi
serba berair ini aku pulang dari tempat kerjaku.
Di sepanjang jalan aku mengendarai motor dengan cukup
pelan. Bahkan bisa dibilang sangat pelan dari biasanya aku mengendari sepeda
motor. Bayangkan, motor melaju hanya dengan
kecepatan 40 km/jam. Kondisi jalanan basah. Kiri basah. Kanan basah.
Jujur, aku sangat menyukai suasana setelah hujan. Bagiku hujan adalah penegas.
Penegas keragu-raguan sikap antara panas dan mendung. Hujan pula lah yang membuat
pemandangan yang semula berdebu menjadi nampak jelas. Debu hilang. Hitam jadi
hitam. Putih jadi putih. Selain jalanan berbubah menjadi licin karena basah,
kondisi hati yang teraduk-aduk mejadi alasan kedua untuk memacu motor dengan
kecepatan rendah.
Lapar. Dalam hati yang campur aduk ini aku bertemu
dengan hal yang luar biasa. Hal yang kumaksud dalam hal ini adalah kata-kata
yang seringkali diucapkan orang. Saking seringnya kata-kata itu diucapkan maka
makna dan esensinya bagiku semakin hilang. Akan tetapi kali ini rasanya sangat
berbeda. Sebuah kalimat makanlah selagi
lapar dan berhentilah sebelum kenyang muncul tiba-tiba dan mendesakku untuk
tidak bisa tidak menyelidikinya. Kata-kata
ini tepat dengan kondisi yang aku alami sore ini. Bicara tentang makan aku jadi
ingat perutku yang tengah meronta. Ah, di
rumah tentu tidak ada makanan, setidaknya itulah yang terlintas dalam kepalaku.
Istriku jarang sekali memasak. Sering aku mampir ke warung untuk makan. Bahkan tak
jarang aku ditawari beberapa teman untuk
makan di rumahnya. Lama, lama, lama sekali aku berpikir dalam kelaparan yang
melandaku.
Dinn!! Suara klakson truk mengagetkanku. Memaksaku
untuk segera menepi sambil tetap berpikir. Yah. Benar juga terkadang aku lupa
untuk berpikir sejauh ini. Kini pikiranku terseret untuk mencari tahu mengapa
ia jarang sekali memasak? Kuselidiki satu per satu kemungkinan demi
kemungkinannya. Lama-lama aku jadi malu. Sering aku sebagai laki-laki hanya
menuntut kepada istri untuk masak ini-masak itu. Tanpa kusadari dan bertanya
kembali sudahkah kita memberinya uang belanja? Makin lama pikiranku makin
terhanyut dalam lamunan. Hanyut sehanyut-hanyutnya laksana bungkus permen yang
terbawa air selokan di sana-sini. Dalam hanyutnya launan ini muncul kembali
kata-kata itu, makanlah selagi lapar dan
benhentilah sebelum kenyang. Kata-kata itu mendarat mulus dalam benakku dan
terus menyita konsentrasiku mengendarai sepeda motor ini.
Motor kuhentikan tepat di depan warung mi ayam. Ah,
hujan-hujan begini asyik juga ya makan mi. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat
akan istriku di rumah. Sudah berapa kalikah ia mengalah. Pertanyaan itu muncul.
Dalam hati ini juga muncul sosok lain dari diriku yang mengacung-acungkan
telunjuknya sambil berkata “Tega sekali kau, Mat. Istri dan anakmu tak tak pernah
kau cari tahu sudah makan apa belum. Kamu enak-enak aja makan di warung ini itu
semaumu. Tahukah kau kalau selama ini istrimu tak makan siang hanya untuk
merawat anak-anakmu? Sementara kau di sini?” Ah. Tak tega juga rasanya. Kudatangi
penjual mi ayam lantas aku bilang untuk dibungkus saja. Sambil menunggu,
pikiranku masih saja melayang. Di depanku ada seorang laki-laki dan perempuan sedang
lahap makan mi. Dari baju yang digunakan nampak dia bukan orang sembarangan.
Berseragam khaki dan bersepatu. Yah, kantoran. Entah pejabat teras atau pesuruh
aku tak tahu karena dua-duanya pun sekarang sama saja. Bahkan lebih kece para
pesuruh jika dilihat dari fashionnya. Lama aku perhatikan dua orang itu makan.
Dari caranya membersihkan kuah di mulut aku tahu bahwa dua orang ini sama-sama
pesuruh. Yang besar dan tinggi pesuruh dengan lembut, yang laki-laki kurus
hitam pesuruh kasar. Kelihatan dari cara laki-laki ini mengelap sisa kuah
dengan ujung lengan bajunya.
Melihat dua orang ini memoriku memanggil-manggil dan
membongkar cerita dari Abah. Tempo hari keponakanku datang ke rumah bersama pak
Dhe untuk pinjam uang. Bahkan memohon agak mengiba agar Abah mencarikan
pinjaman uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Lima juta rupiah. Nominal yang
tidak sedikit bagi Abah yang punya anak tiga. Butuh cepat katanya. “Mau dipakai
apa uang to?” tanya ayah menimpali.
Si keponakan menjawab dengan suara lirih sambil melihat ujung kakinya, “Buat
beli mobil Pak Lik.” Mendengar ucapan
itu Abah sontak berkata “Buru-buru sekali kau ingin kaya.” Akhirnya Abah
berkata kepada Pak Dhe untuk berusaha mencarikan. Tapi tidak janji bisa
mendapatkan uang itu dalam waktu dekat. Ah, Abahku ini masih saja seperti Abah
yang kukenal selalu tak enakan hati. Ia berkata halus agar tidak menyakiti hati
kakaknya.
Buru-buru sekali ingin kaya? Hmm. Kata-kata ini
dahsyat sekali masuk dalam otakku waktu itu. Rasaya kok bisa pas ya kalau
dikaitkan dengan kalimat makanlah selagi
lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Aha! Iya, iya, iya. Ketemu sekarang.
“Ini Mas,” kata Bapak penjual mi ayam. Setelah kubayar, aku lalu pulang. Sesampai
rumah dengan gembira aku pun membuka sebungkus mi ayam ini. Kutuang di piring
lalu kupanggil istriku untuk makan berdua. Kebetulan anak-anak masih sekolah.
Nampak istriku pun ikut lahap makan. Kini aku sadar. Aku tak akan mengulangi
kebiasaanku makan di warung lagi. Lebih baik apa adanya asal dimakan berdua. Masalah
kenyang atau tidak itu urusan belakangan. Nampaknya memang benar aku harus
berlatih bersyukur dan senantiasa bersabar menikmati dinamika kehidupan ini. Harisz
(21/01/2020:21.54 )