Minggu, 27 Juni 2021

Antara Literasi dan Jersey

Selamat malam sodaraku. Baik-baik saja bukan? 


Lama sekali rasanya aku nggak nulis. Heran. Kenapa ya kok jadi pemalas gini. Oiya, sebenarnya ada satu buku yang  sudah selesai kubaca. Judulnya Musashi karya Eiji Yoshikawa. Kamu udah pernah baca? Gimana bagus? Kalau ada yang belum baca nanti deh lain waktu kubikin ulasannya.

Oiya sodaraku, jarang nulis bukan berarti aku jarang baca ya. Baca buku tetap lanjut meski tulis-menulis macet. Membaca buku seolah menjadi kebiasaanku dari dulu. Yah, kalau ditanya sejak kapan suka buku (buku bacaan maksudnya bukan buku pelajaran) sepertinya sedari SMP. Aku ingat dulu ketika SMP sering sekali keluar masuk perpus demi pinjam buku cerita rakyat berbagai daerah di Indonesia. 

Saat SMA mulai deh suka novel. Genrenya ya begitu. Teenlite. Baru mulai kelas XI genre buku favorit sudah mulai berubah. Terlebih ketika kelas XII.
Masih membekas rasanya di ingatan tentang menggelegaknya hati dan pikiran ketika membaca Harimau-Harimau karya Mochtar Lubis. Bahkan sampai sekarang masih teringat satu nama tokoh legendaris dari Harimau-Harimau itu. Wak Katok. Di SMA inilah intensitasku masuk perpus menjadi makin sering. Lebih-lebih saat kelas XII dulu.
Gimana enggak, jam istirahat ke perpus. Baca. Terus nanti pinjam, bawa pulang. Pertimbangan dulu hanya satu, biar hemat. Kalau ke perpus kan nggak usah jajan. Maklum, uang saku mepet. Hanya Rp 3000,-. Dengan perhitungan Rp 2.000,- buat ongkos naik bus pulang pergi. Sisanya buat jajan. Untuk menekan keinginan jajan waktu itu ya ke perpus.

Nah, baru ketika kuliah di Jogja nafsu baca makin tak terbendung. Gimana enggak, akses buku jauh lebih dekat. Genre buku pun berubah. Nafsu baca lebih dominan ke biografi tokoh, ideologi kiri, genre novel pun bergeser lebih ke novel sejarah. Eits, genre novel sejarah masih berlaku ding sampai sekarang. Hehe

Berkenalan dengan Jersey

Oke sodaraku obrolan kita bergeser sedikit dari buku ya. Tapi tenang, masih seputar hobi kok. Selain hobi dengan buku literasi, aku juga suka mengoleksi jersey. Lupa persisnya kapan aku mulai berkenalan dengan jersey. Oiya, kalau di antara kalian ada yang belum tahu jersey,  jersey itu kostum sepak bola itu tuh ya.


Pertama bersinggungan dengan jersey kalau nggak salah ingat dua tahun setelah mengajar. Kurang lebih tahun 2013an mulai tuh berkenalan dengan yang namanya jersey. "Beli ah satu jersey Arsenal". Klub favoritku sedari SMP dulu soalnya.
Latar belakang perkenalan jersey bolaku mungkin berbeda dengan teman-teman. Setahuku ada beberapa teman yang sedari kecil punya memori dengan jersey, salah satunya karena jersey itu kenangan yang dibelikan oleh ayahnya.
Aku tak pernah punya jersey sejak kecil. Gimana mau punya jersey, main bola aja kena marah. Yah, orang tuaku terlalu takut kalau anaknya cedera atau apalah. Pengalamanku di bidang cedera sejak kecil terlalu banyak. Mulai dari sering step, jari telunjuk tembus kena jarum di mesin jahit, kapur barus masuk hidung sampai masuk rumah sakit, mata kiri tumor, kata dokter ada daging tumbuh sampai harus dioperasi dua kali ketika TK dan kelas 3 SD. Banyak sekali bukan? Yah begitulah, mungkin inilah alasan yang menyebabkan bapak dan ibuku melarangku main bola. Jadi kalau pun main bola plastik harus sembunyi-sembunyi.
Perkenalanku dengan klub bola adalah saat SMP. Saat itu bersama Bapak, kami jadi fans PSIS Semarang di Liga Djarum Indonesia. Setiap PSIS Semarang bermain, kegiatan ngangsu (ambil air bersih) langsung berhenti. Nonton PSIS Semarang dong.
Nah, perkenalanku dengan klub Eropa ya karena teman sekelasku SMP. Adi Idrus namanya yang fans fanatik AC Milan. Milanisti. Dimana-mana yang dibahas selalu Milan terus. Dari situ aku bingung tuh. Klub mana ya yang jadi idolaku.

Saat itu centrocampo Italiano sedang menggila. Donna Agnesia sama Darius Sinathrya seingatku yang jadi presenter di Indosiar. Cukup lama kucari klub mana ya yang jadi andalanku. Kok masih saja nggak ketemu. Nah, waktu malam Minggu ada pertandingan Barclays Premier League yang menyajikan pertandingan Manchester United vs Arsenal. Bersama Bapak, lupa dulu itu skornya berapa-berapa. Pertandingan itu  kuikuti sampai selesai. Nah ini baru sepak bola, kataku dalam hati. Aliran umpan bola nggak muter-muter, keras, dan dengan tensi tinggi. Mainnya cepat. Sangat berbeda dengan liga Italia kesukaan Idrus. Ditambah lagi saat itu aku mulai terpesona kepada salah seorang pemain Arsenal. Pemain tampan, skill bagus, lari cepat. Si Jose Antonio Reyes. Pemain bernomor punggung 9 waktu itu langsung menyita perhatianku. Nah kembali ke jersey bola. Mungkin jadi pembalasan dendam kali ya. Baru deh ketika sudah mengajar dan dapat honor sedikit, mulai berani beli jersey. Awalnya beli dua. Satu untukku pribadi dan satu untuk adikku yang niatnya akan kuberikan saat menyambanginya di pondok pesantren.  Mulai deh dari situ rasa ketagihan itu muncul. Kok asyik juga ya punya jersey. Seperti ada kebanggan tersendiri. Oiya, jersey yang kubeli waktu itu adalah jersey Arsenal away centenary musim 2011. Aku beli yang tanpa merk sementara adik kubelikan yang merk 7star.
Berawal dari situ obrolan tentang jersey menjadi semakin semakin sering. Ngobrol sama Idrus, ngobrol sama teman ngajar, ngobrol sama pemilik toko jersey tentang kualitas jersey dan sebagainya. Semua-mua tentang jersey. Keinginan mengoleksi jersey pun semakin menggebu-gebu. Setelah itu sempat dibelikan adikku yang saat itu kerja di Kalimatan. Waktu itu dia sempat bilang "Nanti tak belikan jersey arsenal di sini, Mas Jersey Ori." ORI? Wauw. Ternyata maksud dia adalah jersey Grade Ori. Walhasil sampai dia pulang dari Kalimanatan, jersey pun tak kunjung datang. Akhirnya dibelikanlah jersey Arsenal di Blora. Mana tinggal satu lagi. Eh kok enak ya kainnya. Jadi ketagihan deh. Ah beli ah yang GO (Grade Ori). Bersama Idrus akhirnya kami jadi pelanggan toko jersey. Selalu dikabari kalau ada barang baru. Aku bahkan rela nyari pinjaman lho kalau ada jersey yang oke. Hihi. Ssst.
Dihitung-hitung ada lah kalau sepuluhan jersey grade ori waktu itu. Sampai-sampai beli online juga. Padahal nggak punya rekening. Belinya ya minjam-minjam. Suruh transferin adik, kadang ke bank sendiri buat transfer, kadang juga minta tolong teman buat nransferin. Walah.
Bicara kualitas jersey, makin lama kok baru ngeh.  Kualitas jersey grade ori kok begini ya. Kainnya bagus memang, tapi sponsor kalah kecuci kok mengelupas. Rontok.

Sementara niat ngoleksi makin menjadi-jadi tuh. Penasaran. Instensitas berfacebook jadi makin sering diisi dengan mencari-cari informasi jersey. Mulai nyari forum jual-beli jersey, komunitas jersey, grup-grup jersey yah buat nyari tahu tahu keunggulan dan kelemahan kualita jersey.

Dari situ barulah aku tahu semakin kuno jersey, semakin mahal harganya. Terlebih Jersey yang ada nama dan nomor punggung pemainnya.

Kemudian berkenalanlah aku dengan grup Pencinta Jersey KW Lokal atau yang disingkat PJKWL. Mulai kuscroll tuh dari atas ke bawah. Wih ngeri ya. Jerseynya langka-langka. Selain itu membaca komentar-komentar di grup ini kok asyik banget. Kesannya kok membernya hangat seperti saudara. Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Zico Roemario. Dia pernah mengunggah foto jersey Arsenal di grup. Wih Arsenal. Langsung coba kutengok porfilnya ya man. Buset. Jersey Arsenalnya banyak banget. Akhirnya kucoba berkenalan. Ternyata dia orang Jogja. Dari sini lah aku mulai kenal dengan keunikan Jersey KW lokal. Memang sih kain jersey kw lokal cenderung panas, tapi sponsor nggak ada tuh cerita kelupas, rontok, atau pecah kayak Grade Ori. Dari Zico ini, aku kemudian membeli beberapa jersey kw lokal miliknya. Di antaranya, Robin Van Persie merk multisport centenary 2011-2012, Podolski home 2012-2013, sampai Arshavin away 2010-2011 yang kuambil langsung di tempat kerjanya, di Malioboro. Baru setelah itu mulai kukenal beberapa nama sesepuh jersey (panggilan mesra bagi member PJKWL) terkhusus kolektor jersey Arsenal. Dari mereka lah kini tersimpan beberapa jersey Arsenal di lemari kayu, berdampingan dengan buku-buku. Jumlahnya, wah nggak pernah ngitung, yang pasti lebih sering nambah daripada kurang. Kalau kamu, hobi apa yang paling kamu sukai? Pasti nggak cukup satu kan?

Selengkapnya.. - Antara Literasi dan Jersey