Jumat, 14 Februari 2020

SUKSES VS BAHAGIA

Mungkin di antara kita sering mendengar kata bahagia. Akan tetapi, kita sering kesulitan menafsirkan  bahagia itu yang bagaimana. Bahagia itu yang seperti apa. Ataukah sama arti bahagia dengan sukses?
Entah mengapa akhir-akhir ini saya kurang suka mendefinisikan kata berdasar kamus. Bagi saya pribadi, kata sebenarnya perwujudan dari beberapa toleransi yang dibentur-bentukkan oleh keadaan dan suasana. Maka dari itu terkadang makna dalam kamus tidak sesuai dengan konteks yang kita jumpai. Berkaca dari itu saya coba definisikan bahagia dan sukses berdasar kesederhanaan pandangan saya pribadi.
Oke, mari kita telisik lebih jauh tentang BAHAGIA dan SUKSES.
Bahagia sering diistilahkan bagi dan kepada seseorang yang telah mapan. Mapan, dalam hal ini pun beraneka ragam. Padahal, semakin seseorang mengatakan bahagia, unsur kebahagiaan itu akan luntur dengan sendirinya. Sederhananya, semakin seseorang mengatakan dirinya mapan, semakin seseorang itu tidak mapan. Repotnya faktor kebahagiaan ini sering dikacaukan dengan hal yang nampak. Kemapanan misalnya.
Contoh: Bu A bahagia karena memiliki anak seorang profesor yang kemana-mana naik mobil.
Masih banyak orang yang berpandangan materialistik. Melihat sesuatu dari harta dan benda. Materialisme seperti ini masih menjangkit di sekitar kita, disadari atau tidak. Bahkan, sering kali kita menjumpai seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain. "Lihat saja mereka itu kan temanmu, mereka sudah pada JADI ORANG.  Yang ini sudah jadi dosen, yang itu sudah punya momongan, yang ssitu kemana-mana naik mobil, nah yang sana itu sudah jadi kontraktor. Hello, mereka sudah pada sukses. Sedangkan kamu, dari dulu sampai sekarang masih begini-begini saja. Coba, berapa kali ucapan seperti itu kita dengar?" Tak jarang, kita sering termakan kata-kata seperti itu. Ujung-ujungnya kita tiba-tiba seperti meratapi nasib dan seolah duduk di ujung goa yang sunyi, tersingkir dari peradaban
Akan menarik apabila kata-kata sukses seperti yang kebanyakan orang sebut di atas dihadapkan dengan kata bahagia.
Apakah mereka-mereka di atas sudah bahagia dengan yang diperolehnya? Tentu, pertanyaan ini membuat beberapa orang seketika terdiam.
Menjadi sebuah polemik apabila kesuksesan dihadapkan dengan kebahagiaan.
Ukuran kebahagiaan seseorang dengan orang lain nyatanya berbeda-beda. Seorang nenek yang sudah tua renta tetap saja merumput, berladang, bahkan bertani di sawah. Sementara hasil yang diperoleh sebagai upah panen belum tentu stabil. Malah sering anjlok di pasaran. Biaya tanam, ongkos tenaga, dan waktu yang sangat tak sedikit tak dihiraukan. Apakah mereka menyesal? Tidak. Mereka bahagia. Besok waktu musim tanam tiba, mereka akan menanam lagi, dan lagi, dan lagi.
Berjualan pun begitu, sering harga beli barang kulakan dijual kembali dengan harga di bawah harga beli. Mereka juga tak bosan-bosannya jualan. Sementara, beberapa kuli dengan upah yang kadang tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Belum lagi terpotong untuk biaya makan dan rokok, nyatanya masih saja bekerja. Memang, di satu sisi mereka terpaksa menerima keadaan tetapi di lain sisi mereka pun bahagia.
Lebih-lebih ketika mereka pulang dan bisa berkumpul dengan anak dan istrinya. Biarpun makan dengan nasi garam pun.
Lalu, apa itu bahagia dan sukses?
‌Bahagia adalah sebuah prestasi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. kebanggaan tersendiri yang diperoleh dengan penuh rasa ikhlas tanpa melihat dan membandingkan dengan yang lain-lain. Sedangkan sukses adalah kepuasan yang diperoleh seseorang setelah target yang dibuatnya diraih dengan segala daya upaya. Masalahnya kemudian adalah sudahkah Anda. Kita.  Saya. Sukses dengan yang kita terima? Yang lebih tinggi lagi apakah kita sudah bahagia dengan hidup kita? Ataukah masih saja kita membandingkan, mengorek-ngorek yang dimiliki orang lain lantas kita telanjangi diri kita dengan milik orang lain itu?
Hidup adalah tidak melulu berurusan dengan yang nampak. Nyatanya yang tidak nampak senantiasa memberikan warna dan kesegaran tersendiri dengan caranya sendiri. Kita hendaknya waspada karena yang nampak sering menggoda kita dengan berjuta kebahagiaan semu. Kebahagiaan semu yang membuat kita seolah berada di dalamnya untuk selama-lamanya.
Salam
Selengkapnya.. - SUKSES VS BAHAGIA

Ladang Amal Terselip di Ladang Nominal

Baru kemarin kutemukan kata-kata yang pas untuk lead. Kutemukan saat mengendarai sepeda motor. Ah rasanya memang jalanan mengajari banyak orang. Jalanan mengajari orang untuk berhati-hati,  jalanan juga mengajari orang untuk berkonsentrasi, bahkan jalanan pula mengajari orang untuk  senantiasa berdoa. Ladang amal terselip di di ladang nominal muncul sebagai residu dari kegelisahan yang sudah sangat lama muser-muser di otakku. Singkat cerita kualami lagi fenomena yang dulu sudah pernah kuhadapi.

Masalah nominal, angka, dan nilai hampir selalu disempitkan beberapa pihak dengan mata uang. Sebut saja upah kerja. Tak ayal, banyak manusia yang pada akhirnya mengejar upah tanpa menghiraukan kinerja. Kegelisahan ini muncul berkaca dengan suasana kerja di beberapa tempat. Pun dengan ladang saya. Di ladang para pembaca pun ada juga yang demikian?  Manusia tentu berbeda-beda. Beda sudut pandang, beda cara pandang, beda cara hidup, beda gaya hidup, beda cara bersikap, beda semua-mua. Pada dasarnya itu yang pada akhirnya membuat manusia saling menghormati dan menghargai.
Di beberapa ladang, upah yang seyogyanya menjadi pengganti keringat dan tenaga, menjadi hal utama yang paling diburu. Materialis, mungkin kata orang zaman sekarang. Sudah materialis, eh kinerja menurun pula. Kesan datang-duduk-rileks dapat amplop di tempat kerja pun mengemuka.

Di dunia pendidikan hal ini tak jarang terjadi. Saya sering menjumpai hal ini di instansi negara. Dengan jumlah gaji yang sama tiap bulan tentu beberapa orang, akan bebas bekerja. Seenaknya misalnya. Tunjuk saja si pesuruh ini untuk menyelesaikan kerja. Yang penting amplop bulanan sama, ya kan? Gaji, sobat, gaji. Darimana gaji itu? Dari pajak, dari APBN, dari ini itunya rakyat yang berkumpul jadi satu lalu diberikan kepada para PNS itu. Duh, rakyat malang nian nasibmu.

Akan sangat terasa kalau itu terjadi di dunia kerja swasta. Sebut saja di yayasan tertentu. Sumber dana utama adalah dari donatur, bisa jadi dari iuran wajib. Dari sinilah akhirnya bermuara pada gaji pegawai. Jika si pegawai itu melakukan hal yang sama dengan contoh di atas. Rasanya kok kebangetan sekali. Padahal sebuah swasta bahkan yayasan, semua hal selalu dilandasi dengan niat, percaya, dan ikhlas. Tujuannya tiada lain adalah jariyah. Bagaimana menurut sobat?
Pernah suatu ketika saya digoda fenomena seperti ini. Saat masih sekolah saya dipusingkan dengan hal serupa. Saya coba mengerjakan soal matematika dengan seluruh tenaga dan kemampuan yang saya miliki, nilainya 59. Eh ada teman yang datang mencontek kerjaan teman yang paling pandai, dapat 90. Lantas, bagaimana kita harus bersikap?
Kalau semua itu terjadi secara massif, sikap kita bagaimana? Lama saya berpikir. Dipikir lama hasilnya tetap kalah dengan yang mencontek. Bukankah kasus ini serupa dengan kasus di atas?
Beberapa orang berusaha benar-benar dengan tulus dan ikhlas untuk selalu berjuang. Sebagian yang lain enak-enakan asal datang gajian. Belum lagi beberapa oknum yang memanfaatkan posisinya untuk mengambil beberapa keuntungan. Pada akhirnya kita pun harus survive. Mencuplik perkataan guru saya
Sekalipun sama-sama masuk air, cobalah untuk tidak hanyut ataupun tenggelam. Susah memang. Memang susah sekali. Mencoba untuk survive saja masih menjadi momok.
Selengkapnya.. - Ladang Amal Terselip di Ladang Nominal