Jumat, 14 Februari 2020

Ladang Amal Terselip di Ladang Nominal

Baru kemarin kutemukan kata-kata yang pas untuk lead. Kutemukan saat mengendarai sepeda motor. Ah rasanya memang jalanan mengajari banyak orang. Jalanan mengajari orang untuk berhati-hati,  jalanan juga mengajari orang untuk berkonsentrasi, bahkan jalanan pula mengajari orang untuk  senantiasa berdoa. Ladang amal terselip di di ladang nominal muncul sebagai residu dari kegelisahan yang sudah sangat lama muser-muser di otakku. Singkat cerita kualami lagi fenomena yang dulu sudah pernah kuhadapi.

Masalah nominal, angka, dan nilai hampir selalu disempitkan beberapa pihak dengan mata uang. Sebut saja upah kerja. Tak ayal, banyak manusia yang pada akhirnya mengejar upah tanpa menghiraukan kinerja. Kegelisahan ini muncul berkaca dengan suasana kerja di beberapa tempat. Pun dengan ladang saya. Di ladang para pembaca pun ada juga yang demikian?  Manusia tentu berbeda-beda. Beda sudut pandang, beda cara pandang, beda cara hidup, beda gaya hidup, beda cara bersikap, beda semua-mua. Pada dasarnya itu yang pada akhirnya membuat manusia saling menghormati dan menghargai.
Di beberapa ladang, upah yang seyogyanya menjadi pengganti keringat dan tenaga, menjadi hal utama yang paling diburu. Materialis, mungkin kata orang zaman sekarang. Sudah materialis, eh kinerja menurun pula. Kesan datang-duduk-rileks dapat amplop di tempat kerja pun mengemuka.

Di dunia pendidikan hal ini tak jarang terjadi. Saya sering menjumpai hal ini di instansi negara. Dengan jumlah gaji yang sama tiap bulan tentu beberapa orang, akan bebas bekerja. Seenaknya misalnya. Tunjuk saja si pesuruh ini untuk menyelesaikan kerja. Yang penting amplop bulanan sama, ya kan? Gaji, sobat, gaji. Darimana gaji itu? Dari pajak, dari APBN, dari ini itunya rakyat yang berkumpul jadi satu lalu diberikan kepada para PNS itu. Duh, rakyat malang nian nasibmu.

Akan sangat terasa kalau itu terjadi di dunia kerja swasta. Sebut saja di yayasan tertentu. Sumber dana utama adalah dari donatur, bisa jadi dari iuran wajib. Dari sinilah akhirnya bermuara pada gaji pegawai. Jika si pegawai itu melakukan hal yang sama dengan contoh di atas. Rasanya kok kebangetan sekali. Padahal sebuah swasta bahkan yayasan, semua hal selalu dilandasi dengan niat, percaya, dan ikhlas. Tujuannya tiada lain adalah jariyah. Bagaimana menurut sobat?
Pernah suatu ketika saya digoda fenomena seperti ini. Saat masih sekolah saya dipusingkan dengan hal serupa. Saya coba mengerjakan soal matematika dengan seluruh tenaga dan kemampuan yang saya miliki, nilainya 59. Eh ada teman yang datang mencontek kerjaan teman yang paling pandai, dapat 90. Lantas, bagaimana kita harus bersikap?
Kalau semua itu terjadi secara massif, sikap kita bagaimana? Lama saya berpikir. Dipikir lama hasilnya tetap kalah dengan yang mencontek. Bukankah kasus ini serupa dengan kasus di atas?
Beberapa orang berusaha benar-benar dengan tulus dan ikhlas untuk selalu berjuang. Sebagian yang lain enak-enakan asal datang gajian. Belum lagi beberapa oknum yang memanfaatkan posisinya untuk mengambil beberapa keuntungan. Pada akhirnya kita pun harus survive. Mencuplik perkataan guru saya
Sekalipun sama-sama masuk air, cobalah untuk tidak hanyut ataupun tenggelam. Susah memang. Memang susah sekali. Mencoba untuk survive saja masih menjadi momok.

1 komentar:

clara wijaya mengatakan...

Permisi Ya Admin Numpang Promo | www.fanspoker.com | Agen Poker Online Di Indonesia |Player vs Player NO ROBOT!!! |
Kesempatan Menang Lebih Besar,
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802

Posting Komentar