Kamis, 27 Desember 2012

Jilbab atau Baju?

Fungsi makin memudar seiring perkembangan zaman

Makin hari makin banyak saja orang yang memakai jilbab. Syukurlah. Sebelumnya, perlu saya tegaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini bukan memuat tentang suatu apapun, melainkan kegelisahan saya melihat kontradiksi yang ada di kehidupan. 

Kembali ke pembahasan di atas. Seiring berkembangnya zaman, taraf hidup masyarakat pun semakin menanjak. Maksudnya, cara manusia untuk memenuhi kebutuhannya hidup semakin membaik. Memang begitulah seharusnya. Bukankah dalam hadis pun disebutkan bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin?. Sebagai contoh, lihat saja kepedulian manusia tentang pentingnnya gizi dan kesehatan semakin meningkat pesat. Sumber daya manusia pun demikian. Terlebih dalam bidang pendidikan, orang tua manapun akan selalu miris dan menangis kalau tidak bisa menyekolahkan anaknya. Mereka akan berjuang mati-matian untuk dapat memasukkan anak kesayangannya ke sekolah dengan cara apapun. 

Pesatnya perkembangan zaman ini pun diimbangi dengan minat dan pandangan manusia untuk dilihat sama atau bahkan lebih dari yang lain. Kompetisi dan iri dalam hal ini memainkan kuasanya. Salah satunya adalah gaya berpakaian, jilbab khususnya. Dahulu, jilbab lebih banyak digunakan untuk menandakan bahwa seseorang religius, santriwati kebnyakan. Pandangan ini didasarkan pada kaidah dalam ajaran agama Islam yang mengatakan bahwa seorang wanita harus sepandai mungkin menutup aurat. Batas aurat yang dimaksudkan adalah dari atas bawah, dari ujung rambut sampai kaki. Bagi pihak yang ekstrem, mereka akan menutup seluruh bagian tubuh terkecuali mata dan telapak tangan. Untuk di Indonesia hal ini masih jarang, lantaran mobilitas gerak wanitanya yang masih tinggi. 

Tak dapat disangkal, kini jilbab lebih mewabah. Terlebih beberapa wanita Top di Layar Kaca memakai jilbab yang akhirnya menjadi trend setter akhir-akhir ini. Lebih ke fungsi atau bentuk? Pertanyaan ini yang sering muncul dan menjumpai pikiran saya yang sangat kecil ini. 

Terkait dengan pertanyaan itu, pernah suatu kali saya berbincang-bincang dengan seorang kawan yang lebih melek agama. Beliau bilang "Kopyah seperti halnya jilbab sebenarnya tidak wajib dipakai". Sedikit demi sedikit kuresapi perkataan beliau. Ada benarnya, apa sih tujuan utama dari pemakaian jilbab dan kopyah itu? Untuk menutup aurat dan melindungi diri dari berbagai macam hal yang tidak diinginkan. Kalimat ini saja, kalau direnungkan akan memiliki kekuatan yang sangat besar.
 
Bandingkan dengan era saat ini. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman semua bisa jadi melenceng. Memang dengan balutan jilbab yang digunakan, seorang wanita itu terlihat lebih anggun. Nah, tersiernya sudah dapat, lantas bagaimana primernya??

Marilah pembaca yang budiman, mari kita berpikir dengan arif bijaksana akan pertanyaan ini.
Selengkapnya.. - Jilbab atau Baju?

Rabu, 19 Desember 2012

Lepas dari Belenggu

"Penasaran itu mengasyikan".

Mungkin kata di atas banyak dijumpai teman-teman pembaca dalam kehidupan. Cinta itu misteri, karena itulah cinta itu menarik. Pun masih senada dengan misteri itu ada satu kata lagi yang sering digunakan para filosof hidup itu misteri, karena misteri itulah kita hidup. 

Sungguh. Entah berapa lama rasa penasaran ini muncul terhadap seorang sosok bernama Tan Malaka. Selepas wisuda kira-kira Mei akhir, sebelum kembali ke kampung halaman sengaja kucari buku berjudul Dari Penjara ke Penjara  karya Tan MalakaSialnya, setelah ngubleki toko buku di Jogja, tak jua didapat. Perkataan "Habis, Mas" dan Nggak ada, Mas" seolah menjadi kata mujarab dari sang pedagang buatku yang kebingungan kala itu.
Tak patah semangat, ngublek lagi. Namun, tetap saja mantra itu  yang keluar dari sang konglomerat buku sebagaimana mantra dari sang dukun yang dikeluarkan untuk mengobati pasiennya. Maka dari itu, tak jarang dukun itu dianggap sebagai bumbu tahayul yang istimewa. Barangkali saya sama dengan banyak pasien yang berkujung ke dukun X itu, kala itu. Pasien yang pulang diberi air putih untuk diminum. Dan hasinya,byarrr....sama saja! Dalam pengembaraanku itu, kupilih untuk istirahat sejenak guna mengeliminasi rasa capek yang muncul tiba-tiba bagai macan si dukun (konon). Akhirnya dengan saran sang teman yang cukup masuk akal, kuambil karya Tan Malaka yang lain yitu "Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika)".  

Madilog merupakan buku yang menggariskan cerminan manipol Tan Malaka. Dari pandangan berfilsafat, bernegara, dan berpandangan politik, ada di sini. Sayangnya, bahasa yang digunakan lebih kaku dan abstrak. Dengan susah payah, buku dengan jumlah halaman tak kurang dari 568 eksemplar ini selesai juga. Buku yang sangat membutuhkan banyak keringat untuk membaca. 

Pada hari itu,  Sabtu (10 November 2012) aku diminta Ibu untuk menemaninya ke Jogja. Cocok, Bro!! Benar-benar Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu seperti kata Leo Tolstoy. Di tengah perjalanan, hapeku bergetar ternyata sms dari sang teman. Sang teman di Gang Kantil 16 C memberi tahu bahwa ada Pameran Buku di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama. Plassss, bagai air menyiram tanah gersang. AIr yang sangat diharapkan sang tanah muncul di saat yang tepat. Rencana dadakan menyitaku untuk berpikir lebih jauh. Akhirnya kuputuskan untuk singgah semalam di Jogja, (Ibu pulang hari itu juga). Sampai Jogja, kurang lebih pukul 19.00. Tanpa makan terlebih dahulu, bersama seorang kawan yang baik hati bisa juga saya blusukan ke Pameran. 
Perhatianku tertuju pada satu titik fokus. Tak di sangka DPkP nya Tan Malaka berbaris rapi satu per satu tanpa aba-aba dan tanpa lencang kanan. Wah, tangan kanan refleks langusng meraihnya. Tak menunggu waktu lama, SIKATTT!! 

Satu buku idaman sudah oke dilanjutkan putar-putar lagi, bingung mau cari buku apa. Sebenarnya, banyak juga yang menarik, hingga akhirnya ada satu buku yang menyita pandangan mataku. Buku berujudul Stalin Muda karya Simon Sebag Montefiore terpampang rapi menungguku dengan lambaian tanyannya. Kuraih, lalu kubaca-baca sekilas cover belakangnya. Widih, ternyata buku ini sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa dan termasuk best seller. SIKAT lagi. 
Putar-putar lagi, lhoh tak disangka dompet pun tak terasa menipis. Hingga diputuskan untuk pulang saja. 

Kembali ke DPkP. Karya Tan Malaka yang satu ini memang amazing. Bahasa yang digunakan dalam DPkP sangat asyik, berbeda jauh dengan bahasa yang digunakan dalam Madilog. Bahasa sehari-hari tanpa kekakuan penguasa berbalut dengan humor membuat DPkP lebih hidup. Bagiku sendiri, memang Madilog dan DPkP harus berbeda. Madilog merupakan pandangan manipol Tan Malaka, jadi bahasa yang digunakan terkesan kaku. Bisa jadi, hal ini lebih dikarenakan lebih mementingkan tujuan yang hendak dicapai. Adapun memang seharusnya lebih asyik karena DPkP hampir mirip berupa catatan harian Tan Malaka ketika menjadi pelarian politik. Catatan harian memang harus sesuai dengan sifatnya, terbuka, jujur, dan apa adanya. 

Dua hari yang lalu, Dari Penjara ke Penjara dengan 559 eksemplar halaman ini habis sudah kulalap. 
Satu kata yang dapat kuucap: Hebat benar ini orang! Buat kawan-kawan yang suka dengan biografi, sejarah, maupun politik, saya sarankan untuk membaca DPkP. Tak akan rugi. Merujuk dengan apa yang dikatakan Tan Malaka, logika seyogyanya pembaca gunakan untuk memahami isi buku. Pasalnya, kata yang digunakan dalam DPkP masih bercampur baur dengan kata berbahasa Indonesia di era sebelum kemerdekaan dan setelahnya. Bahasa dan kata yang tidak baku banyak bermunculan, misalnya kata dan lebih sering dipakai, padahal yang dimaksudkan adalah dari. 
Gunakan logika semaksimal mungkin dan selamat menikmati...
Selengkapnya.. - Lepas dari Belenggu

Minggu, 16 Desember 2012

Tantangan atau bahaya?

Perlahan namun pasti kucoba untuk memulai menapaki kehidupan. Sunyi, sepi. Begitulah adanya. Mengapa benci dengan kesunyian? Banyak orang yang mencoba mengusir kesunyian dengan berbagai cara. Dari memainkan musik, mencoba mencari relasi untuk sekadar ngobrol mengisi waktu luang, ada pula yang mengusirnya dengan berbagai kegiatan yang lain, misal olahraga, termasuk nongkrong di depan komputer dengan menyambungkan jaringan internet. Begitulah, seolah-olah manusia takut dengan kesepian. Bukankah, kelak kita juga akan kembali ke dunia kesepian? Tanpa teman, tanpa saudara, juga tanpa musik. 

Kembali kucoba blusukan ke alam ide. Terbentang paradigma yang sangat kontradiktif. Paradigma ini adalah, perbandingan antara desa (rural) dan kota (urban). Entah bagimana pekembangan zaman mulai melahap jiwa-jiwa kesederhanaan manusia, desa khususnya. Masih teringat jelas dalam benakku ketika diminta untuk memberi sambutan dalam acara pengajian di Lokasi KKN. Bingung juga, tema apa yang akan kuhadirkan? Maklumlah, aku lebih suka di belakang layar. Pun, aku tak suka terkenal. Nah, kuhadirkan saja Perlunya Filterisasi Internet. Simpel, tapi sangat penting. Dengan adonan keringat dingin dengan berbagai macam genderang dag-dig-dug, majulah  aku di depan hadirin. Hingga pada penutupan kuutarakan untuk berhati-hati dalam menggunakan internet, perlu sebuah alat yang dinamakan filter atau penyaring. Orang tua harus bisa membimbing anak-anaknya untuk menghadapi er globalisasi. Kututup sambutan dengan hamdalah dan berjuta -juta tawa, karena rasa grogi berpengaruh kepada bahasa plethoten yang kugunakan. 

Kembali ke permasalahan Desa yang tadi. Desa yang dahulu kita anggap brankas nilai-nilai murni bangsa Indonesia kian hari kian tergerus kerikil tajam. Lihat saja, pola hidup masayarakat desa kini berubah menjadi konsumtif. Mereka lebih bangga belanja di Mall daripada di warung atau di pasar. Tak hanya itu, pola konsumtif ini berdampak pada terkurasnya dompet untuk menyamakan atau menyejajarkan kedudukan mereka di masyarakat. Contoh kecil, mereka berlomba-lomba untuk mengenakan T-Shirt bermerk walaupun KW. Gaya hidup pun berubah sedikit demi sedikit. Masyarakat yang dijuluki santun menjelma menjadi makhluk asing. Lihat saja, dari gaya fashion pemudinya. Lebih suka dengan busana yang agak terbuka. Sekali menggunakan busana yang demikian, maka tak sedikit pemuda-pemuda yang mengantri untuk datang ke rumahnya atau bahkan memboncengkannya. Senada tapi tak sama, anak-anak pun lebih suka mengubur permainan petak umpet, jamuran, atau engklek, mereka lebih tertarik dengan Om Super Mario, Paman Perjuangan Semut, atau bahkan, Tekken yang kesemuanya berada dalam Nintendo, Sega, Play Station, bahkan komputer via internet.

Kalau pembaca punya pikiran yang sama, seharusnya kita telisik lebih dalam  faktor apa yang menjadi api yang menjadikan asap dalam dilematika ini? 
Media, tentu saja. Akses media yang begitu jor-joran semakin menakutkan. Pernahkah terpikir dalam benak pembaca berapa jamkah manusia (mereka) menghabiskan waktunya di depan layar televisi? Tontonan apa saja yang mereka lihat dan berpengaruh dalam perkembangan mindsetnya? Tak pelak lagi, obrolan tentang artis A, B, dan sinetron C meramaikan suasana. Persis bagai koran baru yang menyodorkan berita terhangat. Bukan, ini bukan salah masyarakat desa, melainkan salah kita bersama. Mungkin saja,negara kita belum siap untuk bersaing dengan negara-negara maju. Mungkin juga, negara kita adalah negara penikmat paling besar di dunia (bukan negara penghasil). Ataukah undang-undang yang ada hanya dijadikan rujukan dan alasan untuk membenar/menyalahkan masalah? Entahlah! Yang pasti, negara kita kalau belum mampu mereformasi hal-hal yang demikian akan berujung pada kehancuran.

Negara dengan berbagai pemikir dan barisan kaum aristokrat tentu punya beberapa trik dan jurus andalan untuk menghadapi semuanya. Semoga tak hanya retorika dan terori. Bagi kita sendiri, era globalisasi yang demikian hebat tak bisa diacuhkan begitu saja. Perlunya sebuah solusi untuk menjawab pertanyaan yang mungkin ringat tapi menakutkan ini. Barangkali, tema  pengajian di atas tadi memang tidak ada salahnya diterapkan. Filterisasi Perkembangan Zaman itu harus. Tentu kita tidak mau negeri kita makin hancur tergerus, dan masyarakat desa hanya dijadikan "Museum" prasejarah rujukan mahasiswa akhir untuk dijadikan bahan penelitian yang sangat teoretis. 

Bagaimana caranya? 
  1. Jangan terlalu takjub dan tergiur dengan hal-hal baru, bersikaplah biasa saja 
  2. jangan bergantung pada satu hal, kebergantungan ini akan menyebabkan kita mengubur diri kita sendiri
  3. Sikapi dengan cara yang arif dan bjikasana setiap permasalahan yang ada. Caranya, pertimbangkanlah manfaat dan mudharatnya. Ke depan, ke belakang, juga ke lingkungan sekitar 
  4. Belajarlah dari sedikit demi sedikit, ilmu itu tak harus datang dengan seabreg dan secepat kilat 
Mungkin pembaca yang budiman punya berbagai cara ampuh untuk dishare? Saya nantikan usulannya..
Selengkapnya.. - Tantangan atau bahaya?

Selasa, 20 November 2012

Palsu!

Pelan dan santai. Mungkin itulah yang kulakukan sekarang. Caraku untuk menjalani hidup yang tak kutahu sampai kapan. Dunia, ya dunia ini penuh dengan ketidakpastian dan kepalsuan. Masih nyata terlintas dalam benakku ketika ada program kampus di lokasi KKN. Seperti halnya institusi-institusi yang lain, gembar-gembor sana-sini. Slogan yang menjadi manifestasi pencitraan dan pengiklanan. Tapi, pernahkah kita tahu yang sebenarnya terjadi? 

"Program ini baik, bahkan kita menerima kunjungan dari Gorontalo untuk studi banding," kata Beliau berkoar-koar. 

Keadaan yang ada di lapangan sangat berbeda. Ketika kami, saya dan rombongan main ke rumah salah satu warga mereka bilang "Dulu kami pontang-panting Mas, sampai berhari-hari tidak tidur. Hanya untuk kunjungan itu," ujar si Ibu Dukuh. 

Oh, begini rupanya. Aku baru tahu. Pun dengan hal-hal lain. Berkaca pada sejarah masa silam. Dengan begitu gampangnya masyarakat dibodohi dengan suguhan informasi yang keliru (tidak sesuai fakta). Perlahan-lahan aku semakin mantap berpandangan: Biar bagaimanapun bentuknya aku lebih suka kalau itu asli dan jujur, bukan rekayasa. 

Sudah banyak kepalsuan di dunia ini, jangan ditambah lagi!
Selengkapnya.. - Palsu!

Minggu, 18 November 2012

Manusiakah?

Masih terbayang jelas dalam kepala kita masing-masing tentang rubuhnya menara kembar WTC. Juga masih tertulis jelas dalam tinta sejarah tentang pengganyangan besar-besaran tentara Nazi terhadap orang-orang Yahudi. Sejenak saya berpikir, hanya dengan pemikiran sempit seseorang berani berbuat nekad. Bahkan, menaklukkan satu rezim dan menguasai negara. 

Kutarik memoriku, kutancapkan pada bangsa ini. Bangsa Indonesia. Empat puluh enam tahun yang lalu, terjadi pula pengganyangan besar-besaran. Pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh satu oknum terhadap rakyat sipil. Masih saja tak percaya hanya karena isu dan adu domba, rakyat akhirnya saling serang dan saling bunuh. Kala itu agama yang dikira paling mustajab untuk bernaung, tak ada artinya lagi. Fitnah dan ambisi lebih berkuasa dari apapun juga. 

Tepatnya setelah Peristiwa G 30 S (kurang lebih setelah 30 atau 1 Oktober 1965) rakyat Indonesia dirundung duka. Pasalnya, berasal dari organ partai yang berseteru, dilanjut dengan pembiusan satu dua oknum meletuslah clash di masyarakat. Beradasarkan sumber yang telah kupelajari, peristiwa yang kemudian bermuara pada satu oknum bernama Soeharto yang ternyata pandai memainkan peran menyebabkan lebih dari tiga juta rakyat Indonesia melepaskan hembusan napasnya. 

Terakhir, sumber yang kudapat dari seorang teman menceritakan bagaimana bengis dan kejamnya seorang manusia terhadap manusia lainnya (lihat majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012). Majalah yang menyajikan liputan khusus tentang Para Algojo tahun 1965-1966 itu dengan gamblang menyajikan kronologi pembantaian manusia Indonesia yang disangkutkan pada partai terlarang. Tikam, tusuk, tebas,  pukul semua cara yang dilakukan Algojo waktu itu diceritakan dengan jelas sekali. Bahkan, tak sedikit oknum dari agama yang ikut melaksanakan aksi genosida tersebut. Saya bukanlah eksponen dari parti terlarang itu, tapi bagi saya sendiri peristiwa itu adalah dehumanisasi besar-besaran. 

Bagaimana rakyat bisa tenang kalau stiap detik rasa was-was mendatang sanubari? setiap menit ketakutan akan kematian hinggap dan mucul menyeruak? Sayangnya, semua adalah bagian dari sejarah kelam yang tak akan bisa dilupakan. Belajarlah dari sejarah, karena sejarah akan selalu berulang Histoire se repete.....
Selengkapnya.. - Manusiakah?

Kamis, 15 November 2012

Sebutir Titik Nadir

Malam merambat berkuasa dengan segala keteduhannya. Mungkin itu pula yang membuat rembulan di atas sana manggut-manggut. Dingin dan sunyi. Hanya suara-suara alam yang ters berkumandang menyanyikan himne favoritnya.

 "No Body Knows The Trouble I See, No Body Knows My Sorrow,"kata Soe Hok Gie dalam catatan hariannya. Benar juga. Tak ada yang tahu apa yang aku alami, juga tak ada yang tahu penderitaanku. Sayangnya, udara malam ini tak meneduhkanku sama sekali.

Sepi yang meradang. Aku kecewa, kawan. Rasa kecewaku sudah pada titik nadir. Jika ada sesuatu yang menurutmu kamu sukai, tapi itu dihina dan tidak dihargai, apa yang akan kamu lakukan? 

Percayalah tidak ada suatu hasil yang bisa diperoleh tanpa adanya pejuangan. Sepahit apapun, kalau hasil itu diperoleh dengan perjuangan pasti akan lebih nikmat. Apapun hasilnya, terimalah karena itu merupakan buah dari proses perjuangan yang sangat panjang. Seorang pejuang tak akan mudah takluk pada suatu rintangan, ancaman, apalagi kata orang? 

Tunjukkan pada dunia seberapa besar usahamu untuk melangkah, bukan seberapa jauh kakimu melangkah. Percayalah bahwa kamu mampu untuk bergerak dan berubah! Buat sesuatu yang berarti sebelum mati! 

Selengkapnya.. - Sebutir Titik Nadir

Kamis, 08 November 2012

Pagi itu Masih Basah

Pagi itu masih basah. Kudaki panser kunoku dengan kecepatan standar. Kukejar waktu yang jelas takkan pernah berpihak kepada siapapun, termasuk kepadaku. Setelah mengikuti acara pengeluaran keringat, segera kurapatkan barisan di base camp favorit. Sesampai di sana. Kulihat beberapa orang sedang termangu. Ada yang sibuk dengan handphone, ada yang sibuk dengan pena dan buku, juga ada yang sibuk menghitung perputaran arah jam. Begitulah kondisi di Base Camp.

Mereka adalah teman-teman atau lebih tepatnya rekan seperjuanganku. Masih berbalut dengan ratusan keringat yang menucur deras, kuambil sebotol air putih dan keluar. Duduk di atas Panser kuno buatan tahun 1996 produksi kota yang pernah menderita karena Perang Dunia II, Jepang. Kunamai panserku ini Yamaha Alfred. Saat itulah seorang rekan seperjuangan datang menemuiku. Rekan yang juga berkeringat setelah memeras badannya di bawah terik mentari. Ia bernama U. Kami lebih akrab memanggilnya Pak U.
Posisi kami berhadapan seolah kandidat presiden yang beradu janji. Angin mengibaskan aroma tanah basah. Maklum, semalam hujan. Seorang santriwati lewat. “Ihirrrr,” goda santriwan yang kebetulan duduk tak jauh dari tempat kami berada. Sontak, panadangan mata kami tertuju pada dua gambar tokoh yang lucu. Kami pun tersenyum melihat tingkat manusia itu. Hingga akhirnya ungkapan provokatif Pak U mendiskreditkanku dalam berbabagi posisi. Si rekan ini menggodaku, perjodohan yang sama sekali tak lucu.

Perbincangan pun dimulai. Dimulai dengan background history  hidup Pak U, hingga kisahnya mendapatkan istrinya. Kali ini aku lebih banyak diam. Hal ini disebabkan posisiku, yang ibarat petinju aku masih berada dalam kelas amatir sedangkan Pak U duduk dalam kelas Professional.
“Itu lho, Pak. Thik masak nggak ada?” kata Pak U.
“Wah, nggak, Pak. Saya belum berpikir ke situ,” jawabku.
Dengan gaya khasnya, Pak U mencibirku.
“Alah, njenengan ini,” ujar Pak U.
“Saya kadang merasa minder, Pak. Bagaimana kalau misalnya orang tua si calon merendahkan Saya. Orang tua manapun tentu ingin agar anaknya hidup lebih baik kan, Pak?” tanyaku pada Pak U
“Iya, Pak. Njenengan benar. Tapi mungkin beda ceritanya, kalau si cewek melek agama. Dia pasti akan berpikir, masih ada Yang Maha Kaya. Cewek yang melek agama akan lebih bisa menghargai hidup dan menerima,” jawab Pak U.
Aku lebih cenderung diam, karena aku tahu kapasitasku.
“Dalam agama pun diajarkan seperti itu, Pak. Kalau bisa carilah yang di bawah kita. Maksudnya, biar dia bisa menghargai kita apa adanya,” ucap Pak U sambil mengipaskan kertas. Mengalirkan angin ke seluruh tubuhnya.
Angin yang begitu banyak tentu saja tidak dapat dengan mudah dialirkan ke tubuh Pak U. Ia akan tetap bebas bergerak kemanapun ia mau. Hingga akhirnya angin itu menyertku pada satu permasalahan baru.
“O, iya, Pak kemarin saya mendapat kabar untuk memasukkan lamaran ke SMA tempat sekolahku dulu. Tapi saya nggak mau, enggak tahu kenapa saya optimis dengan sekolah ini,” kataku.
Sambil mengibaskan kertas di tangan, Sang Rekan berkeluh “Iya, Pak. Kita di sini sebagai perintis. Dengar-dengar kalau sekolah ini maju, Pak Ketua Yayasan juga ingin menjadikan kita sebagai pengelola. Kita yang mbabat alas, katanya mau dijadikan pengelola kelak,” jawab Pak U turun dari tempatnya. Kami berdiri, lalu masuk ke Base Camp.   

Tak kusangka, waktu berlalu begitu cepat. Setelah mengisi perut di base camp seadanya. Kami pun rapat koordinasi. Tausiah dari Ketua Yayasan masih terukir jelas dalam ingatanku. Begini kata beliau:
“Pak, kita ini perintis. Kita pejuang. Kita yang pertama dan yang mencari jalan. Mereka yang masuk di tahun kedua hanya nemu. Kita tahu semua yang ada di sini masih dalam keadaan terbatas. Mungkin Pak U yang sudah tahu kondisi rumah saya bagaimana. Kondisi meja makan saya bagaimana. Itu ruang sebelah, itu kamar saya Pak U. Begitulah Pak, seorang pejuang akan lebih mendahulukan mereka daripada dirinya sendiri. Kita sudah mengambil langkah, Pak. Tinggal bagaimana kita maju ke depan.”
Aku rasa hari itu adalah hari PMK yang sangat jitu. Pendidikan Moral dan Kepribadian yang aku belum pernah kujumpai dimanapun. Terima kasih, kawan. Semangat kalian berkobar dan menyala di sanubariku.  



Selengkapnya.. - Pagi itu Masih Basah

Jumat, 02 November 2012

Warna-Warni Teman Kecil

Dulu, aku pernah berjanji dan sebagai manusia yang takut, aku ingin menepati janjiku dulu. Janji yang kubuat padamu kawan blogku tentang foto Mading.

 Ini dia foto yang telah kumaksudkan untuk kupajang. Pernah ngga terpikirkan kalau MADING ini terbuat dari pintu rumah beserta grendelnya? 

Ya, beginilah jadinya. Tak tahu darimana ide itu muncul di otakku. Begitu melihat selembar pintu tak terpakai "Ah, ini saja Pak," kataku kepada Kepala Sekolah yang menemaniku. Nyatanya, Kepala Sekolah pun meragukanku "Beneran bisa, ini Pak? Aku ikut kamu lho, awas kalau nggak jadi," Kepala Sekolah sangsi. "Tenang saja, Pak. BEress"
Semula cuma lembaran pintu saja, kemudian bersama Kepala Sekolah kubungkus dengan karpet hijau tak terpakai. Nah, itu saja. Kata Kepala Sekolah "sudah selesai, Pak". Kujawab, "belum Pak, sedikit lagi." Kugergaji kayu sisa-sisa ventilasi. Kubuat untuk bingkai. Sesudah dipaku, kutempelkan lakban hitam. "Nah, sekarang sudah jadi, Pak." 

Manis bukan? Ketika jam istirahat, anak-anak keluar. Baru kali itu mungkin mereka melihat mading yang aneh. Papan mading sudah terselesaikan. Sekarang tinggal ornamennya. Karya teman-teman kecil akhirnya satu per satu masuk. Gambar, puisi, cerpen, kata-kata mutiara, pantun semua ada. Tapi memang karena masih dalam proses awal, tentu masih banyak kekurangan. 


Kami juga mengadakan rapat rutin untuk mengevaluasi hasil kinerja kami. Rapat ini juga merupakan ajang untuk berkeluh kesah, menyampaikan ide-ide yang tersimpan. Terbukti baru mading yang mengadakan rapat dan dengar pendapat mereka. Wah, banyak juga ide-ide gila teman-teman. 
Banyak kekurangan sudah pasti. Tapi dari situlah kami belajar. 
Kami belajar untuk terus berkarya dan berkarya. Urusan hasil? ah itu urusan belakang. Ide mereka hebat-hebat. Sayang, kemarin-kemarin belum tersentuh. 
Harapanku, semoga wadah ini dapat dijadikan tempat untuk berbagi dan berkreasi. 

Oiya, jujur saja, dari Mading ini juga muncul ide lagi yaitu ide untuk membentuk kelompok sastra mini. Maksudnya, daripada acara G`&dapan lebih baik mempersiapkan sejak dini. Sekaligus untuk menunjukkan kepada teman-teman kecil bahwa yang aku ajarkan tidak hanya Lonthong Dikethok-kethok alias Omong thok. Alhamdulilah dukungan dari teman-teman dan juga ketua yayasan sudah terkantongi. Tinggal masalah waktu dan aksi...





Selengkapnya.. - Warna-Warni Teman Kecil

Selasa, 30 Oktober 2012

Epidemi



Aku terhenyak sejenak. Kubiarkan pikiranku berkelana ke panorama mozaik yang masih kacau. Hingga akhirnya bermuara pada lembah kebisuan. Sesampai di lembah itu, tak bisa apa-apa. Hanya terdiam dan termangu. Bayangkan, bagaimana kalau negeri ini terserang virus Sampar. Masih adakah kemunafikan dan kesombongan? 

Sampar adalah virus menular yang menyerang makhluk hidup. Sampar merupakan penyakit epidemi 
yang sangat ganas. Dalam hitungan hari, bahkan menit sekalipun banyak nyawa yang mampu ditawan dan tidak dikembalikan lagi. Bagaimanakah bila virus ini menyerang negara kita?
"Seharusnya kita tidak boleh menyerah kepada ketakutan," kata Camus. Benar juga tapi yang namanya rasa takut pasti hadir di hati manusia. Tergantung bagaimana kita menyikapi dan menghadapinya. Mati tanpa tujuan atau mati karena tujuan...
Selengkapnya.. - Epidemi

Senin, 29 Oktober 2012

Jejak Kaki

Jejakkan langkahmu walau ke ujung dunia sekali pun, 

Hari demi hari kucoba menghayati apa yang menjadi kegundahan hati. Begitukah kata hati manusia? Selalu bicara tanpa dasar, tapi mengandung sebuah firasat kebenaran. Kita pun tak mampu mengelaknya 

Sama dengan ibadah haji. Berjuta orang datang ke Arab untuk menunaikan ibadah haji. Ketika ada info tentang haji, biasa saja. Itu karena aku belum paham teknisnya. Perlahan-lahan baru  kutahu ternyata menunaikan ibadah haji itu tidak mudah. Harus antri, menghapalkan doa ini itu. Lari ke sini, lari ke situ. Berat juga perjuangan mereka di sana. Bahkan, ada yang sampai meregang nyawa. Tapi mereka bangga, karena katanya telah meninggal di tempat favorit yang tiada lain adalah Mekkah. 

Pengetahuan yang tiada akan terkira. Beruntung sekali, di tempatku berjuang sekarang banyak hal yang  akhirnya kudapatkan. Pelajaran hidup, kawan. Aku mengetahui mekanisme miniatur tata cara ibadah haji ketika latihan manasik bersama kawan-kawan kecil. 
Alhasil, bermandi keringat. Berhujan panas, tapi sedikit banyak punya gambaran bagaimana haji itu. 
Dari lari-lari kecil. Menengadahkan tangan. Baca doa. Melemparkan batu jumroh. Yang lebih menakjubkan adalah teman-teman kecil Mereka sangat hebat. Ekspresi muda yang penuh semangat. 

Aku kira hari itu, hari yang sangat berat. Berangkat dari rumah pukul 06.00 tanpa sarapan. Lalu, mengikuti acara Simakan Tengah Semester (STS) sekaligus rapat pembentukan Komite Sekolah, tanpa istirahat lanjut lagi ke acara manasik haji. Setelah itu, langsung tancap menuju Masjid Agung untuk salat Asar, tancap kemudi lagi dilanjut ke Klentheng untuk mengikuti latihan karate. 


Sayang, di sana yang ikut cuma sedikit padahal sudah kusempatkan sedemikian rupa. Itu pun ditambah lagi dengan semangatnya yang menipis. Aku nggak terima dengan ini. Sudah kuusahakan masa begini saja. Kuteriak sekencang-kencangnya biar semangat tumbuh. Sayangnya, tetap saja melempem. 

Mungkin karena tenaga yang terlalu kuforsir ini yang menyebabkan aku sering istirahat ketika latihan. Tak tahu kenapa, biasanya setiap kali latihan bersama teman-teman di rumah kuat-kuat saja. Lha ini kok loyo. Apakah aku yang kecapekan, ataukah karena nuansa semangat di Blora menipis? Aku pun tak tahu. Yang pasti selagi masih ada kesempatan untuk latihan dan berolahraga hajar terus.. sama halnya dengan ilmu. Selagi ada kesempatan untuk belajar, akan kugenjot terus. Belajar sama-sama, berkarya sama-sama, kerja sama-sama...
Selengkapnya.. - Jejak Kaki

Minggu, 28 Oktober 2012

Qodar dan Qodir

Setelah sekian lama berkecimpung dengan dunia pendidikan. Kutahu sedikit demi sedikit karakter teman-teman kecilku. Tapi banyak yang tak kutahu tentang diri mereka yang sebenarnya. Dari sekian banyak teman kecilku ada satu teman bernama Faiz Burhanuddin. Hapalan Al Qurannya bagus, paling jauh dibanding teman-temannya (yang aku simak). Walaupun tidur menjadi hobi kesukaannya, (pasalnya pernah kujumpai dia menghapalkan sambil tertidur, anehnya bacaannya benar) tak disangka dia mampu menhasilkan karya yang fenomenal. Bagimanakah karyanya?berikut ini buah pikirannya dengan sedikit gubahan dariku. 

Pada suatu hari ada seorang anak yang bernama Qodar. Dia sedang berjalan-jalan di Jalan Raya. Ketika sedang asyik menik mati perjalalannya, ia bertemu dengan seorang anak bernama Qodir. Qodir ini tidak lain dan tidak bukan adalah pengemis. Qodar kasihan melihatnya. Ia akhirnya membawa Qodir pulang ke rumah. Karena rasa sayangnya kepada pengemis itu, akhirnya Qodir diangkat menjadi saudara.  
Tiap sore hari menjelang magrib mereka selalu berjalan-jalan di sekeliling kompleks rumahnya. Tak sengaja, mereka bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik yang bernama Siska. Perkenalan dengan Siska pun tak bisa dihindarkan. Hingga berjalannya waktu, dalam hati mereka tumbuh bunga-bunga asmara yang selalu dipendam rapat di dasar sanubarinya.  
Pada suatu hari, tak disangka mereka akhirnya menyatakan isi hatinya kepada Siska. Pertengkaran menyelimuti diri Qodar dan Qodir. Napas permusuhan mengalir dalam rongga hidung dan tubuhnya. Hingga akhirnya saat mereka pergi berdua, muncul ambisi dalam diri Qodar untuk menghabisi nyawa si Qodir. Tidak berbeda dengan Qodar, Qodir pun menyimpan hasrat yang sama terhadap orang yang telah menolongnya. Ia pun ingin menghabisi nyawa Qodar. 
Peristiwa saling bunuh di antara saudara pun terjadi. Qodar tewas seketika setelah menerima pukulan kencang yang diarahkan kepadanya secara bertubi-tubi. Dengan rasa puas setelah berhasil membunuh, Qodir kemudian pulang dengan langkah tertatih-tatih. Di tengah jalan ia tertabrak mobil dari arah belakang. Setelah agak lama terdiam, akhirnya ia pun menghembuskan napas untuk terakhir kalinya. Mobil yang menabrak Qodir melaju sangat kencang. Qodir akhirnya tewas di pinggir jalan tanpa pertolongan. Jasadnya dibiarkan begitu saja. Tidak ada yang mau menguburkan. Jasad Qodir kemudian membusuk dengan ditumbuhi belatung dimana-mana. Warga masyarakat membiarkannya begitu saja. 
Selang beberapa hari, Bapak dan Ibu mereka mencari anaknya. Tak disangka mereka menemukan kedua anaknya sudah tak bernyawa. mayat kedua orang yang dulu bersahabat ini pun kemudian dimakamkan di pemakaman Islam. 



Selengkapnya.. - Qodar dan Qodir

Dilematika dan Problematika

Seiring dengan munculnya kekuatan besar, muncul pula tanggung jawab besar yang mengikutinya
Kata-kata ini mungkin pas untuk mewakili kejadian tempo hari.
Waktu itu, aku diminta untuk membantu panitia pembagian daging kurban di Masjid. Harus bawa pisau. Oke, Siap, tancap. Sampai di Masjid, ketemu dengan panitia. Semua lokasi berpintu rapat. Satu orang panitia menyuruhku untuk mengisi daftar hadir. Sial, keformalan yang membuatku mulai malas karena mengandung paksaan yang mengikat. Diwajibkan pakai co-card segala. Ini kan acara untuk warga. Kok seperti ini? Warga lain pun dilarang mendekat, terkecuali panitia atau pemakai co-card. Acara Pembantaian daging selesai, langsung kubagikan di warga RT bersama adik. Usai membagikan daging, otomatis harus kemabli ke Masjid untuk sekadar laporan. 

Sekembali di Masjid. Banyak warga yang datang. Tentu berharap untuk dapat sekadar daging ya paling nggak satu bungkus. Ada satu yang membuatku muak. Ada panitia yang bilang "Gini ini kalau SDM rendah". Usut punya usut dia adalah donatur utama masjid. Aku sudah tahu orangnya, kata orang memang begitu itu wataknya. Ah sama sekali tak ada simpati dengan orang seperti ini. Tak hanya itu, petugas keamanan masjid juga mempersilakan warga sekitar untuk masuk. Tapi sikap semena-mena dan ketus dia bilang "Mau minta daging? Sana bilang, Pak minta, Pak..." sontak, hatiku sedih melihatnya. Terang saja, warga yang diberitahu seperti itu nurut. Yah, tentu demi perut. Dalam hati aku terpukul. Bagaimana mungkin, dalam agama ada himbauan "Janganlah meminta-minta, meminta-minta adalah pekerjaan yang paling hina." Lha ini, kok malah seperti ini? Orang yang dipandang melek agama, malah menjerumuskan orang lain. Seperti lagu lama. Aku keluar. Duduk di luar lokasi penyembelihan hewan, melihat saja dari sana. Diam termangu. Aku tak mau sepeti ini. 
Selengkapnya.. - Dilematika dan Problematika

Minggu, 07 Oktober 2012

Siapakah Si Ratu Lebah itu?

Dia sering dijuluki Queen Bee. Jika dibahasaIndonesiakan mungkin menjadi Si Ratu Lebah. Maaf saya tidak begitu mahir berbahasa Inggris. Dia adalah Bimala. Wanita India yang menjadi salah satu tokoh penting wanita dalam novel berjudul sama Bimala karya Rabindranath Tagore. Seorang wanita yang selalu ingin berjuang untuk bangsa dan tanah airnya. Figur wanita yang beranjak dari keluarga sederhana dan kemudian menikah dengan seorang raja. 
Semula, ia masih kolot. Memakai sepatu saja tidak bisa. Hingga akhirnya ia mendapat pelajaran dan pengarahan dari sang suami yang begitu mencintainya. Tidak cantik memang, tapi dari paras wajahnya menyorotkan keteduhan dengan sirip berbagai macam warna. Mendengar kata perjuangan dari Sandip (teman suaminya), Bimala laangsung menggebu-gebu. Ia pun  harus bertentangan dengan pandangan suaminya. Konsep Swadeshi yang diperjuangkan Sandip, Bimala, dan seluruh rakyat India kurang disetujui sang suami. Pakai produk hasil dari negeri sendiri, tak perlu menggunakan produk dari negara lain. itlah konsep Swadeshi yang kemudian dilanjutkan oleh Mahatma Gandhi.
Perjuangan ini kerap menemukan kendala. Bimala pun sering turun tangan untuk membantu perjuangan. Ia turun dan membantu baik dari segi materi, hingga rayuan gombal pohon kelapa kepada suaminya. Perlu perjuangan ekstra karena sang suami seorang idealis. Punya keyakinan penuh yang tak mudah digoyahkan. Nikhil namanya. Ia lebih berpandangan meluas. Filsafat, dan mempertahankan keseimbangan. 
Sosok Bimala dalam novel sangat hidup, benar-benar wanita yang wanita. Mungkin bangsa kita perlu figur-figur seperti ini. Sarinah (Ir. Soekarno), Ibunda dalam Ibunda (Maxim Gorki), Pandhita Ramabai, hingga R. A. Kartini. Kalau saja figur-figur seperti ini dapat dijadikan contoh tentu negara kita akan memiliki wanita-wanita yang kuat. Begitulah. Tapi bagaimana kalau misalnya di depan kata Si Ratu Lebah ditambahi imbuhan Mbak Kanjeng. Waw, lumayan bagus. Walaupun masih berbau feodal dan etnosentris, setidaknya akan membuat wanita tersebut bijaksana. Selain itu, dia kelak dapat dijadikan panutan bagi wanita-wanita yang lain. Sebentar, bukan masalah feodal dan kebangsawannya yang kita lihat, tapi jiwa besar dari nama itu. Lalu, siapakah Mbak Kanjeng Ratu Lebah itu? Dia adalah seorang wanita yang pandai, muslimah, baik hati, suka menolong, cantik, dan yang pasti membuatmu ternganga perasaannya lebih peka daripada kulitnya. Siapakah dia? Cari dan temukan sendiri, Kawan. Biar ada seni dan tantangannya. Jika kelak kau akan menemukan orangnya, pesanku satu. Jangan kau sebut nama itu di depannya. Kenapa? Pertanyaan yang bagus. Karena, jika ia mendengar nama itu kau sebut, raut mukanya yang cantik berseri akan langsung berubah jengkel memendam senyum, Kawan. 
Selengkapnya.. - Siapakah Si Ratu Lebah itu?

Kamis, 04 Oktober 2012

Paranoidkah?

Apakah yang harus kita punyai, agar kita bebas dari ketakutan? (Jules Romains) 

Kutipan ini selalu berkutat dalam poros kepalaku. Bagaimana tidak, yang namanya manusia tak bisa lepas dari yang namanya rasa takut. Kok bisa? Sama, aku juga belum paham benar tentang hakikat manusia. Sebentar perasaan itu kita tampik, akan muncul lagi. Terus muncul seolah wewe gombel yang tak bosan mengintai anak-anak (konon). Terus terang saja, pikiranku seringkali dihantui bayang-bayang kematian. Bahkan pernah tiga hari berturut-turut aku bermimpi melihat diriku sendiri dimakamkan. Sontak bangun dengan keringat bercucuran. Gemetar. Langsung saja lari ambil air wudu, tahajud. Disadari atau tidak, bayang-bayang itu terus datang. Apalagi kalau lagi PB (Pikiran Banter) pasti dijamin terbawa sampai mau tidur. Ditambah lagi pengalaman ketika melihat orang sakaratul maut (naza'), Ya Allah sakit benar. Kala itu, aku tak mau lama-lama melihat. Kupilih untuk sebentar-sebentar menunduk, membaca Surat Yasin. Sungguh kasihan. Untuk melepaskan jiwa ternyata tidak mudah. Tapi aku yakin akan satu hal: tak ada jiwa yang mati. Hanya tubuh yang mati, jiwa tidak. Ia akan terus hidup sampai waktunya tiba. 

Muncul pertanyaan kalau manusia ingat tentang kematian, bagaimanakah ia akan bersikap? Masihkah terus menumpuk harta? Masihkah menjejali dirinya dengan berbagai merk-merk tak penting? Atau  akan sibukkah mereka dengan berbagai kegiatan keagamaan? 

Hidup ternyata penuh dengan sekat-sekat, kawan. Bayangkan, setiap predikat punya nama sendiri-sendiri. Dari Bos, sampai tukang, mengerikan. Sebisa mungkin aku tak mau kutempeli diriku dengan merk dan predikat ini. Simpel. Kumulai dengan kaos. Jujur, aku lebih bangga dengan kaos desain buatan orang. Tanpa merk. Lebih suka kaos polos atau kaos bergambar tokoh. Memang belum semua tapi setidaknya sudah berusaha. Daripada mereka yang berkoar-koar tentang bahaya kapitalisme, liberalisme,  tetapi mereka lebih suka menempeli diri mereka dengan merk-merk asing.
Selengkapnya.. - Paranoidkah?

Menemukan Cinta Kita Kembali


Ketika pagi muncul menghapus tinta hitam di angkasa, kubuka mataku. Cakrawala yang begitu indah. Aku masih ingat dengan satu waktu yang sangat kucintai "fajar hari". Saat dimana Mentari muncul membagunkan berjuta-juta mata kepala. Sungguh pergantian waktu yang tak perlu distel, tak seperti arloji maupun alarm. 
Kuhadapkan hatiku kepada Sang Khalik. Berdoa, menengadah, dan bersyukur atas nikmat yang diberikan. Menjelang siang, kopi panas, koran on line sudah tersedia. Bergegas meluncur ke kamar mandi. Bercermin. Tak juga ngganteng, ah persetan. Kutancapkan headset di telinga. Kuputar mars pagi hari. Teriakan Boomerang Bebas Hambatan menderu-deru. Liriknya sangat aduhai: 
Bebas Hambatan (Boomerang) 
gelap awan saat kumenatapbertekad bulat untuk berangkat. biar orang-orang berkata tahan emosi. berpacu dengan waktukupastikan arah dan tujuanberbelok dan gelombang kulalui semua orang pegang kemudi pasang musik ku ikut bernyanyi. asap debu seolah menari mengiringi. berderu dengan kencang. lewati gerbang perbatasan. lelah dan kepenatan. ku tak peduli aku datang menuju kota impian. mencuri jalan bebas hambatan 


Tak lama, siang datang berkuasa.  Menampar pipi manusia-manusia. Aku pun sadar akan dahsyatnya kekuatan cinta (The Power of Love). Maka dari itu, ingin sekali kusebarkan cinta kepada semua. Tapi apalah cintaku ini? Aku tahu cintaku kepada Tuhan, manusia, dan alam semesta takkan berarti apa-apa. Sejurus teringat kepada impian mencari pasangan. Ah. Sial, mana mungkin ada yang mau denganku. Lelaki dengan segala keterbatasan. Biarlah aku tetap mencintai Tuhan dan alam, walau bagi mereka itu semua nihil. Untuk menghibur diri, kuselaraskan sendunya siang dengan lagu cinta. Hymne mentari berganti dengan nada sendu slow. Satu lagu yang membuatku terpesona. Find our Love Again dari Power Slave:  

Find our Love Again (Power Slave) 
I wish and never let you goI’ 
ll take you home but the time seem sadness 
I know it’s the dark park of the town 
Nothing to say..when everything is gone

I know it’s hard to be somebody  
Sometimes when I’m walking down the rain to find our love again..!!

Last things I rememberI was walkin’ in the rain 
Tryin’ to find the other sight.  
I know it’s more than just a right

Baby there’s a million dreams 
The more will come the other night  
Some saye it remember  
Some makes me forget…!

When the love is gone And you’re miles away  
The night won’t tell me what happened today. It’s more than just…balls ‘n’ chainI feel like…I’m insane

When the days turn dark. And the sun won’t shine. Find in hard when you give me the line. Now it seems that we’re living in sin.  
Oh baby….to find our love again

Tell me now how to face the truthTell me how you bring me the line 
Now you saying that you bring me lineIn the night when we’re spending our timeI remember I was waiting like a fool. When you tell me that love was loaded gun..!

Sometimes..sometimes I remember 
Don’t walk away…don’t walk away from me….I couldn’t found… I couldn’t found the way……..! 
Selengkapnya.. - Menemukan Cinta Kita Kembali

Rabu, 03 Oktober 2012

Kobaran Mading Teman Kecil

Mungkin hari ini adalah hari yang spesial buat teman-teman kecil. Setelah sebelumnya kami berdemokrasi mini, kini saatnya mereka mengutarakan isi hatinya. Maksudnya?
Teman kecilku ini baru saja berseragam putih biru, kawan. Mereka baru saja menanggalkan baju setelan putih merah kebanggaannya dulu. Kembali ke cerita di atas. 
Beberapa hari yang lalu, kucurahkan ideku untuk membuat mading. Dahsyat. Tanggapan mereka sangat hebat. Sebelum bercerita panjang lebar mengenai mading, perlu kalian ketahui dulu sekolah tempat kami belajar. 

Sekolah kami baru saja berdiri. Tahun ini kami mendapat dua kelas. Tiga puluh satu putra dan dua puluh delapan putri. Kelas dibagi menjadi dua. Kelas putri VIIA dan kelas putra VIB. Oiya, kawan sekolah kami juga bersistem Boarding School. Artinya apa, aku pun kurang tahu. Yang kutahu, sekolah kami ini di bawah naungan Pondok Pesantren. teman-teman kecil setelah sekolah reguler kembali ke pondok. Melanjutkan kegiatan mengikuti sistem pondok pesantren. Di sinilah sekat antara putra dan putri harus dijaga, menurut sistem di sekolahku lho. 
Karena masih baru, kami masih harus banyak belajar. Dari sistem administrasi, pengajaran, pembangunan, semuanya deh. Tapi jangan salah, sekolah kami diisi oleh insan-insan yang benar-benar hebat. Setiap hari, kami diwajibkan salat duha, setelah itu dilanjutkan hapalan Al Quran. Di sini aku diminta untuk membantu menyimak. Wah, hapal saja nggak. Kata teman-teman guru yang lain, nggak apa-apa, nyimaknya sambil baca. Mereka juga bilang kalau bacaan Al Quranku bagus. Ini pasti ulah guru-guru, pasti ini. 
Kembali ke mading. Semula masih ragu mau mengusulkan ide ini. Kenapa? Ya, karena lembaga pendidikan ini masih baru, tentu banyak biaya yang dikeluarkan. Putar otak. Plan A. Rencananya gajiku mau kulemparkan ke papan white board, lakban, dan sebagainya. Apalah arti uang dibanding senyuman mereka. Hingga akhirnya sampailah pasa saat yang berbahagia, dan dengan mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia... Hari itu, dengan segala risiko yang mungkin kuterima, usul kusampaikan dalam rapat. Hasilnya? Kurang mendapat perhatian. Ah, sial. Padahal, sudah kupikirkan jauh ke depan. Mading inilah satu-satunya cara untuk berkarya dan menghibur diril. 
Seperti geledek yang datang tiba-tiba, hal yang mengejutkan datang. Kepala Sekolah memberikan tanggapan yang lumayan. Bahan mading? Pusing juga. Aku dan Kepala Sekolah pun mencari-cari papan triplek di bekas runtuhan bangunan rumah. Mungkin saja ada. Ternyata Nihil. Entah apa yang menarik mataku. Refleks kuambil bekas pintu. Masih jadi satu dengan engselnya. Ah ini saja. Sedikit modifikasi dengan barang tidak terpakai. Ditambah bingkai dari kayu ventilasi yang dibalut lakban hitam. Jadi juga. Jujur, manggut-manggut aku tersenyum bangga. Percaya nggak percaya mading kami 0 rupiah. Tampilannya juga manissss.... 
Papan mading sudah ada. Ornamen sudah dibuat. Tinggal karya teman-teman belum masuk. Kuadakan pemilu kecil-kecilan dengan sedikit orasi calon kandidat. MTerpilihlah Pemimpin Umum (PU), Editor, Lay Outer, sekretaris, bendahara, dan anggota. Kepengurusan sudah jadi Masing-masing kepengurusan berlaku untuk satu kelas. Jadi jumlah keseluruhan pengurus ada dua. Putra dan putri. Menarik. Ini hari, naskah sudah terkumpul di kelas putra. Setelah sebelumnya kelas putri menerbitkan karyanya. Sedikit kesalahan, tak apa. Bagian dari proses belajar. Naskah sudah ada. Jadi mau nggak mau harus ada rapat pengurus. Untuk pertama kalinya. Dengan memanfaatkan waktu yang sama sekali tidak efektif. Kami rapat. Mungkin teman-teman belum pernah ikut dalam suatu perapatan. Terbukti dari cara mereka yang agak kaget, kaku, bingung. Akhirnya dengan sedikit penjelasan: rapat mading, oke! Minat mereka hebat. Ide-ide cemerlang muncul. Setelah rapat dibubarkan. Kubakar semangat merka dengan sedikit hentakan Hacurkan! (untuk mengganti kata lakukan yang bagiku terlalu memerintah seolah penguasa saja). Mereka beranjak. Masing-masing pengurus langsung menjalankan tugas sesuai Job Des. Jadinya seperti apa? Tinggal kita lihat besok. Buatku, hasil itu nomor sekian. Proses itulah yang lebih utama dari yang kesekian tadi. Terus semangat teman kecilku. Dengan segala keterbatasan kalian akan menjelajahi dunia tanpa batas. (Sebenarnya ada foto mading, saya lupa mengcopy. Maklum hape jadul kameranya ngeden. Insya Allah besok-besok saya bawakan gambar yang difoto dengan kamera digital).
Selengkapnya.. - Kobaran Mading Teman Kecil

Senin, 01 Oktober 2012

Berguru kepada Masyarakat Samin (Jilid 4)

Agak lama menanti cerita ya. Maaf. Dengan bantuan dari seorang kawan, tampilan ini sekarang jadi tidak membosankan. Sudah nggak kaku kayak tembok pemerintah lagi bukan? Saya ucapkan terima kasih buat Mbak Kanjeng Ratu Lebah atas bantuannya ngubah tampilan (demi mematuhi kode etik jurnalistik, saya tulis nama walau agak takut kena damprat. Maklum izin tertulis perihal nama ini belum ada. Alias belum dilegitimasi oleh yang bersangkutan. Akan tetapi, aku yakin dia akan selalu tersenyum jengkel tiap dipanggil dengan nama ini, biarlah). Lanjut lagi. Sampai dimana kita? Oiya, Sampailah kami ke rumah salah seorang Samin tersebut. Sebelum masuk lebih jauh. 

Tahukah kau kawan, siapakah masyarkat Samin itu?? Banyak yang menjawab tapi dari katanya, kata orang atau kata siapapun.
Banyak buku referensi yang membedah siapakah sosok samin itu sendiri. Salah satunya ini saya punya buku tentang Samin. Judulnya Masyarakat Samin, Siapakah Mereka? karangan R. P. A. Soerjanto Sastroadmojo terbitan Narasi, Yogyakarta (2003). Kalau mau cari teori tentang masyarakat Samin, coba cari di buku-buku referensi atau googling saja. Tapi kalau mau tahu dari pengalaman saya. Nah, mari kita berbagi. 
Waktu itu, kutanyakan pada beliau (salah satu penganut faham Samin) "Asmane sinten? (namanya siapa?) ," tanyaku. Dijawab "lanang (laki-laki)". Lhoh? kaget juga mendengarnya.   Unik bukan?
Tapi memang begitulah. Bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Samin agak berbeda dengan bahasa Jawa kebanyakan. ujung-ujungnya, Sial. Bapak yang satu ini termasuk dalam salah satu jajaran The Cold Man. Dingin. Tertutup. Tak banyak omong. Wah, mesti pandai-pandai cari pertanyaan nih. Lebih sial lagi, kawan-kawan KPM sering bertanya menggunakan bahasa Indonesia. Terang saja Beliaunya bingung. Ini karena bahasa ibu lebih sering digunakan daripada bahasa nasional. Nah, kawan-kawan LPM  lebih bingung lagi. Gimana tidak? mereka tidak terbiasa dengan bahasa Jawa dengan tataran kasta di dalamnya. Dalam hal ini, aku yang sering terjun, Kawan. Dengan bahasa Jawa Kromo Inggil sangat terbatas kutengahi mereka. Barulah kusadari bahwa bahasa Jawa penting juga. Makanya jangan sampai  deh bahasa daerah tergerus zaman. 
Bermusuhkan lawan tutur yang demikian, kami hening. Kaku. Stagnan. Kehabisan bahan. Kami pun saling pandang. Seolah tahu maksud masaing-masing, kami menganggukkan kepala.
Walau tak banyak informasi yang kami peroleh, kami putuskan untuk berpamitan. Ada hal yang sangat mencengangkan. Ketika kami pulang, sengaja kami berikan bungkusan kecil berisi mie instan. Mie yang semula menjadi logistik tapi tak jadi dimasak. Habisnya, kalah enak sama makanan pemberian Pak Lurah. 
Si Bapak bilang "Wah nopo niki? Mboten usah (Wah apa ini? enggak usah)," kata si Bapak. Dengan cepat kami katakan "Niki kangge Bapak, ngapuntene mboten kathah (ini buat Bapak, Maaf nggak banyak)", sahut kami. "Sekedhap-sekedhap njenengan tiliki rumiyin. Menawi wonten artane, kula mboten saget nampi (Sebentar-sebentar, kalian lihat dulu, kalau ada uangnya di dalam Saya nggak bisa menerima)." Setelah dipastikan bahwa di dalamnya tidak ada uang, barulah Si Bapak mau menerima sambil mengucap terima kasih. 
Pelajaran hidup pertama.  Masyarakat Samin tidak suka diberi uang. Mereka akan lebih bangga dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Dengan info yang masih minim, kami putuskan untuk melanjutkan petualangan ke Desa yang agak jauh. Kata Pak Lurah, di desa tersebut masyarakat Samin masih banyak. 
Bersiap dengan sejuta asa, kendaraan kami pacu lagi. Setelah sebelumnya berpamitan kepada orang-orang baik hati. Rombongan berangkat. 
Sampailah kami ke suatu desa yang aku agak lupa namanya. Kami langsung menuju Kantor Kelurahan. Lebih mudah nggak seperti di desa sebelumnya. Ini karena kami dibantu Pak Lurah. Sebelumnya, beliau menelepon ke pihak Kelurahan dan memberitahu perihal kedatangan kami. Kami disambut dengan ramah oleh Bapak Kamituwo. Agak lama kami menunggu.Tiba-tiba disodorinya kami sebuah buku tentang kehidupan masyarakat Samin. Tenang, buku ini tak luput dari jepretan kamera. Ini nih, lihat di bawah ya..
(Maaf, lupa. Foto cover bukunya kemakan virus...)
Dari Kantor kelurahan, kami menuju rumah Bapak Kamituwo. Di sana, banyak kami dibekali data dan cerita yang hebat. Baik dari daerah penyebaran masyarakat Samin, nama-nama masyarakat samin, sampai ke data keluarga Samin. Ah banyak sekali. 
Berngkatlah kami ke rumah penduduk Samin. Dengan didampingi Pak Kamituwo kami meluncur ke rumah tetua oleh masyarakat Samin setempat yang ternyata masih kerabat dengan Pak Kamituwo. Baru sampai di pintu rumah, sambutan hangat langsung kami terima. 
Dipersilakannya kami masuk dan duduk. Semua keluarga yang ada di rumah langsung berhambur keluar. Menyalami kami, sambil mengenalkan diri ("Kula asmi pengaran"...bukan nami kula). Sama halnya dnegan merekakami pun mengenalkan diri. Satu per satu kami sebutkan nama dan tempat asal. 

Simak baik-baik kawan, di sinilah banyak pelajaran hidup disampaikan. 
Kami penasaran dengan cerita-cerita yang sebelumnya kami terima dari Pak Cus, Pak Lurah, dan Bapaknya Pak Lurah. 

Kami tanyakan apa yang menjadi kegundahgulanaan kami. "Samin itu sebenarnya seperti apa sih, Pak?" tanya jawab akhirnya dimulai dengan menggunakan bahasa Jawa Kromo. "Samin itu, yaa. Sama kayak kalian. Kalian manusia, kami juga manusia. Kalian makan, kami juga makan. Sama. Kami sama seperti kalian, enggak ada bedanya," mulai pusing pertama.  
"Bapak di rumah bekerja?" satu per satu pertanyaan menghujan. Sambil menggigit suguhan hidangan yang mantap. "Iya, kami bertani. Nih baru saja pulang dari sawah." Obrolan panjang menusuk-nusuk. Baru kali itu kuketahui ada orang yang punya pandangan hidup sederhana. Jujur dan apa adanya. Obrolan masih berlanjut. 
Bayangkan, Mereka tak akan membeli segala sesuatu kalau belum mampu. Kredit? No! ! Persaudaraan mereka kuat, kawan. Untuk membeli traktor, masing-masing keluarga beli sendiri. Ini nih lihat jawaban yang singkat. Sederhana, tapi mengena "Kalau kami punya uang, ya dibeli. Tapi kalau tidak punya, ya nggak usah beli." Keluarga yang belum mempunyai traktor biasanya meminjam. Paling-paling ngisi bensin traktor. Bayar sewa?? enggak ada. Waduh.... Makin mantap nih Bosss... Mereka juga tidak mau mengambil barang, uang atau apa saja yang mereka temui di jalan. Alasannya "Lha itu kan bukan punya kita, kenapa diambil?" Kami tanyakan tentang pendidikan "Anak-anak nggak sekolah, Pak?" tanya kami. "Sekolah Mbak, tapi cuma sampai SD," jawab beliau. "Lhoh kok gitu?" "Iya, anak-anak kami biarlah sekolah sampai SD saja. Kami nggak mau anak kami menjadi pintar, takut akhirnya memintari orang," jawab beliau. Dahsyat Bro...

"Kalau agama Bapak?" pertanyaan yang agak sensitif. "Agama kami? Agama kami ADAM," Mas. Busett... Agama Adam, agama yang bagaimana tuh? Kata Si Bapak "Adam itu ya, saatnya makan, ya makan. Waktunya kerja, ya kerja. Waktunya tidur, ya tidur," jawab si Bapak sambil menyuruh kami menyantap hidangan di meja. Teh anget. Pisang. Semangka. Semua ada di meja.

"Kalau tentang iri, dengki, ngrasani orang?" beruntun pertanyaan kami hamburkan. "Ya, itu semua nggak boleh. Itu pantangan buat kami," kerennn... Dicatat ya, pelajaran hidup yang mahal harganya. "Oiya, Pak. Di sini kan sudah ada TV, bagaimana tanggap Bapak tentang perceraian? Kan banyak tuh kasus-kasus artis yang cerai.." "Oh itu, iya. Lha wong istri kita sendiri yang milih kok dicerai?" sambil tertawa. Paras wajahnya selalu meneduhkan. 
Satu lagi, sewaktu terjadi kebakaran minyak Pertamina di daerah Menden mereka tidak mau diberi kompensasi. Kok bisa bagaimana ceritanya? Jadi begini, pernah suatu kali pangkalan minyak Pertamina di sana tebakar. Dalam radius 5 atau beberapa meter sangat terasa dampaknya. Getaran seperti gempa bumi. Nah, masyarakat sekitar diberi kompensasi ganti rugi. Tapi, oleh masyarakat Samin, kompensasi itu deikembalikan. Kok bisa? Alasannya "Mereka saudara kami. Mereka lagi kesusahan kok malah memberi uang untuk saya?" Mantap nggak tuh. Selain itu, ada bantuan kopensasi kompor gas juga dikembalikan. Wah, apalagi BLT??

Banyak informasi yang sangat sudah kami kantongi, akhirnya kami minta diri untuk berpamitan. Ketika mau beranjak. Kami ditahan. Diajak makan bersama, kawan. Kata Pak Cus, Pak Lurah, juga Pak Kamituwo, ini adalah tradisi di masyarakat Samin. Busettt... Nasi, sayur bayam, sambal ekstra mantap, telur dadar tumpah ruah di meja. Dengan muka malu mau, sikat juga. Semua makan, tanpa ada kecuali. Bapak-bapak, Ibu-ibu, anak-anak, Pak Kamituwo, juga kami. Setelah itu kami berfoto untuk sekadar kenang-kenangan. Coba lihat di bawah yaa... Foto ini diambil di rumah beliau. Rumah sederhana tapi sangat luas dan besar. 
Llihat deh mereka. Sangat bersahaja. Jujur. Polos. Tapi siapa sangka, mereka punya prinsip dan pandangan hidup yang begitu hebat. Konon dari masyarakat Samin ini pula gagasan Mahatma Gandhi muncul. Singkat cerita menurut Pak Cus, pada masa kolonial, Samin Surosentiko (founding father masyarakat Samin) dibuang ke Sumatera. dengan alasan memberontak. Mereka melakukan pemberontakan dengan sewaktu disuruh membayar upeti berupa pajak tanah. Mereka (Samin Surosentiko Cs.) tidak mau. Alasannya "Ini kan tanah leluhur kami, tanah milik kakek kami kenapa disuruh bayar?"
Selain itu, satu hal yang mesti kalian catat besar-besar di block note atau buku harian kalian, Masyarakat Samin tidak suka dipanggil dengan sebutan SUKU. Benar, karena mereka bukan hidup dalam persukuan. Mereka akan lebih suka dipanggil dengan nama Sedulur Sikep. Wayang adalah kesenian favoritnya. Dan jangan salah, ternyata mereka juga tidak memiliki baju-baju khusus atau sebagainya. Mereka benar-benar seperti kita. Jika ada yang berkata bahwa masyarakat Samin adalah masyarakat marjinal yang bodoh, ketinggalan zaman, kolot, dan sebagainya. Itu hanyalah ungkapan isapan jempol. 

Pulangnya dari pencarian informasi ada satu lokasi sejarah yang terungkap. lihat di bawah ya...

Tugu dan monumen ini sangat bersejarah lho. Kalau kalian lewat Jalan Blora-Randhublatung, mampirlah sebentar. Lihat dan heningkan cipta sejenak. Di sinilah ditemukan jenazah pahlawan Agil Kusumadyo pada waktu G 30 S/ Gestok.  Sebagai penghargaan atas jasanya, selain didirikan monumen ini, nama beliau juga dijadikan sebagai nama salah satu jalan di Blora.



Sekian Pelajaran hidup dari Sedulur Samin. Kalau ada kesempatan, ingin rasanya untuk main ke sana lagi. Terima kasih, Kawan sudah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan ini. Oiya, saran dan kritiknya akan selalu saya nantikan....
Selengkapnya.. - Berguru kepada Masyarakat Samin (Jilid 4)

Sabtu, 29 September 2012

Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 3)

Kalau istirahatnya sudah cukup, Markitlan. Mari kita lanjutkan. Berpacu lagi dalam alunan suara alam dan riuhan pohon-pohon jati yang berjajar kokoh. Memandang kami dengan pandang keraguan. Apakah ini yang selalu dilakukan oleh mereka yang lebih besar dari kita? Tapi sayangnya, kami bukannya keder melihat gugusan pohon jati yang membentang. Kami malah asyik mengamati keadaan sekitar. Benar-benar Blora banget. Sampailah kami ke rumah Bapak Kepala Desa Menden. Waktu itu sudah senja, Kawan. Gerimis juga. Suara azan magrib bersahut-sahutan membuat kami was-was. Block note dengan muka lusuh kami keluarkan. Tanpa aba-aba, diskusi dan obrolan segera berlangsung dan kami mulai sibuk dengan catatan-catatan. Ada juga yang sibuk mencari posisi yang pas untuk memotret. Benar-benar mirip wartawan yang belum jadi. Jujur saja, obrolan kami masih tak tentu arah. Penyebabnya adalah rasa capek yang terus mendera dibalut dengan kekhawatiran yang masih berdiri kokoh. Kekhawatiran ini boleh jadi merupakan suatu manifestasi dari pertanyaan kami. Pertanyaan yang selalu muncul menghantui. Kalau kegelisahan ini boleh diibaratkan, mirip dengan wartawan yang sedang dikejar-kejar deadline. Pertanyaan bak setan itu adalah "Dimana kita akan bermalam?" Sementara hari sudah gelap. Untunglah, Bapak Kepala Desa ini menangkap kekhawatiran kami. Beliau bertanya memecah kegundahan "Nanti mau tidur dimana, Dek?" tanya beliau. Plasss... Pertanyaan yang sangat susah dijawab. Merinding. Malu. Kami saling pandang, menandakan kebingungan dari goncangan hati terdalam. Hati yang dengan kekuatan ajaibnya menyalurkan berbagai tanda di muka kami. "Emmm...Rencana awalnya sih kami mau menginap di Pom Bensin, Pak. Tapi kok?" ujarku dengan bahasa Jawa kromo inggil. Kikuk. Bagai suara Zeus yang memecah keheningan rapat dewa-dewa dalam mitologi Yunani, Pak Lurah berkata "Begini saja, kalian tidur di rumah saya. Rumah saya ada dua. Kalian tidur saja di rumah saya yang satunya itu. Tapi rumahnya belum jadi, bagaimana? Ya keadaanya masih kotor seperti itu," kata Bapak Lurah. Begitulah, Kawan kulihat muka teman-teman langsung berubah menyatu dalam satu tanda kebahagiaan. Benar-benar mirip muka wanita yang ingin dilamar pujaan hatinya. Yesss!! cocok banget cah... Berangkatlah kami ke rumah itu. Satu hal yang saya acungi jempol. Bapak Lurah ini benar-benar baik. Sudah diberi tumpangan menginap, diberinya pula kami makanan. Wah jadi nggak enak sendiri. Berkat itu pula, mie instan perbelakalan kami masih utuh. 
 (Pak Lurah di Tengah, yang nomor dua dari kanan  adalah bapak kandungnya)
Paginya kami masih berbincang dengan dengan Pak Lurah beserta keluarga. Oiya, ini lah Pak Lurah yang baik hati itu. Jangan salah. Beliau dulu juga kuliah di Bojonegoro (Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia) dan pernah hidup susah sebagai mahasiswa. Kata Bapak kandung beliau, dulu sewaktu mahasiswa malah beliau sering ngamen untuk biaya kuliah dan biaya makan. Jadi  tahu apa yang kita alami. Selain itu, menjabat sebagai Kepala Desa, beliau juga berprofesi sebagai dalang lho. Keren bukan? Katanya sih belajar otodidak. Wuh mantap sekali Bapak yanag satu ini. Berangkatlah kami ke rumah Sedulur Samin yang ternyata masih ada ikatan saudara dengan Pak Lurah. Kami diantar oleh Bapak kandung Pak Lurah. Sekarang mulai deh pelajaran kehidupan yang sesungguhnya. Pelajaran yang tidak hanya teori, tapi juga praktik dan sudah dibuktikan terlebih dahulu dalam kehidupannya. Biar oke,bagaimana kalau kita buat empat episode? Nah yang episode terakhir ada di bawahnya. Kukupas habis deh buat kalian. Tapi tenang, agar tidak bosan ada dokumentasinya kok jadi kami tidak bohong. Ini dia Sedulur Samin yang juga masih ada ikatan saudara  dengan Pak Lurah. Santai dan sendu bukan??

jujur saja, tentang namanya saya lupa, Kawan. Tapi kalau mau, mungkin nanti akan saya coba buka catatan harian saya. 
Selengkapnya.. - Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 3)

Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 2)

Selengkapnya.. - Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 2)

Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 1)

Malam segera tiba. Sinar laser orange jingga menyerbu bahana menandakan kudetanya kepada sang sore. Angin bergulung-gulung menyapu segala yang ada di hadapannya. Inilah angin di musim kemarau. Menampar semua tanpa terkecuali. Sampah, daun, semua dilibas menjadi satu dalam adonan mixer alam yang berani. Aku yang terpaku medadak kaget karena dinginnya yang tak terkirakan. Kutarik jaketku. Kubungkus kepalaku. Dengan pandang yang tak berubah kubidikkan busur panah mata ini ke bulan. Bermenung mencari-cari tentang makna dan tanda dari kehidupan. 
Memang inilah angin di musim kemarau yang ganas. Dia datang kepadaku. Mengajakku bercengkerama.  Menguras otak dan logikaku. Kemudian membawa diriku kepada suatu hari yang di sanalah aku belajar tentang kehidupan. Pelajaran kehidupan tanpa pernah ada ulangan harian. Tanpa paksaan, tanpa perintah, dan tanpa celaan. Dalam pelajaran ini pena hitam tidak pernah menunjukkan mukanya. Justru tinta merahlah yang terus menyeruak. Menandai pesan-pesan penting dalam dalam setiap tuturan dan materi. Tentang hidup dan kehidupan yang bahkan kita sendiri tak tahu sampai kapan. Ingatank ini meyeretku untuk meloncat bebas dan kemudian duduk kembali di altar kenangan berjuta paket kejutan. Paket kejutan yang bagaimanakah?
Paket kejutan yang merupakan bonus indah dalam hidupku. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa berkunjung dan berjumpa dengan masyarakat Samin. Sudikah kiranya kawan-kawan mendengar ceritaku? Oh iya, siaapakah masyarakat Samin itu? Untuk mengetahui definisi masyarakat Samin ini biarlah kalian yang menentukan. Bagaimanakah mereka pilihlah logika yang baik dari ceritaku ini, Kawan. 
Oke, aku akan mulai bercerita tentang satu hal yang belum pernah kujumpai selama hidupku. Ambil dan rekamlah kalau sekiranya itu menarik. 
Once upon a time. Pada suatu hari. Wonten dateng salah satunggalipun dinten di tahun 2011 (harinya saya lupa. Maksuda hati mau membuka catatan harian untuk melihat hari dan tanggal, tapi cataan harianku tak ada daftar isinya. Jadi malas juga). Ketika itu, hape mungilku menjerit karena dikagetkan oleh kekuatan  besar yang sangat mendadak. Kawan Mustakim di Jogja mengirim sms yang isinya "Ayo ke Samin, nanti sekalian mampir ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Kamu yang jadi tour guidenya?" Sontak aku kaget, kok mendadak sekali. Berpikir sebentar, kubalas pesan singkat itu "Boleh. Kapan, siapa saja?" balasku. Tak lama berselang hape jadul mungilku bergetar, kubuka "Sama anak-anak LPM Pendapa. Sekalian buat ngisi majalah," jawabnya. Kupencet hape itu lagi "Oke, sms kalo udah sampai di Blora ya?". "Siapp," balas Mustakim....(Bersambung dulu. Tim favorit Arsenal sedang bertanding, jadi harus jeda untuk memberi dukungan). Sabar yaa....
Selengkapnya.. - Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 1)