Kamis, 08 November 2012

Pagi itu Masih Basah

Pagi itu masih basah. Kudaki panser kunoku dengan kecepatan standar. Kukejar waktu yang jelas takkan pernah berpihak kepada siapapun, termasuk kepadaku. Setelah mengikuti acara pengeluaran keringat, segera kurapatkan barisan di base camp favorit. Sesampai di sana. Kulihat beberapa orang sedang termangu. Ada yang sibuk dengan handphone, ada yang sibuk dengan pena dan buku, juga ada yang sibuk menghitung perputaran arah jam. Begitulah kondisi di Base Camp.

Mereka adalah teman-teman atau lebih tepatnya rekan seperjuanganku. Masih berbalut dengan ratusan keringat yang menucur deras, kuambil sebotol air putih dan keluar. Duduk di atas Panser kuno buatan tahun 1996 produksi kota yang pernah menderita karena Perang Dunia II, Jepang. Kunamai panserku ini Yamaha Alfred. Saat itulah seorang rekan seperjuangan datang menemuiku. Rekan yang juga berkeringat setelah memeras badannya di bawah terik mentari. Ia bernama U. Kami lebih akrab memanggilnya Pak U.
Posisi kami berhadapan seolah kandidat presiden yang beradu janji. Angin mengibaskan aroma tanah basah. Maklum, semalam hujan. Seorang santriwati lewat. “Ihirrrr,” goda santriwan yang kebetulan duduk tak jauh dari tempat kami berada. Sontak, panadangan mata kami tertuju pada dua gambar tokoh yang lucu. Kami pun tersenyum melihat tingkat manusia itu. Hingga akhirnya ungkapan provokatif Pak U mendiskreditkanku dalam berbabagi posisi. Si rekan ini menggodaku, perjodohan yang sama sekali tak lucu.

Perbincangan pun dimulai. Dimulai dengan background history  hidup Pak U, hingga kisahnya mendapatkan istrinya. Kali ini aku lebih banyak diam. Hal ini disebabkan posisiku, yang ibarat petinju aku masih berada dalam kelas amatir sedangkan Pak U duduk dalam kelas Professional.
“Itu lho, Pak. Thik masak nggak ada?” kata Pak U.
“Wah, nggak, Pak. Saya belum berpikir ke situ,” jawabku.
Dengan gaya khasnya, Pak U mencibirku.
“Alah, njenengan ini,” ujar Pak U.
“Saya kadang merasa minder, Pak. Bagaimana kalau misalnya orang tua si calon merendahkan Saya. Orang tua manapun tentu ingin agar anaknya hidup lebih baik kan, Pak?” tanyaku pada Pak U
“Iya, Pak. Njenengan benar. Tapi mungkin beda ceritanya, kalau si cewek melek agama. Dia pasti akan berpikir, masih ada Yang Maha Kaya. Cewek yang melek agama akan lebih bisa menghargai hidup dan menerima,” jawab Pak U.
Aku lebih cenderung diam, karena aku tahu kapasitasku.
“Dalam agama pun diajarkan seperti itu, Pak. Kalau bisa carilah yang di bawah kita. Maksudnya, biar dia bisa menghargai kita apa adanya,” ucap Pak U sambil mengipaskan kertas. Mengalirkan angin ke seluruh tubuhnya.
Angin yang begitu banyak tentu saja tidak dapat dengan mudah dialirkan ke tubuh Pak U. Ia akan tetap bebas bergerak kemanapun ia mau. Hingga akhirnya angin itu menyertku pada satu permasalahan baru.
“O, iya, Pak kemarin saya mendapat kabar untuk memasukkan lamaran ke SMA tempat sekolahku dulu. Tapi saya nggak mau, enggak tahu kenapa saya optimis dengan sekolah ini,” kataku.
Sambil mengibaskan kertas di tangan, Sang Rekan berkeluh “Iya, Pak. Kita di sini sebagai perintis. Dengar-dengar kalau sekolah ini maju, Pak Ketua Yayasan juga ingin menjadikan kita sebagai pengelola. Kita yang mbabat alas, katanya mau dijadikan pengelola kelak,” jawab Pak U turun dari tempatnya. Kami berdiri, lalu masuk ke Base Camp.   

Tak kusangka, waktu berlalu begitu cepat. Setelah mengisi perut di base camp seadanya. Kami pun rapat koordinasi. Tausiah dari Ketua Yayasan masih terukir jelas dalam ingatanku. Begini kata beliau:
“Pak, kita ini perintis. Kita pejuang. Kita yang pertama dan yang mencari jalan. Mereka yang masuk di tahun kedua hanya nemu. Kita tahu semua yang ada di sini masih dalam keadaan terbatas. Mungkin Pak U yang sudah tahu kondisi rumah saya bagaimana. Kondisi meja makan saya bagaimana. Itu ruang sebelah, itu kamar saya Pak U. Begitulah Pak, seorang pejuang akan lebih mendahulukan mereka daripada dirinya sendiri. Kita sudah mengambil langkah, Pak. Tinggal bagaimana kita maju ke depan.”
Aku rasa hari itu adalah hari PMK yang sangat jitu. Pendidikan Moral dan Kepribadian yang aku belum pernah kujumpai dimanapun. Terima kasih, kawan. Semangat kalian berkobar dan menyala di sanubariku.  



1 komentar:

Who am I ?? mengatakan...

Subhanallah.. Luar biasa pak guru kura-kura kecil. Trima kasih cerita dari kisah pengalaman pribadinya yaa. Benar memang, agama nomor satu!! Apapun itu cari yang melek agama, insyaallah selamat, aminnnnnn :)


Menurut saya lhoo, cuma ngutip kata "melek"nya, heehe*

Posting Komentar