Sabtu, 18 November 2023

Apa itu Bahagia?

    Bersama Mas Andri kuhabiskan sore ini di warung kopi dengan bercengkerama tentang banyak hal. Ya. banyak hal. Dari mulai isu-isu politik, politisi yang suka main wanita padahal berpenampilan agamis, sampai permasalahan hidup dan utang-piutang. Di sini, semuanya tumpah di warung kopi yang berada di tepi jalan tak berapa jauh dari kolam renang Tirtonadi. Kami duduk berdua menikmati kopi yang kurang kental. Cukup encer dan kurang oahit. Obrolan menggelinding ngalor-ngidul juga tentang banyak hal privasi baik tentang hidup, masa depan, dan kekhawatiran-kekhawatiran. 
Sepulang ngopi macam-macam pertanyaan mulai bermunculan sehingga perlulah rasanya untuk kutuliskan di sini minimal sebagai dokumentasi arsip yang nantinya akan kubaca lagi suatu kali. padahal hari sudah lewat dari tengah malam. sekarang pukul 01.50.

    Begini, belum lama ini aku diombang-ambingkan pada sebuah persimpangan. Bagaimana tidak. Pilihanku untuk menjadi guru akhirnya kembali diguncang. Kemarin lalu aku bertemu dengan Ketua Yayasan, ia menyampaikan bahwa satu tahap lagi puncak dari perjuanganku akan menemui hasil. Ini diucapkan ketika aku minta izin untuk mengikuti PPG. Mendengar pernyataan itu seketika aku menarik diri. Mencoba beberapa hari menyendiri biarpun susah. Satu tahap lagi perjuanganku akan mencapai puncak? Pernyataan Ketua Yayasan itu pun akhirnya menjadi sebuah pertanyaan yang makin lama makin minta jawaban. Benarkah PPG adalah satu tahap menuju puncak menjadi seorang guru? Lalu apa sejatinya puncak kebahagiaan seorang guru? Kucoba untuk mencari jawaban dalam mesin pencarian google. Keluar beberapa artikel. Kuscroll dan baca satu per satu. Pelan-pelan. Kutemukan sebuah artikel yang menurutku dari judulnya menarik. Berharap menemukan ajwaban dari pertanyaanku. 
    Aku lupa artikel itu ditulis oleh siapa. Pada intinya di situ penulis menceritakan perjalanannya menjadi seorang guru. Mulai dari mengabdi di sekolah yang jauh dari peradaban sampai akhirnya menjadi PNS. Oh PNS? Begitukah puncak kebahagiaan seorang guru? Sontak hati kecilku kok melawan. Langsung kuclose dan kumatikan laptopku. Puncak kebahagiaan seorang guru adalah menjadi PNS? Rasanya masih saja tidak tidak percay. 
Sebagai jawaban normatif mudah saja mengatakan bahwa puncak kebahagiaan seorang guru adalah mampu menjadikan siswanya menjadi seorang yang berguna. Ah sangat teoretis dan template. Masih saja kurang puas dengan jawaban itu. Entah mengapa pikiranku menyeret untuk memikirkan hal yang lebih general. Lha kalau manusia. Apa puncak kebahagiaan menjadi manusia? 
    Berhari-hari aku merenungi dua pertanyaan ini. Berharap menemukan jawaban. Sengaja tidak kucoba mencari jawaban dengan bertanya kepada teman sejawat ataupun istri. Dengan harapan jawaban  muncul bukan dari sudut pandang cerita orang lain yang akhirnya kubenarkan. Aku berharap jawaban ini kutemukam secara natural. Alami. Hingga pada suatu ketika kuambil buku dari rak. Ah. selesai baca Ayah karya Andrea Hirata. Apa lagi ya yang asyik untuk dibaca. Sebenarnya masih ada dua buku waiting list yang sudah kubeli untuk dibaca. Jelas buku bekas. Nggak tahu kenapa aku lebih suka beli buku bekas ketimbang yang baru. Masih ada Laut Bercerita karya Leila S. Chudori dan The Alchemist karya Paulo Coelho. Akhirnya kuambil The Alchemist buku yang sangat direkomendasikan teman saat kursus bahasa Inggris tempo lalu. 
    Kubuka lembar demi lembar. Masih mencoba beradaptasi dengan gaya penulisan pengarang. Mencoba untuk melepaskan style Andrea yang belum lama kubacai karyanya satu demi satu. Buku setipis ini kok masih susah ya mencernanya ya dalam batinku. Akhirnya setelah lima atau enam lembar membaca sudah mulai bisa menikmati gaya Paulo dalam The Alchemist. Halaman tepatnya aku lupa Dalam buku diceritakan ada seorang anak kecil yang disuruh oleh orang tuanya untuk mencari orang yang sungguh bijaksana di sebuah bukit yang jauh. Sesampainya di sana, ia terperangah di atas bukit ini ada peradaban yang luar biasa mencengangkan. Singkat cerita ia kemudian berhasil menemui seorang bijaksana itu lalu bertanya, "Wahai orang bijaksana, aku kemari diutus oleh ayahku untuk menanyakan kepadamu apa artinya kebahagiaan?" Seorang bijaksana menjawab ia tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan anak itu. Akan tetapi ia mengeluarkan sendok dan menuangkan dua tetes minyak pada permukaan sendok. Lalu si anak diminta untuk berjalan mengelilingi daerah itu dan kembali lagi. 
    Esok harinya si anak kembali lagi dan melaporkan kepada orang bijaksana bahwa ia telah mengelilingi daerah itu dan menjaga agar minyak di sendok tidak tumpah. Orang bijaksana mengatakan "bagus" lalu bertanya "Tidakkah kau nikmati pemandangan dan menikmati hal apa saja yang kau temui di sekitar sini?" Si Anak menjawab "Tidak, Tuan". Lalu orang bijaksana itu memberikan sendok dengan ditetesi minyak lagi. Dengan jumlah tets yang sama. Ia kemudian meminta si anak untuk berjalan mengelingi daerah itu dan mengamati keindahan pemandangan sekitar. Menikmati hal-hal yang dijumapinya yang ada di sekeliling. Si Anak menurut. Ia pun berkeliling dan menikmati pemandangan yang ada. Lalu ia kembali kepada orang bijaksana dan memberikan sendok. "Tuan aku sudah menikamti pemandangan dan hal-hal yang kujumpai di sekitar sini." Sendok kosong. Minyak yang telah diberikan tumpah entah kemana. Lalu orang bijaksana itu berkata "itu lah arti kebahagiaan, Nak". Luar biasa. Narasi tentang Si Anak yang bertanya kepada orang bijaksana ini mau tidak mau menyedot perhatianku. Aku membaca dalam kondisi mengantuk. Tapi kok nancep. Bisa teringat terus ya.          
    Mungkin ini jawaban dari pertanyaan yang beberapa hari ini membelengguku. Jujur memang akhir-akhir ini aku lebih sering disibukkan memikirkan bagaimana esok? Bagaimana kelak? Ditambah lagi beberapa dari temanku mengikuti tes PPPK bahkan sudah ada yang PG. Lalu apa yang harus kulakukan? Sementara aku sudah mengambil pilihan untuk tidak mengikuti PPPK agar bisa fokus mengikuti PPG. Benarkah PPPK adalah puncak kebahagiaan seorang guru? Apakah PPPK adalah ujung dari semua perjuangan menjadi seorang guru? Sudahkah benar keputusanku? Lalu bagaimana seandainya teman-temanku ini lolos PPPK dan pergi di tempat barunya? Apa yang harus aku lakukan?  Pertanyaan-pertanyaan ini bermunculan dan menyambung terus seperti rumusan masalah skripsi. Bingung. Hidup rasanya kok kemrungsung begini. Kalau toh akhirnya PPPK atau katakanlah PNS adalah puncak kebahagiaan seorang guru aku ingin bersikap untuk menarik diri. 
    Sebagaimana tempo hari aku katakan kepada Ari, temanku ketika kuliah dulu. Saat itu aku hendak mencari kos baru karena sudah tidak nyaman dengan kos lamaku. Ari menawariku untuk pindah saja ke kosnya. Masih ada kamar kosong katanya. Nanti kalau berangkat kuliah bisa boncengan bareng. Saat itu tegas kukatakan "Aku lebih memilih agar hubungan pertemanan yang sudah terjalin dengan harmonis tidak putus di tengah jalan, Ar. Maka dari itu aku tidak bisa sekos sama kamu." nampak ia kaget. Apa maksudnya? Begitu tanyanya. "Seandainya aku sekos denganmu maka hampir setiap hari aku tahu kebiasaanmu. Nantinya aku akan tahu kepribadianmu mulai dari kamu bangun tidur sampai kamu tidur lagi. Nah, aku tidak mau pertemanan yang sudah erat terjalin ini tergerogoti oleh konflik remeh-temeh yang nantinya akan berujung pada konflik lebih besar. Karena konflik yang besar biasanya dimulai dari gesekan kecil secara terus-menerus," jawabku. Ia nampak masih tidak puas. Kusambung lagi. "Lebih baik kita tidak sekos biar ketika kamu bosan di kos, bisa main ke kosku. Ngopi-ngopi. Nah sebaliknya seandainya aku bosan di kos, aku bisa main ke kosmu. Ketemu sama teman-teman kosmu." 
    Hal inilah yang membuatku mengambil sikap jika akhirnya puncak kebahagiaan seorang guru adalah menjadi PNS atau PPPK maka aku sepertinya harus mundur selangkah dan harus menarik diri. Aku khawatir ketika aku berada di posisi itu justru membuatku nyaman, semakin malas dan manja menghadapi segala situasi. Dengan cara menarik diri satu langkah maka puncak akan selalu terlihat. Begitu pikirku. Usaha, doa, mensyukuri nikmat akan jauh menjadi lebih sering. Sementara jawaban untuk pertanyaan apa yang sebaiknya dilakukan agar hidup bahagia? Ya seperti si anak kecil tadi. Sudahlah. Daripada mencari apa itu definisi bahagia lebih baik cobalah menikmati hidup. Syukuri nikmat yang diberikan dan apa saja yang kita punyai. Nikmati masalah yang ada. Hadapi. Muncul masalah baru, hadapi lagi. Kok tiba-tiba muncul pertanyaan tentang hidup. Ya, coba dicari jawabannya. Muncul lagi, ya dijawab lagi. Tentang bagaimana esok hari. Bagaimana nasib kita kelak? Biar kelak yang menjawab. Kita sendiri kan juga tidak tahu apakah kelak kita masih hidup ataukah sudah tiada. 
Selengkapnya.. - Apa itu Bahagia?

Sabtu, 17 Juni 2023

Celoteh Pagi Hari

    Kunikmati pagi ini dengan segelas besar kopi. Ya. Layaknya orang yang sedang balas dendam lantaran sudah sekian lama tidak pernah minum kopi. Alunan lagu slow rock barat juga menggema di speaker bluetoothku. Kini giliran White Lion dengan You're All I Need berteriak-teriak saingan dengan burung kenari di kurungan. Musik mengalun perlahan. Seperlahan itu pula kuseruput kopi tubrukku. Cleguk. Cairan hitam perlahan turun membasahi kerongkongan dengan rasa yang tak bisa dijabarkan. Kata orang kopi adalah minuman para sufi. Benar tidaknya aku pun tidak tahu. Yang kutahu aku sudah kecanduan minum kopi sehabis sarapan. Telat minum kopi saja sepuluh menit saja kepalaku sudah pusing. 

    Pagi ini seperti pagi yang lain. Orang berlalu-lalang lewat depan rumah. Mulai dari tukang becak. Anak-anak kecil bersepeda sambil bercengkerama dengan temannya. Kendaraaan roda berat pun serasa saling kejar seolah berlomba untuk mendapatkan trofi termahal. Sementara aku masih ketak-ketik di ruang sebelah. Entah mengapa ingin sekali rasanya bercerita di blog.Cerita dimulai darimana ya? Ah ya Jumat lalu. Jumal lalu akhirnya kusempatkan menonton film Eat, Pray, Love. Film yang diangkat dari novel dan dibintangi Julia Robert ini rasanya menarik perhatian. 

    Kepenasarananku muncul karena judulnya yang memikat. Disadari atau tidak ketika travelling atau bepergian kemanapun, atau bahkan dalam skala lebih besar hidup ini tidak bisa lepas dari tiga kata ini. Tentang lokasi syuting di Bali yang sempat menggegerkan Indonesia, bagiku hanyalah faktor lain yang menyebabkan aku penasaran. Eat, Pray, Love. Makan, Doa, dan Cinta. Tiga kata ini nampaknya tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Sayangnya film ini tidak terlalu bisa memenuhi ekspektasiku. Kukira dalam film dijelaskan mengenai filososfi judulnya. Memang digambarkan beberapa kali si Julia pergi ke beberapa tempat di berbagai negara. Sampai akhirnya tiba lah dia di Bali yang akhirnya mengubah hidupnya dengan menemukan cintanya di sana. Spiritual journey yang diceritakan dalam film menurutku kurang mendapat highlight. Apa mungkin karena keperluan pasar? Entahlah. Hanya saja bagiku tiga kata itu begitu nancep di kepalaku. Semenancep nama yang diberikan anakku kepada dua anak hamsternya. Yang satu diberi nama Cimil sedangkan yang kecil diberi nama Cip-Cip. Kok keren ya namanya? Nama yang sangat imut nan lucu. Sespontan itu dia memberi nama malah jadi keren.  Sementara aku selalu kesulitan ketika memberi nama. Ketika nama sudah ketemu, yah kurang keren biasanya. Apa terlalu sibuk mencari makna yang terkandung di dalamnya ya?

    Kembali ke Eat, Pray, Love. Kalau Koko berada di sini mungkin dia akan bercerita banyak dan bisa menafsirkan kata-kata ini. Tentu dia akan bicara lebih banyak tentang kemelekatan dan penderitaan. Bahwasanya kemelakatanlah sumber dari penderitaan. Begitu dia sering berkata dahulu ketika di kos. Bukankah ketiga kata ini pun sumber utama kemelekatan? yang dengan tiga kata ini manusia seolah Kita seperti memasuki lubang cacing. Bagai masuk ke dalam labirin yang tak pernah ketahuan mana ujungnya. Roda samsara, begitu kata Koko dulu. Ah. kawanku ini. Apa yang dilakukan sekarang ya? Kangen juga. Lama sudah rasanya tidak bertegur sapa. Mungkin saja sekarang dia sedang menikmati secangkir kopi sepertiku dan menggendong anaknya yang masih kecil. Semoga hal-hal selalu membersamaimu saudaraku. 

    Di tengah kekangenan ini, rasanya ada yang menurun drastis dari hidupku. setahun lalu, logikaku dikuras terus diajak berpikir kritis oleh anak-anak PMA (Pena Emas Al Banjari). Banyak sekali pertanyaan yang terus-menerus memaksaku berpikir keras. Mencari jawaban. Setelah dapat kemudian berusaha mengolahnya untuk bisa kusampaikan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Namun kini ruang diskusi yang pernah kugagas dan mendapatkan restu dari ketua yayasan tempatku bekerja ini bubar. Padatnya waktu anak-anak untuk berdiskusi, kondisi eksternal yang kurang supportif, dan berbagai hal lainnya menjadikan studi klub ini seolah menabrak tembok besar yang susah sekali dirobohkan. Akhirnya, kondisi semakin macet ketika beberapa di antara mereka lulus sekolah. Ada yang melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, ada yang bekerja, ada juga yang melanjutkan ke pesantren lain. Ya. minimal dulu pernah ada studi klub seperti ini di sini, begitu kata hatiku untuk menyenangkan diri sendiri. 

    Walau bagaimanapun harus tetap survive bukan? Tentu! "Entah bagaimana caranya harus tetap survive," kataku dalam hati. Untungnya masih ada teman-teman Maiyah Lumbung Bailorah yang selalu mengajak logika dan hatiku terseret-seret untuk mencari-cari jawaban dari berbagai pertanyaan seputar kehidupan. Selain itu alhamdulilah hobiku yang dulu masih terpelihara dengan baik. Baca buku. Beli buku. Baca buku. 

    Tentang buku, kini aku sedang suka-sukanya baca Haruki Murakami. ketertarikanku dengan Haruki mungkin bermula dari Eiji Yoshikawa. saat itu rasanya jenuh dengan bacaan sejarah Jawa, eh malah kesasar dengan membaca dua karya mahadahsyat Eiji. Mushashi dan Taiko, ketertarikanku untuk mengetahui lebih banyak tentang Jepang membuatku mencari-cari buku dan berbagai informasi tentang Jepang. Terlebih tentang samurai. Tak tahu bagaimana mulainya, tiba-tiba Norwegian Wood-nya Haruki sudah sampai rumah. Setelah kubooking dari intagram, buku bekas ini pun nangkring di meja. Berhari-hari kubaca buku ini. Seusai khatam, sekalipun sudah kuseling dengan Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan eh kembali lagi Haruki Murakami yang masuk wating list. Buku itu akan memilih pembacanya, begitu kata orang bukan? Trilogi 1Q84 akhirnya kubeli. Tentu masih tetap istiqomah dengan buku bekas pastinya. Heran nggak tahu kenapa hal-hal yang setengah pakai dan lawas selalu mendapat ruang tersendiri dalam hatiku. Usai Baca CiL, 1Q84 pun kulahap pelan-pelan. Alur yang lambat kadang membuatku bosan untuk menikmati buku ini. Tapi ya mungkin begitu kali ya. Ketika bosan, letakkan. Dan kembali lagi dibaca kalau bosannya sudah berlalu. Akhir Ramadan kemarin 1Q84 selesai sudah. Tentang Kawana Tengo yang akhirnya bertemu Aomame. Sementara alur masih menggantung. Open Ending. 

    Buku yang di dalamnya menceritakan unsur kejiwaan yang luar biasa menurutku. hal-hal psikologi sangat diaduk-aduk dalam novel ini. Tak berbeda jauh dengan Norwegian Wood, Haruki masih setia dengan jalur genre psikologi dibumbui dengan cerita seks yang mebuat kisah ini jadi tidak terlampau berat. Oh, sebelas dua belas dengan CiL ya? Usai baca 1Q84 sebenarnya mulai tertantang untuk membaca Kafka on The Shore. Sayang, tak kutemukan buku ini. Sekalipun ada, harganya melambung tinggi. Bahkan kemarin saat akhirnya bisa bernostalgia dengan Soping, Jogja (sebuah pasar buku legendaris di Jogja) tak juga kutemukan Kafka. Ada sih, tapi yang KW. Ah daripada keburu beli yang KW lain waktu aja ah.  Kalau KW kan sayang. Akhirnya ketika Kafka masih cukup alot untuk ditemukan, Lelaki Lelaki Tanpa Perempuan yang akhirnya kubaca. Ketika kutulis cerita di blog ini, Lelaki-Lelaki Tanpa Perempuan-nya Haruki masih sisa setengah buku. Padahal tidak terlalu tebal, tapi kok belum selesai. Aku juga heran kenapa kok bisa jadi pemalas begini ya. Apa iya karena intensitas harianku yang terlalu melelahkan sampai akhirnya ketika malam ngantuknya tak tertahankan? Ah, kayaknya enggak deh. Nyatanya mainan HP masih saja sering kulakukan bahkan kadang sampai larut malam. Kalau sudah kena gadget virus entah mengapa semua jadi malas. Inginnya hanya rebahan. Ketika lihat jam, lho udah jam segini. Bangun dengan agak malas dan ketika sudah melakukan hal-hal lain jadi tergesa-gesa. Takut terlambat. Apakah kamu pun demikian?


Selengkapnya.. - Celoteh Pagi Hari

Rabu, 30 November 2022

Sajak Untuk Bapak dan Ibuku

Tutur katamu adalah titah bagiku
Petuahmu laksana pelita 
Berkerjap-kerjap dalam malam pekat

Tak bisa kubayangkan
Bagaimana sulitnya 
perjalananmu dulu
Membesarkanku
Menimangku
Mendidikku
Mengajariku 
Demi setitik asa
Berharap aku jadi pribadi yang tangguh 
Jadi pribadi yang senantiasa ada di masa tuamu

Oh Bapakku 
Oh Ibuku


Dalam sendu 
Kutulis sajakku untukmu
Kulantunkan namamu 
Dalam doaku
Dalam kesendirianku
Dalam sanubariku 
Dalam ketergesaanku

Untukmu 
Sembah baktiku
Karena 
Seyummu adalah segalaku

(Blora, Rabu 30 November 2022, 20:44) 

Selengkapnya.. - Sajak Untuk Bapak dan Ibuku

Selasa, 29 November 2022

Andai Saja

*Abdul Haris Nur H. 

Jika malam bertambah kelam 
Masih adakah senyummu itu? 
Jika gerimis bertambah deras 
Masihkah kau bertanya padaku
Kapan pulang? 

Lalu padamu 
Kuceritakan kisah-kisah ku
Padamu pula 
Aku berkata sendu 
Mari kita keluar 
Sejenak menghabiskan waktu
bicara tentang ego yang tak perlu

Kasihku
Andai saja setiap dari kita 
Tidak terjebak pada logika 
Pada prasangka 
Pada semua-mua 

Andai saja setiap dari kita 
Bertemu dengan perasaan
Sebagai bahasa 
Tentu melankolika muncul 
Menghancurkan segala-gala

(Blora, Selasa, 29 November 2022. 19:38) 

Selengkapnya.. - Andai Saja