Kamis, 09 April 2020

Jangan Ngaku Laki-laki Kalau Belum...

Hujan menyapu kegelapan malam. Petir menyambar-nyambar. Hawa dingin timbul perlahan menyelimuti semua-mua. Seolah menjadi makmum masbuk kepada hujan yang telah lama datang. Pada kondisi seperti ini rasanya tiada yang lebih kuasa selain sepi. Dimana-mana sepi. Jalanan sepi, warung makan sepi, terminal sepi. Hujan menampakkan kuasanya. Suara-suara gaduh mesin kendaraan dan mesin televisi sirna sudah, berganti dengan suara kemrasak air dan gelegar petir.
Aku yang tertunduk membaca Lemah Abang karya Damar Shashangka pun was-was. Sesekali kulihat anakku yang tertidur di gendongan neneknya. Takut kalau-kalau terbangun karena kaget mendengar suara petir.
Ya. Aku tidak menyangka kalau sekarang aku sudah punya anak. Cepat sekali. Rasanya baru kemarin diskusi, ngopi-ngopi, keluar-masuk kampus, dan mencoba bersetia kepada prinsip untuk tidak menikah. Yah, kalau memang jalannya adalah tidak menikah, aku siap untuk tidak menikah. Bukankah Plato juga demikian? Pikirku waktu itu. Biara tentang masa lalu. Apa yang tidak melenakan, kecuali kenangan masa lalu. Kenangan masa lalu sering hadir dan menjebak manusia untuk masuk dan berromantisme terlalu dalam.
Di sebelah kanan tampak anakku masih tertidur pulas dan ditaruh di kasur lantai oleh neneknya. Baru enam bulan usianya. Lalu kulanjutkan membaca. Dua tiga halaman halaman kubalik. Istriku keluar dengan wajah muram.
"Jangan lupa pembalut sama bubur sudah habis," ucapnya.
"Iya, tunggu hujan agak reda," sahutku sambil melihatnya sekilas kemudian melanjutkan membalik lembar demi lembar. Istriku kembali ke kamar merapikan tempat tidur.
Kututup buku. Segera ke belakang untuk salat Isya, kemudian mengeluarkan sepeda motor dari garasi. Hujan bukannya mereda malah tambah deras. Kugas sepeda motor. Meluncur menuju Indomaret. Tanpa payung, tanpa jas hujan. Biar basah toh hujan juga anugerah, mengapa harus dihindari? Begitu masuk Indomaret, mata secara otomatis mencari-cari rak pembalut. Weik, banyak sekali jenisnya. Lama aku terdiam di depan rak. Bingung. Sambil mengamati bermacam-macam pembalut, aku jadi teringat ucapan temanku tempo hari.
"Jangan ngaku laki-laki kalau belum menunggui istrimu melahirkan dan mengazani anakmu!"  Di Indomaret ini hanya ada tiga pelayan. Dua pelayan laki-laki yang menata rak display dan satu kasir wanita yang mengotak-atik komputer. Tahu aku sedang bingung, si Mbak kasir datang menghampiri. Tergerarap saat dia memegang pundakku dan bertanya "Nyari apa Mas?" " Ini lagi nyari yang nyaman Mbak." "Oh iya, silakan Mas," ucap si kasir sambil terheran-heran melihatku. Lhah ini di tanganku tahu-tahu ada sebungkus pembalut berwarna hitam. "Sejak kapan aku ambil pembalut itu. Sial! Pantas saja si kasir itu terheran-heran. Mana masih sesekali mengamati lagi," gumamku dalam hati. "Ya ampun. Ini. Ini juga kan termasuk ini," hatiku terus bergumam. Segera kuambil kotak bubur di etalase. Lalu kubayar. Entah kenapa dua pelayan lelaki yang sedari tadi menata display dagangan juga melihat ke arahku dengan tatapan aneh sambil tersenyum-senyum. Sial. Martabatku anjlok. Usai bayar, lalu ngacir pulang. Basah, basah deh. Suatu saat nanti kalau nanti bertemu kawanku aku akan bilang, "Woi, tambahi woi. Tambahi satu lagi. Kalian jangan ngaku laki-laki kalau belum menunggui istri melahirkan, mengazani anak saat lahir, sama MEMBELIKAN PEMBALUT BUAT ISTRI!" Mau kalimatnya jadi panjang, biarin. Sampai rumah kuberikan pembalut dan bubur kepada istri sambil senyum-senyum sendiri. Lalu duduk,  di depan. Mengambil hp. Melihat pesan. Si Mila, muridku bertanya alasan mengapa saya suka nomor 9? Dia bilang barusan dia baca buku. Di buku disebutkan bahwa angka 9 adalah angka kesuksesan. Lalu dia teringat kepadaku yang suatu ketika pernah menyampaikan kesukaanku dengan nomor sembilan di kelas. Kemudian menjawab si Izanaya, muridku yang bertanya melalui pesan pribadi mengenai tanggapanku tentang novel sejarah. Alhamdulillah anak-anak sudah mulai suka membaca.

Selengkapnya.. - Jangan Ngaku Laki-laki Kalau Belum...

Minggu, 05 April 2020

Belajar kepada Ibu Lontong Tahu

Malam ini capek sekali. Heran kenapa. Oh, mungkin karena seharian naik motor keliling-keliling. Mulai dari ngurus SIM yang gagal. Lalu pijat sampai berjam-jam. Sore tanam-tanam bunga. Ya, niatnya melakukan gebrakan biar depan rumah kelihatan adem. Baru deh mulai setelah magrib rasa kantuk tak dapat ditahan. Mulut mulai sering menguap. Mata mulai ngantuk, perut mulai lapar. Keroncongan. Lalu ke belakang, ngecek menu makan malam. Ah, tidak selera. Benar sih makanan enak dan makanan tidak enak itu tidak ada. Yang ada ya pribadi orangnya yang menilai. Kembali ke pribadi. Otak mulai berpikir, makan apa ya yang murah tapi tidak membosankan. Lama mikir. Belum dapat juga. Ah, keluar ah. Iseng-iseng cari udara segar. Nah, ketemu. Lontong tahu pedas enak ini. Kayaknya sip. Gas cari warung lontong tahu. Ngomong-ngomong lontong tahu, secara filosofis lontong tahu Blora ini punya cerita yang panjang. Blora, tempat tinggalku ini memiliki kuliner khas selain sate, yaitu lontong tahu. Mengapa lontong tahu, bukan kupat tahu. Berdasarkan buku yang saya baca, seingat saya tulisan Pak Suripan Sadi Hutomo. Lontong tahu adalah simbol dari kesuburan dan kejayaan. Lontong sebagai simbol dari lingga, yaitu alat vital laki-laki. Sedangkan tahu, sebagai perwujudan dari Yoni atau alat vital wanita. Coba telisik lebih jauh. Di setiap bangunan candi, simbol lingga Yoni selalu ada dan berdampingan. Mungkin ini adalah salah satu harapan dari leluhur kami dulu, mengapa lontong tahu bukan kupat tahu. Sesampai di warung, ibu penjualnya humble. Di warung berukuran 5×6 meter itu sudah ada satu pelanggan yang telah habis melahap lontong tahunya. Lelaki. Bapak-bapak. Dilihat dari pembicaraan antara ibu penjual dan pelanggannya, sudah sering bertemu. Punya kartu member kali, ya. Saya yang baru datang lalu memesan dua lontong tahu pedas. Ibu penjual masih ngobrol dengan bapak-bapak itu. Sambil nguleg kacang. Tema obrolan seputar duit. Ibu penjual lontong sempat bilang "Sebentar ya Mas. Ini saya kasih lihat. Di bawah ini ada celengan. (Sambil menunjukkan celengan yang diambil dari bawah meja). Celengan ini buat nyimpan uang kecap. Nah itu. (Si ibu beranjak dari dingklik (kursi kecil) -nya sambil berjalan ke belakang. Di dekat tempat cuci piring). Ini juga ada celengan buat cucu. Di sebelah situ, juga ada celengan lagi buat bayar listrik," ucap si ibu sambil tertawa. "Gini-gini dulu lulusan SMEA lho, Pak. Harus ada manajemen keuangan. Kalau tidak begini, habis duitku, ya nggak, Mas" tergagap aku tersenyum. Aku yang sedari awal mengantuk jadi terkesima. "Ilmu, ini ilmu. Perlu ditiru," ucapku dalam hati. Sepuluh ribu harga per porsi lontong tahunya. Setelah kubayar, kukendarai motorku. Jremmm. Tampak Pak Soesilo Toer, sedang sibuk menata botol dari tempat sampah di depan toko pakaian. Motor kupacu. Sampai rumah. Makan lontong. Ibu bakul lontong tadi masih saja terngiang-ngiang di ingatan. Aih, manajer perusahaan tidak harus berpenampilan perlente. Si Ibu contohnya.  Lahap kumakan lontong tahu, tak terasa keringat menetes di mana-mana. Bajuku basah.
Selengkapnya.. - Belajar kepada Ibu Lontong Tahu

Tentang Temanku

Aku tak tahu haruskah aku bahagia ataukah sebaliknya. Temanku. Si Samanera, aku sering memanggil begitu, ia sebentar lagi akan atau bahkan sudah menikah. Tempo hari ia bercerita kalau tidak ada pandemik korona, dia sudah menikah. "Nuruti emak," katanya.
Mengapa aku katakan bahwa haruskah aku bahagia atau sebaliknya. Pasalnya, dia pernah mengalami goncangan berat pada masa lalunya. Ia cinta berat kepada seorang wanita. Hubungan yang dijalin sudah sedemikian mesra sekalipun LDR-an. Hingga suatu ketika "Saya main ke rumahnya jauh di kota S, dari sana saya diputus. Dia pilih lelaki lain. Sepulang dari sana di tengah perjalanan motor saya dibegal orang. Pulang. Sampai rumah hanya bawa helm. Itu pun kondisi keluarga sedang ada masalah berat," ungkapnya waktu itu. Dia bilang setelah kejadian itu ia mengalami trauma berat. Kisah hidup keluarga yang pelik, ditambah masalah yang dialaminya waktu itu membuat dia selama kurang lebih dua bulan mengurung diri di kamar.
Lama dia mencoba bangkit. Ketika ia bangkit, ia memutuskan untuk menjadi seorang bikhu dan mengesampingkan urusan dunia. Hal ini yang kemudian membuat emaknya bingung. Khawatir tidak akan menikah, emaknya berusaha mati-matian menasihatinya. Ia kemudian kuliah mengambil jurusan agama. Kecewa di jurusan itu. Akhirnya ia pindah kuliah, mulai dari nol ambil jurusan matematika. Dari sini lah kami kenal. Ia yang notabene seusia denganku menjadi adik tingkatku.
Temanku ini luar biasa energik, sangat baik, dan memang luar biasa sehalanya. Darinya aku belajar banyak tentang hidup dan kehidupan. Kami yang tadinya hidup bersama satu kos. Ngopi bareng. Diskusi bareng. Masak bareng. Kini harus berjauhan. Aku lulus duluan. Dua tahun, atau tiga tahun setelahnya, dia lulus. Lalu kerja di Tangerang Selatan. Menjadi guru di sana. Dulu kami masih sering sekali kontak. Mungkin karena aku telah menikah, dia agak rikuh. Masih kontak lewat pesan meski tak sesering dulu. Suatu saat ingin rasanya menulis tentang dia berhalaman-halaman. Semoga terlaksana.
Kini, dia akan, atau bahkan sudah menikah. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Yang jelas aku mencoba memahami. Dia berani ambil sikap, tentu dengan berbagai risikonya. Prinsip hidup dan cita-cita untuk tidak menikahnya dahulu yang membuatku tidak berani ikut untuk ikut mangayubagyo. Khawatir kalau-kalau sikapnya memilih menikah adalah paksaan dan ketidakberdayaannya melawan keadaan. Terlepas dari itu semua aku ingin mengucap selamat kawan. Sampai kapan pun kamu akan jadi guru bagiku.

Selengkapnya.. - Tentang Temanku

Rabu, 25 Maret 2020

Jayakah?

Kejayaankah atau keterpurukan? Sudah jayakah hidup kita?  Jangan-jangan keterpurukan kita sangka sebagai kejayaan. Sementara kejayaan kita sangka sebagai keterpurukan.

Dua pertanyaan ini tiba-tiba menikam tepat di kepala. Ditambah dengan kata-kata Majapahit mengalami zaman kejayaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada sebagai patihnya.

Eit, bukan Majapahitnya yang akan aku tulis lebih jauh di sini tetapi lebih pada kata zaman kejayaannya. Entah mengapa istilah zaman kejayaan ini menjadi pertanyaan yang paling sering muncul di kepala. Tentu harus ada indikator untuk mengatakan bahwa saat ini adalah zaman kejayaan, saat itu adalah keterpurukan. Mari kita seret dua kata tersebut dalam kehidupan kita. Masalah kemudian muncul ketika kita berkaca terhadap dua kata tersebut. Apakah kita sekarang berada dalam zaman kejayaan? Ataukah malah kita berada zaman keterpurukan? Lama aku berpikir tentang hal ini. Berada di kejayaankah kehidupanku sekarang, atau justru berada dalam keterpurukan?

Bila saat ini aku berada dalam kejayaan lantas bagaimana harusnya aku bersikap?
Sedangkan bila sedang berada dalam keterpurukan, lalu bagaimana aku harus bersikap?
Barangkali kalian pernah memikirkan hal yang sama denganku. Kalau iya, kasih komentar ya.
Lama aku terbelenggu dengan pertanyaan di  tersebut. Sedikit demi sedikit akhirnya ketemukan jalan terang.
Sepertinya ada hal yang keliru dalam caraku berpikir. Aku lupa, kata kejayaan dan keterpurukan sebenarnya berada dalam frame yang berbeda. Jika kita sendiri yang menilai diri kita termasuk dalam masa yang mana tentu keliru. Kata kejayaan dan keterpurukan lebih afdal jika dilihat dari sudut pandang sebagai pengamat.
Hayam Wuruk tentu tidak akan mengatakan bahwa masa pemerintahannya berada dalam kejayaan. Orang lain lah yang mengatakan demikian. Kata kejayaan dan keterpurukan semestinya bukan kita ucapkan untuk menilai diri kita sebagai subjek. Melainkan biarlah orang lain yang memandang kita sebagai objek. Sebagai manusia satu hal yang harus kita lakukan yaitu senantiasa berusaha dan berdoa dalam mengarungi kehidupan.

Masalah kejayaan dan keterpurukan biarlah orang lain yang menilai. Orang lain berhak mengatakan apapun tentang kita, mulai dari menyanjung, menghina, bahkan memfitnah  karena memang mereka punya mulut. Punya pemikiran . Punya hati. Punya sudut pandang sendiri dalam menentukan keputusan untuk menilai diri kita. Kita pun hendaknya mamph menghargai pendapat mereka dengan arif dan bijaksana. (Hrz)
Selengkapnya.. - Jayakah?

Jumat, 14 Februari 2020

SUKSES VS BAHAGIA

Mungkin di antara kita sering mendengar kata bahagia. Akan tetapi, kita sering kesulitan menafsirkan  bahagia itu yang bagaimana. Bahagia itu yang seperti apa. Ataukah sama arti bahagia dengan sukses?
Entah mengapa akhir-akhir ini saya kurang suka mendefinisikan kata berdasar kamus. Bagi saya pribadi, kata sebenarnya perwujudan dari beberapa toleransi yang dibentur-bentukkan oleh keadaan dan suasana. Maka dari itu terkadang makna dalam kamus tidak sesuai dengan konteks yang kita jumpai. Berkaca dari itu saya coba definisikan bahagia dan sukses berdasar kesederhanaan pandangan saya pribadi.
Oke, mari kita telisik lebih jauh tentang BAHAGIA dan SUKSES.
Bahagia sering diistilahkan bagi dan kepada seseorang yang telah mapan. Mapan, dalam hal ini pun beraneka ragam. Padahal, semakin seseorang mengatakan bahagia, unsur kebahagiaan itu akan luntur dengan sendirinya. Sederhananya, semakin seseorang mengatakan dirinya mapan, semakin seseorang itu tidak mapan. Repotnya faktor kebahagiaan ini sering dikacaukan dengan hal yang nampak. Kemapanan misalnya.
Contoh: Bu A bahagia karena memiliki anak seorang profesor yang kemana-mana naik mobil.
Masih banyak orang yang berpandangan materialistik. Melihat sesuatu dari harta dan benda. Materialisme seperti ini masih menjangkit di sekitar kita, disadari atau tidak. Bahkan, sering kali kita menjumpai seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain. "Lihat saja mereka itu kan temanmu, mereka sudah pada JADI ORANG.  Yang ini sudah jadi dosen, yang itu sudah punya momongan, yang ssitu kemana-mana naik mobil, nah yang sana itu sudah jadi kontraktor. Hello, mereka sudah pada sukses. Sedangkan kamu, dari dulu sampai sekarang masih begini-begini saja. Coba, berapa kali ucapan seperti itu kita dengar?" Tak jarang, kita sering termakan kata-kata seperti itu. Ujung-ujungnya kita tiba-tiba seperti meratapi nasib dan seolah duduk di ujung goa yang sunyi, tersingkir dari peradaban
Akan menarik apabila kata-kata sukses seperti yang kebanyakan orang sebut di atas dihadapkan dengan kata bahagia.
Apakah mereka-mereka di atas sudah bahagia dengan yang diperolehnya? Tentu, pertanyaan ini membuat beberapa orang seketika terdiam.
Menjadi sebuah polemik apabila kesuksesan dihadapkan dengan kebahagiaan.
Ukuran kebahagiaan seseorang dengan orang lain nyatanya berbeda-beda. Seorang nenek yang sudah tua renta tetap saja merumput, berladang, bahkan bertani di sawah. Sementara hasil yang diperoleh sebagai upah panen belum tentu stabil. Malah sering anjlok di pasaran. Biaya tanam, ongkos tenaga, dan waktu yang sangat tak sedikit tak dihiraukan. Apakah mereka menyesal? Tidak. Mereka bahagia. Besok waktu musim tanam tiba, mereka akan menanam lagi, dan lagi, dan lagi.
Berjualan pun begitu, sering harga beli barang kulakan dijual kembali dengan harga di bawah harga beli. Mereka juga tak bosan-bosannya jualan. Sementara, beberapa kuli dengan upah yang kadang tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Belum lagi terpotong untuk biaya makan dan rokok, nyatanya masih saja bekerja. Memang, di satu sisi mereka terpaksa menerima keadaan tetapi di lain sisi mereka pun bahagia.
Lebih-lebih ketika mereka pulang dan bisa berkumpul dengan anak dan istrinya. Biarpun makan dengan nasi garam pun.
Lalu, apa itu bahagia dan sukses?
‌Bahagia adalah sebuah prestasi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. kebanggaan tersendiri yang diperoleh dengan penuh rasa ikhlas tanpa melihat dan membandingkan dengan yang lain-lain. Sedangkan sukses adalah kepuasan yang diperoleh seseorang setelah target yang dibuatnya diraih dengan segala daya upaya. Masalahnya kemudian adalah sudahkah Anda. Kita.  Saya. Sukses dengan yang kita terima? Yang lebih tinggi lagi apakah kita sudah bahagia dengan hidup kita? Ataukah masih saja kita membandingkan, mengorek-ngorek yang dimiliki orang lain lantas kita telanjangi diri kita dengan milik orang lain itu?
Hidup adalah tidak melulu berurusan dengan yang nampak. Nyatanya yang tidak nampak senantiasa memberikan warna dan kesegaran tersendiri dengan caranya sendiri. Kita hendaknya waspada karena yang nampak sering menggoda kita dengan berjuta kebahagiaan semu. Kebahagiaan semu yang membuat kita seolah berada di dalamnya untuk selama-lamanya.
Salam
Selengkapnya.. - SUKSES VS BAHAGIA

Ladang Amal Terselip di Ladang Nominal

Baru kemarin kutemukan kata-kata yang pas untuk lead. Kutemukan saat mengendarai sepeda motor. Ah rasanya memang jalanan mengajari banyak orang. Jalanan mengajari orang untuk berhati-hati,  jalanan juga mengajari orang untuk berkonsentrasi, bahkan jalanan pula mengajari orang untuk  senantiasa berdoa. Ladang amal terselip di di ladang nominal muncul sebagai residu dari kegelisahan yang sudah sangat lama muser-muser di otakku. Singkat cerita kualami lagi fenomena yang dulu sudah pernah kuhadapi.

Masalah nominal, angka, dan nilai hampir selalu disempitkan beberapa pihak dengan mata uang. Sebut saja upah kerja. Tak ayal, banyak manusia yang pada akhirnya mengejar upah tanpa menghiraukan kinerja. Kegelisahan ini muncul berkaca dengan suasana kerja di beberapa tempat. Pun dengan ladang saya. Di ladang para pembaca pun ada juga yang demikian?  Manusia tentu berbeda-beda. Beda sudut pandang, beda cara pandang, beda cara hidup, beda gaya hidup, beda cara bersikap, beda semua-mua. Pada dasarnya itu yang pada akhirnya membuat manusia saling menghormati dan menghargai.
Di beberapa ladang, upah yang seyogyanya menjadi pengganti keringat dan tenaga, menjadi hal utama yang paling diburu. Materialis, mungkin kata orang zaman sekarang. Sudah materialis, eh kinerja menurun pula. Kesan datang-duduk-rileks dapat amplop di tempat kerja pun mengemuka.

Di dunia pendidikan hal ini tak jarang terjadi. Saya sering menjumpai hal ini di instansi negara. Dengan jumlah gaji yang sama tiap bulan tentu beberapa orang, akan bebas bekerja. Seenaknya misalnya. Tunjuk saja si pesuruh ini untuk menyelesaikan kerja. Yang penting amplop bulanan sama, ya kan? Gaji, sobat, gaji. Darimana gaji itu? Dari pajak, dari APBN, dari ini itunya rakyat yang berkumpul jadi satu lalu diberikan kepada para PNS itu. Duh, rakyat malang nian nasibmu.

Akan sangat terasa kalau itu terjadi di dunia kerja swasta. Sebut saja di yayasan tertentu. Sumber dana utama adalah dari donatur, bisa jadi dari iuran wajib. Dari sinilah akhirnya bermuara pada gaji pegawai. Jika si pegawai itu melakukan hal yang sama dengan contoh di atas. Rasanya kok kebangetan sekali. Padahal sebuah swasta bahkan yayasan, semua hal selalu dilandasi dengan niat, percaya, dan ikhlas. Tujuannya tiada lain adalah jariyah. Bagaimana menurut sobat?
Pernah suatu ketika saya digoda fenomena seperti ini. Saat masih sekolah saya dipusingkan dengan hal serupa. Saya coba mengerjakan soal matematika dengan seluruh tenaga dan kemampuan yang saya miliki, nilainya 59. Eh ada teman yang datang mencontek kerjaan teman yang paling pandai, dapat 90. Lantas, bagaimana kita harus bersikap?
Kalau semua itu terjadi secara massif, sikap kita bagaimana? Lama saya berpikir. Dipikir lama hasilnya tetap kalah dengan yang mencontek. Bukankah kasus ini serupa dengan kasus di atas?
Beberapa orang berusaha benar-benar dengan tulus dan ikhlas untuk selalu berjuang. Sebagian yang lain enak-enakan asal datang gajian. Belum lagi beberapa oknum yang memanfaatkan posisinya untuk mengambil beberapa keuntungan. Pada akhirnya kita pun harus survive. Mencuplik perkataan guru saya
Sekalipun sama-sama masuk air, cobalah untuk tidak hanyut ataupun tenggelam. Susah memang. Memang susah sekali. Mencoba untuk survive saja masih menjadi momok.
Selengkapnya.. - Ladang Amal Terselip di Ladang Nominal

Jumat, 24 Januari 2020

Tulikah matamu, butakah telingamu

Hujan di luar menderu-deru
Masih kau anggurkan kopi dan bukumu?
Sementara hayal dan pikirmu berdesak-desakan jadi satu
Menunggu nunggu akankah kau tulis atau kau biarkan berlalu

Hujan di luar menderu-deru
Masih saja kau biarkan anak dan cucumu?
Sementara biangnya pontang-panting cari susu
Mengais-ngais dompet dan sakumu

Hujan di luar sana menderu-deru
Terus saja kau rusak negaramu
Sementara anak-anak muda
Terus diam, bermain hape melulu

Hai kamu!
Masih saja kau menggerutu
Sementara darah pendahulumu
Terisak-isak oleh sembilu

Masih sajakah kau begitu sementara kenistaan, kemunafikan, penghancuran besar-besaran berada tepat di sebelahmu
Blora, 31 Agustus 2018 (19.51)
Selengkapnya.. - Tulikah matamu, butakah telingamu

Selasa, 21 Januari 2020

Buru-Buru Kaya

Langit sore ini nampak teduh. Maklumlah. Hari ini, sedari pagi hujan menggebyah-uyah Blora dengan sejadi-jadinya. Hujan yang senantiasa ditunggu oleh banyak orang. Pasalnya,  si Badrol, si Tamrin, dan si Nyongek, pun dengan tetanggaku yang lain masih ogah-ogahan ke sawah. Tanah yang masih keras dan belum bisa ditanami apa-apa menjadi alasan utama kemalasan mereka. Sebenarnya hujan sudah turun beberapa kali di sini namun hujan yang turun belum sehebat hari ini. Hujan hari ini benar-benar bisa membuat tanah di sawah menjadi lumpur. Harapan petani di tempat kami akhirnya dikabulkan. Dalam kondisi serba berair ini aku pulang dari tempat kerjaku.
Di sepanjang jalan aku mengendarai motor dengan cukup pelan. Bahkan bisa dibilang sangat pelan dari biasanya aku mengendari sepeda motor. Bayangkan, motor melaju hanya dengan  kecepatan 40 km/jam. Kondisi jalanan basah. Kiri basah. Kanan basah. Jujur, aku sangat menyukai suasana setelah hujan. Bagiku hujan adalah penegas. Penegas keragu-raguan sikap antara panas dan mendung. Hujan pula lah yang membuat pemandangan yang semula berdebu menjadi nampak jelas. Debu hilang. Hitam jadi hitam. Putih jadi putih. Selain jalanan berbubah menjadi licin karena basah, kondisi hati yang teraduk-aduk mejadi alasan kedua untuk memacu motor dengan kecepatan rendah.
Lapar. Dalam hati yang campur aduk ini aku bertemu dengan hal yang luar biasa. Hal yang kumaksud dalam hal ini adalah kata-kata yang seringkali diucapkan orang. Saking seringnya kata-kata itu diucapkan maka makna dan esensinya bagiku semakin hilang. Akan tetapi kali ini rasanya sangat berbeda. Sebuah kalimat makanlah selagi lapar dan berhentilah sebelum kenyang muncul tiba-tiba dan mendesakku untuk tidak bisa tidak menyelidikinya. Kata-kata ini tepat dengan kondisi yang aku alami sore ini. Bicara tentang makan aku jadi ingat perutku yang tengah meronta.  Ah, di rumah tentu tidak ada makanan, setidaknya itulah yang terlintas dalam kepalaku. Istriku jarang sekali memasak. Sering aku mampir ke warung untuk makan. Bahkan tak jarang aku ditawari  beberapa teman untuk makan di rumahnya. Lama, lama, lama sekali aku berpikir dalam kelaparan yang melandaku.
Dinn!! Suara klakson truk mengagetkanku. Memaksaku untuk segera menepi sambil tetap berpikir. Yah. Benar juga terkadang aku lupa untuk berpikir sejauh ini. Kini pikiranku terseret untuk mencari tahu mengapa ia jarang sekali memasak? Kuselidiki satu per satu kemungkinan demi kemungkinannya. Lama-lama aku jadi malu. Sering aku sebagai laki-laki hanya menuntut kepada istri untuk masak ini-masak itu. Tanpa kusadari dan bertanya kembali sudahkah kita memberinya uang belanja? Makin lama pikiranku makin terhanyut dalam lamunan. Hanyut sehanyut-hanyutnya laksana bungkus permen yang terbawa air selokan di sana-sini. Dalam hanyutnya launan ini muncul kembali kata-kata itu, makanlah selagi lapar dan benhentilah sebelum kenyang. Kata-kata itu mendarat mulus dalam benakku dan terus menyita konsentrasiku mengendarai sepeda motor ini.
Motor kuhentikan tepat di depan warung mi ayam. Ah, hujan-hujan begini asyik juga ya makan mi. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat akan istriku di rumah. Sudah berapa kalikah ia mengalah. Pertanyaan itu muncul. Dalam hati ini juga muncul sosok lain dari diriku yang mengacung-acungkan telunjuknya sambil berkata “Tega sekali kau, Mat. Istri dan anakmu tak tak pernah kau cari tahu sudah makan apa belum. Kamu enak-enak aja makan di warung ini itu semaumu. Tahukah kau kalau selama ini istrimu tak makan siang hanya untuk merawat anak-anakmu? Sementara kau di sini?” Ah. Tak tega juga rasanya. Kudatangi penjual mi ayam lantas aku bilang untuk dibungkus saja. Sambil menunggu, pikiranku masih saja melayang. Di depanku ada seorang laki-laki dan perempuan sedang lahap makan mi. Dari baju yang digunakan nampak dia bukan orang sembarangan. Berseragam khaki dan bersepatu. Yah, kantoran. Entah pejabat teras atau pesuruh aku tak tahu karena dua-duanya pun sekarang sama saja. Bahkan lebih kece para pesuruh jika dilihat dari fashionnya. Lama aku perhatikan dua orang itu makan. Dari caranya membersihkan kuah di mulut aku tahu bahwa dua orang ini sama-sama pesuruh. Yang besar dan tinggi pesuruh dengan lembut, yang laki-laki kurus hitam pesuruh kasar. Kelihatan dari cara laki-laki ini mengelap sisa kuah dengan ujung lengan bajunya.
Melihat dua orang ini memoriku memanggil-manggil dan membongkar cerita dari Abah. Tempo hari keponakanku datang ke rumah bersama pak Dhe untuk pinjam uang. Bahkan memohon agak mengiba agar Abah mencarikan pinjaman uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Lima juta rupiah. Nominal yang tidak sedikit bagi Abah yang punya anak tiga. Butuh cepat katanya. “Mau dipakai apa uang to?” tanya ayah menimpali. Si keponakan menjawab dengan suara lirih sambil melihat ujung kakinya, “Buat beli mobil Pak Lik.” Mendengar ucapan itu Abah sontak berkata “Buru-buru sekali kau ingin kaya.” Akhirnya Abah berkata kepada Pak Dhe untuk berusaha mencarikan. Tapi tidak janji bisa mendapatkan uang itu dalam waktu dekat. Ah, Abahku ini masih saja seperti Abah yang kukenal selalu tak enakan hati. Ia berkata halus agar tidak menyakiti hati kakaknya.
Buru-buru sekali ingin kaya? Hmm. Kata-kata ini dahsyat sekali masuk dalam otakku waktu itu. Rasaya kok bisa pas ya kalau dikaitkan dengan kalimat makanlah selagi lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Aha! Iya, iya, iya. Ketemu sekarang. “Ini Mas,” kata Bapak penjual mi ayam. Setelah kubayar, aku lalu pulang. Sesampai rumah dengan gembira aku pun membuka sebungkus mi ayam ini. Kutuang di piring lalu kupanggil istriku untuk makan berdua. Kebetulan anak-anak masih sekolah. Nampak istriku pun ikut lahap makan. Kini aku sadar. Aku tak akan mengulangi kebiasaanku makan di warung lagi. Lebih baik apa adanya asal dimakan berdua. Masalah kenyang atau tidak itu urusan belakangan. Nampaknya memang benar aku harus berlatih bersyukur dan senantiasa bersabar menikmati dinamika kehidupan ini. Harisz (21/01/2020:21.54 )

Selengkapnya.. - Buru-Buru Kaya