Minggu, 05 April 2020

Belajar kepada Ibu Lontong Tahu

Malam ini capek sekali. Heran kenapa. Oh, mungkin karena seharian naik motor keliling-keliling. Mulai dari ngurus SIM yang gagal. Lalu pijat sampai berjam-jam. Sore tanam-tanam bunga. Ya, niatnya melakukan gebrakan biar depan rumah kelihatan adem. Baru deh mulai setelah magrib rasa kantuk tak dapat ditahan. Mulut mulai sering menguap. Mata mulai ngantuk, perut mulai lapar. Keroncongan. Lalu ke belakang, ngecek menu makan malam. Ah, tidak selera. Benar sih makanan enak dan makanan tidak enak itu tidak ada. Yang ada ya pribadi orangnya yang menilai. Kembali ke pribadi. Otak mulai berpikir, makan apa ya yang murah tapi tidak membosankan. Lama mikir. Belum dapat juga. Ah, keluar ah. Iseng-iseng cari udara segar. Nah, ketemu. Lontong tahu pedas enak ini. Kayaknya sip. Gas cari warung lontong tahu. Ngomong-ngomong lontong tahu, secara filosofis lontong tahu Blora ini punya cerita yang panjang. Blora, tempat tinggalku ini memiliki kuliner khas selain sate, yaitu lontong tahu. Mengapa lontong tahu, bukan kupat tahu. Berdasarkan buku yang saya baca, seingat saya tulisan Pak Suripan Sadi Hutomo. Lontong tahu adalah simbol dari kesuburan dan kejayaan. Lontong sebagai simbol dari lingga, yaitu alat vital laki-laki. Sedangkan tahu, sebagai perwujudan dari Yoni atau alat vital wanita. Coba telisik lebih jauh. Di setiap bangunan candi, simbol lingga Yoni selalu ada dan berdampingan. Mungkin ini adalah salah satu harapan dari leluhur kami dulu, mengapa lontong tahu bukan kupat tahu. Sesampai di warung, ibu penjualnya humble. Di warung berukuran 5×6 meter itu sudah ada satu pelanggan yang telah habis melahap lontong tahunya. Lelaki. Bapak-bapak. Dilihat dari pembicaraan antara ibu penjual dan pelanggannya, sudah sering bertemu. Punya kartu member kali, ya. Saya yang baru datang lalu memesan dua lontong tahu pedas. Ibu penjual masih ngobrol dengan bapak-bapak itu. Sambil nguleg kacang. Tema obrolan seputar duit. Ibu penjual lontong sempat bilang "Sebentar ya Mas. Ini saya kasih lihat. Di bawah ini ada celengan. (Sambil menunjukkan celengan yang diambil dari bawah meja). Celengan ini buat nyimpan uang kecap. Nah itu. (Si ibu beranjak dari dingklik (kursi kecil) -nya sambil berjalan ke belakang. Di dekat tempat cuci piring). Ini juga ada celengan buat cucu. Di sebelah situ, juga ada celengan lagi buat bayar listrik," ucap si ibu sambil tertawa. "Gini-gini dulu lulusan SMEA lho, Pak. Harus ada manajemen keuangan. Kalau tidak begini, habis duitku, ya nggak, Mas" tergagap aku tersenyum. Aku yang sedari awal mengantuk jadi terkesima. "Ilmu, ini ilmu. Perlu ditiru," ucapku dalam hati. Sepuluh ribu harga per porsi lontong tahunya. Setelah kubayar, kukendarai motorku. Jremmm. Tampak Pak Soesilo Toer, sedang sibuk menata botol dari tempat sampah di depan toko pakaian. Motor kupacu. Sampai rumah. Makan lontong. Ibu bakul lontong tadi masih saja terngiang-ngiang di ingatan. Aih, manajer perusahaan tidak harus berpenampilan perlente. Si Ibu contohnya.  Lahap kumakan lontong tahu, tak terasa keringat menetes di mana-mana. Bajuku basah.

0 komentar:

Posting Komentar