Minggu, 05 April 2020

Tentang Temanku

Aku tak tahu haruskah aku bahagia ataukah sebaliknya. Temanku. Si Samanera, aku sering memanggil begitu, ia sebentar lagi akan atau bahkan sudah menikah. Tempo hari ia bercerita kalau tidak ada pandemik korona, dia sudah menikah. "Nuruti emak," katanya.
Mengapa aku katakan bahwa haruskah aku bahagia atau sebaliknya. Pasalnya, dia pernah mengalami goncangan berat pada masa lalunya. Ia cinta berat kepada seorang wanita. Hubungan yang dijalin sudah sedemikian mesra sekalipun LDR-an. Hingga suatu ketika "Saya main ke rumahnya jauh di kota S, dari sana saya diputus. Dia pilih lelaki lain. Sepulang dari sana di tengah perjalanan motor saya dibegal orang. Pulang. Sampai rumah hanya bawa helm. Itu pun kondisi keluarga sedang ada masalah berat," ungkapnya waktu itu. Dia bilang setelah kejadian itu ia mengalami trauma berat. Kisah hidup keluarga yang pelik, ditambah masalah yang dialaminya waktu itu membuat dia selama kurang lebih dua bulan mengurung diri di kamar.
Lama dia mencoba bangkit. Ketika ia bangkit, ia memutuskan untuk menjadi seorang bikhu dan mengesampingkan urusan dunia. Hal ini yang kemudian membuat emaknya bingung. Khawatir tidak akan menikah, emaknya berusaha mati-matian menasihatinya. Ia kemudian kuliah mengambil jurusan agama. Kecewa di jurusan itu. Akhirnya ia pindah kuliah, mulai dari nol ambil jurusan matematika. Dari sini lah kami kenal. Ia yang notabene seusia denganku menjadi adik tingkatku.
Temanku ini luar biasa energik, sangat baik, dan memang luar biasa sehalanya. Darinya aku belajar banyak tentang hidup dan kehidupan. Kami yang tadinya hidup bersama satu kos. Ngopi bareng. Diskusi bareng. Masak bareng. Kini harus berjauhan. Aku lulus duluan. Dua tahun, atau tiga tahun setelahnya, dia lulus. Lalu kerja di Tangerang Selatan. Menjadi guru di sana. Dulu kami masih sering sekali kontak. Mungkin karena aku telah menikah, dia agak rikuh. Masih kontak lewat pesan meski tak sesering dulu. Suatu saat ingin rasanya menulis tentang dia berhalaman-halaman. Semoga terlaksana.
Kini, dia akan, atau bahkan sudah menikah. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Yang jelas aku mencoba memahami. Dia berani ambil sikap, tentu dengan berbagai risikonya. Prinsip hidup dan cita-cita untuk tidak menikahnya dahulu yang membuatku tidak berani ikut untuk ikut mangayubagyo. Khawatir kalau-kalau sikapnya memilih menikah adalah paksaan dan ketidakberdayaannya melawan keadaan. Terlepas dari itu semua aku ingin mengucap selamat kawan. Sampai kapan pun kamu akan jadi guru bagiku.

0 komentar:

Posting Komentar