Rabu, 30 November 2022

Sajak Untuk Bapak dan Ibuku

Tutur katamu adalah titah bagiku
Petuahmu laksana pelita 
Berkerjap-kerjap dalam malam pekat

Tak bisa kubayangkan
Bagaimana sulitnya 
perjalananmu dulu
Membesarkanku
Menimangku
Mendidikku
Mengajariku 
Demi setitik asa
Berharap aku jadi pribadi yang tangguh 
Jadi pribadi yang senantiasa ada di masa tuamu

Oh Bapakku 
Oh Ibuku


Dalam sendu 
Kutulis sajakku untukmu
Kulantunkan namamu 
Dalam doaku
Dalam kesendirianku
Dalam sanubariku 
Dalam ketergesaanku

Untukmu 
Sembah baktiku
Karena 
Seyummu adalah segalaku

(Blora, Rabu 30 November 2022, 20:44) 

Selengkapnya.. - Sajak Untuk Bapak dan Ibuku

Selasa, 29 November 2022

Andai Saja

*Abdul Haris Nur H. 

Jika malam bertambah kelam 
Masih adakah senyummu itu? 
Jika gerimis bertambah deras 
Masihkah kau bertanya padaku
Kapan pulang? 

Lalu padamu 
Kuceritakan kisah-kisah ku
Padamu pula 
Aku berkata sendu 
Mari kita keluar 
Sejenak menghabiskan waktu
bicara tentang ego yang tak perlu

Kasihku
Andai saja setiap dari kita 
Tidak terjebak pada logika 
Pada prasangka 
Pada semua-mua 

Andai saja setiap dari kita 
Bertemu dengan perasaan
Sebagai bahasa 
Tentu melankolika muncul 
Menghancurkan segala-gala

(Blora, Selasa, 29 November 2022. 19:38) 

Selengkapnya.. - Andai Saja

Sabtu, 26 November 2022

Don't Judge The Book from The Cover and The Tittle II

Lanjutan  Don't Judge The Book from The Cover and The Tittle I
Tak lama berselang, kakeknya pun meninggalkannya karena ikut berperang bersama tentara Belanda. saat itu agresi Belanda ke Indonesia. Menjelang dewasa, Dewi Ayu pun jatuh cinta kepada Ma Gedik yang tidak lain adalah cinta mati neneknya. Lalu, Ma Gedik bunuh diri sebagaimana Ma Iyang, nenek si Dewi dulu. Ma Gedik memilih bunuh duri dengan cara terjun dari atas bukit. 

Setting cerita adalah pada masa resesi pendudukan Jepang terhadap Belanda di Indonesia. Dengan datangnya Jepang ke Indonesia, diceritakan Dewi Ayu sama halnya dengan wanita lain ditangkap dan akhirnya dijadikan pemuas nafsu tentara Jepang. Jugun Ianfu. Ia dimasukkan ke dalam bangunan yang luar biasa mengerikan. Sebuah tempat yang dulunya digunakan untuk menghabisi para tawanan. Bersama wanita lain, ia pun hidup sengsara di sana. Bahkan lintah, tikus. cicak, sampai buaya pun pernah dimakannya. Lalu Dewi Ayu bersama wanita lainnya pun dibawa ke sebuah rumah besar peninggalan Belanda kaya. Rumah yang ternyata adalah wahana pelacuran milik Mama Kalong. Awalnya mereka tidak tahu bahwa nantinya mereka akan dijadikan sebagai pelacur. 

Diceritakan bahwa Dewi Ayu adalah wanita yang cerdas, tangkas, dan punya prinsip. Cantik juga tentunya. Bahkan, ia pun akhirnya menjadi wanita idaman. Hingga suatu hari terjadi ketika ada tamu dari Jepang dan menidurinya. Dia memilih untuk bersikap layaknya orang mati. Si Jepang pun menidurinya dengan cepat. Hingga ia pun hamil dan melahirkan anak dan diberinama Alamanda. Seorang wanita cantik yang lahir dengan perpaduan tiga bangsa sekaligus: Indonesia-Belanda-Jepang. Bermata sipit sebagaimana lelaki yang menidurinya itu. Alamanda adalah nama yang diberikan Dewi Ayu. Nama seorang sahabatnya kala itu. 

Alamanda pun besar di lingkungan yang sedemikian mengerikan. Hingga akhirnya JEpang kalah perang dan pasukan rakyat bersenjata datang. Beberapa pasukan pun mencoba memasuki wilayah lokalisasi. Beberapa orang pun dibunuh karena dendam lama terhadap Belanda. Hingga akhirnya lokalisasi ini pun dijaga oleh tentara Belanda yang tersisa. 

Kondisi perpolitikan berangsur-angsur membaik. Dewi Ayu kemudian berutang kepada Mama Kalong untuk membeli kembali rumahnya yang dulu Rumah yang kini telah ditinggali pribumi. Harapan melunasi utang dengan menemukan cincin di kamar mandi tak terwujud. Oleh karena itu, ia pun membayar utang kepada Mama Kalong dengan cara ia tetap menjadi pelacur. Pelacur primadona. Diceritakan kalau sebagian besar warga Halimunda pernah tidur dengannya. Karena apalagi kalau bukan karena kecantikan Dewi Ayu yang luar biasa. 

Selanjutnya, Dewi Ayu dikisahkan memiliki empat orang anak: Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan SI Cantik. Suatu ketika di Halimunda sedang dilanda hama babi. Babi hutan banyak sekali turun ke rumah warga dan merusak pekaraangan. Kondisi seperti ini tidak mampu diatasi oleh warga. Ditunjuklah Sang Shodhancho. Seorang gerilyawan yang mampu memporakporandakan Jepang dan KNIL. Seorang yang dianugerahi gelar "Panglima Besar". Merasa jengah dengan anugerah tersebut, Ia memilih mengasingkan diri di hutan. Tempatnya dulu bersembunyi sebagai gerilyawan. 

Dalam CiL juga dituliskan bagaimana orang-orang merayakan dan mengumandangkan kemerdekaan. Mereka memercayai bahwa Proklamasi Indonesia adalah tanggal 23 September. Bukan 17 Agustus. Hal ini terjadi karena adanya keterlambatan informasi. Informasi tentang terproklamirkannya kemerdekaan Indonesia didapat karena ada tentara Peta yang ditemaukan mati di pantai. Mayat ditemukan dengan kondisi terdapat bekas sabetan sangkur dan perut mengembung. Teks proklamasi diambil dari mulutnya yang tampaknya si mayat sengaja menelannya hingga akhirnya dibunuh Jepang. Dia dibunuh supaya orang di Halimunda tidak tahu kondisi bahwa Indonesia telah merdeka. 

Shodancho diceritakan jatuh hati kepada Alamanda, anak pertama Dewi Ayu. Sedangkan Alamanda tidak suka dengannya. Dengan semangat pejuang yang tak pernah mengalami kekalahan, ia mendatangi Dewi Ayu di pelacuran untuk meminta agar Alamanda mau menjadi istrinya. Dewi Ayu tidak bergeming. Ia menyarankan Sang Shodancho untuk mengatakan sendiri hal ini kepada Alamanda. Karena kalimat ini pula Dewi Ayu ditodong psitol kemudian ditiduri Sang Shodancho. 

Geger. Seluruh Halimunda menjadi geger karena ultimatum Maman Gendeng dilanggar. Maman Gendeng adalah seorang veteran gerilyawan yang sebelumnya patah hati karena pujaan hatinya lebih mencintai lelaki pincang. Ia akhirnya ke Halimunda, berharap bisa menikahi wanita cantik bernama Rengganis. Harapan untuk bisa menikah dengan Rengganis pupus. Rengganis ternyata telah tiada. Lama sekali. Rengganis, kisah wanita cantik yang akbhirnya memilih menikah dengan seekor anjing. Ia adalah seorang putri yang sangat cantik. Semua orang terpesona dengannya, tidak terkecuali ayahnya sendiri. Karena inilah Rengganis menjadi terancam ketika ia keluar istana. Takut kalau terjadi apa-apa. Karena mendengar cerita inilah Maman Gendeng bersemangat untuk datang ke Halimunda. Berharap ia kembali menemukan perasaan jatuh cintanya kembali. 
Next di Don't Judge The Book from The Cover and The Tittle yang ketiga ya. 

Selengkapnya.. - Don't Judge The Book from The Cover and The Tittle II

Kamis, 24 November 2022

DON'T LOOK THE BOOK JUST FROM THE COVER AND THE TITTLE

Sudah lama rasanya aku tahu kata Cantik itu Luka. Bagaimana tidak, sebuah kata yang simpel tapi magis. Lagi-lagi sebagaimana yang aku alami. Banyak kata, banyak kalimat yang dengan sangat mudah nancep di otak. Kok bisa ya? Kok nggak sedemikian dengan angka?  Mungkin efek dari nasihat dosendku  dulu, "Setidaknya kalau belum punya uang untuk beli buku sering-seringlah ke pameran dan toko buku biar tahu cover dan judul-judul bukunya dulu," begitu kata dosenku dulu. Kupraktikkan. sering dulu jalan-jalan ke Sosial Agency, ke Soping, bahkan sampai mengunjungi beberapa penerbit buku. Berharap bisa beli buku dengan harga murah. Kebiasaanku ini ternyata berlanjut di era serba teknologi. Beranda instagram dan facebookku pun banyak postingan orang jualan buku. Baik buku bekas, buku lawas, maupun buku baru. Walau sudah tahu cover dan nama pengarangnya, aku masih belum tahu apa isinya dan sepeeti apa riwayat hidupnya. 
 
Kapan persisnyanya keinginan untuk beli buku ini, aku pun lupa. Seingatku, adalah ketika sampai tengah perjalanan baca Hoa Kiau di Indonesia. Sebagaimana biasa kulakukan, sebelum buku khatam  harus ada buku yang masuk daftar tunggu. Waiting list begitu kata anak sekarang. Harapannya biar nanti kalau satu buku selesai, tidak usah menunggu lama. Ketika kubaca Hoa Kiau sampai setengah, CIL sudah terbeli. Kubeli via Shopee seharga Rp 130.000,-. Ternyata mahal juga ya. Walhasil, Hoa Kiau tinggal seperempat akhir kuletakkan karena  udah keburu unboxing CIL. Habisnya penasaran sih. 

Pelan-pelan kubuka CIL terbitan 2018. Dari segi cover, buku ini sangat artistik. Yah, sempat kebingungan juga menerka korelasi antara judul buku dengan ilustrasin coverya. Secara ilustrasi, gambar gunung dan sunset berdiri kokoh sebagai background. Menarik juga. Satu yang menurutku berani adalah penggunaan warna cover dominan merah. Apa sih ini maksudnya? Tentunya warna merah kan berarti berani. Masih saja kuterka-terka apa sih maksudnya?

Sebagaimana biasa kulakukan ketika membeli buku baru. Segera kusampuli. Kutandatangani ujung kanan atas halaman. Tak lupa kutulis pula tanggal belinya. Setelah itu  kubuka halaman akhir, berharap ada tulisan tentang riwayat hidup pengarang. Kutemukan kata-kata ampuh yang membuat mataku terbelalak. Kata-kata yang memaksa memoriku tersedot kembali pada saat pertama datang ke Jogja. Ya, kata-kata itu adalah kumpulan judul esai dan karya-karya Eka Kurniawan. Untuk  mendapatkan informasi lebih jelas segera kugoogling. Ketemu! Ternyata ia yang menulis Realisme Sosialis Pramoedya Ananta Toer. Sebuah buku yang dulu kubeli di pasar buku loak, Soping, Jogja. Awal kuliah dulu. Kubeli buku ini karena cukup malu saat ditanya salah satu dosen sastraku tentang Pram. Waktu itu aku yang asli Blora tidak tahu siapa itu Pram. Malu. Habis di sekolah dulu tidak pernah diberitahu siapa itu Pram. Sekarang sih, hampir sebagian besar buku karya Pram sudah habis kubaca. Singkat cerita, Realisme Sosialis Pramoedya Ananta Toer waktu itu kubeli sebagai obat penghilang malu. Berharap kutemukan titik cerah siapakah Pram itu. Buku Realisme ini kudapatkan di tumpukan buku bekas. Buku obralan. Rp 10.000 harganya waktu itu. Ohhh siapa sangka aku pernah membacanya dulu. Dulu sekali. Tidak paham tentunya karena buku ini adalah tesis atau skripsi Eka, aku lupa. Bahasanya formal. jadi sulit sekali dipahami. Pemula lagi.

Layaknya de Javu. CIL yang ada di tanganku ini adalah buku dengan pengarang yang sama dengan buku yang kubaca waktu awal kuliah. Baru aku tahu bahwa si Eka bukanlah anak sastra. Justru anak filsafat. Geleng-geleng kepala tak berkesudahan. Jujur saat awal beli buku ini aku sempat ragu. Gimana enggak? Judulnya! Nggak genreku banget kalau baca judulnya. Klimaks nggak ya nantinya kalau baca buku ini? seperti itulah pemikiranku waktu itu. Cukup lama dilema itu muncul. Apalagi ketika Norwegian Woodnya Haruki Murakami khatam. Duh! Pecah kayak Norwegian Wood nggak ya? Begitu terus. 

Akhirnya kubuka lembaran awal. Halaman pertama selalu menjadi tantangan tersendiri bagiku. Terlebih ketika mulai membaca buku dengan pengarang yang baru kukenal. Kukatakan baru karena dulu aku  baca Realisme Sosialis bukan dalam bentuk prosa. Dan benar! Aku cukup kesulitan beradaptasi dengan gayanya. Pelan-pelan. Lembar demi lembar CIL kubaca. 

Bermula dari tokoh Dewi Ayu. Indo yang lahir dari Henri dan Aneu Stamler. Inses! Perkawinan sedarah yang rasanya sampai sekarang pun tidak akan direstui. Mereka pun kabur dan meninggalkan anaknya. Dewi lalu diasuh kakeknya. 
(Lanjut di halaman kedua ya!)
Selengkapnya.. - DON'T LOOK THE BOOK JUST FROM THE COVER AND THE TITTLE

Rabu, 23 November 2022

Tanyaku

Debu menderu 
Berpacu dengan rindu 
Peluh mendera 
 Di kulit gelisah 

Sejauh mata memandang 
 Tampak jati nan rindang 
 Berkelit kelindan dengan nasib 
Bak binatang buruan 


Oh Bloraku 
 Dalam hatiku sendu 
 Bertanya slalu 
 Adakah setitik asa 
 Pengobat kalbu 
 Untukmu masa depan anak cucuku
Selengkapnya.. - Tanyaku