Kamis, 24 November 2022

DON'T LOOK THE BOOK JUST FROM THE COVER AND THE TITTLE

Sudah lama rasanya aku tahu kata Cantik itu Luka. Bagaimana tidak, sebuah kata yang simpel tapi magis. Lagi-lagi sebagaimana yang aku alami. Banyak kata, banyak kalimat yang dengan sangat mudah nancep di otak. Kok bisa ya? Kok nggak sedemikian dengan angka?  Mungkin efek dari nasihat dosendku  dulu, "Setidaknya kalau belum punya uang untuk beli buku sering-seringlah ke pameran dan toko buku biar tahu cover dan judul-judul bukunya dulu," begitu kata dosenku dulu. Kupraktikkan. sering dulu jalan-jalan ke Sosial Agency, ke Soping, bahkan sampai mengunjungi beberapa penerbit buku. Berharap bisa beli buku dengan harga murah. Kebiasaanku ini ternyata berlanjut di era serba teknologi. Beranda instagram dan facebookku pun banyak postingan orang jualan buku. Baik buku bekas, buku lawas, maupun buku baru. Walau sudah tahu cover dan nama pengarangnya, aku masih belum tahu apa isinya dan sepeeti apa riwayat hidupnya. 
 
Kapan persisnyanya keinginan untuk beli buku ini, aku pun lupa. Seingatku, adalah ketika sampai tengah perjalanan baca Hoa Kiau di Indonesia. Sebagaimana biasa kulakukan, sebelum buku khatam  harus ada buku yang masuk daftar tunggu. Waiting list begitu kata anak sekarang. Harapannya biar nanti kalau satu buku selesai, tidak usah menunggu lama. Ketika kubaca Hoa Kiau sampai setengah, CIL sudah terbeli. Kubeli via Shopee seharga Rp 130.000,-. Ternyata mahal juga ya. Walhasil, Hoa Kiau tinggal seperempat akhir kuletakkan karena  udah keburu unboxing CIL. Habisnya penasaran sih. 

Pelan-pelan kubuka CIL terbitan 2018. Dari segi cover, buku ini sangat artistik. Yah, sempat kebingungan juga menerka korelasi antara judul buku dengan ilustrasin coverya. Secara ilustrasi, gambar gunung dan sunset berdiri kokoh sebagai background. Menarik juga. Satu yang menurutku berani adalah penggunaan warna cover dominan merah. Apa sih ini maksudnya? Tentunya warna merah kan berarti berani. Masih saja kuterka-terka apa sih maksudnya?

Sebagaimana biasa kulakukan ketika membeli buku baru. Segera kusampuli. Kutandatangani ujung kanan atas halaman. Tak lupa kutulis pula tanggal belinya. Setelah itu  kubuka halaman akhir, berharap ada tulisan tentang riwayat hidup pengarang. Kutemukan kata-kata ampuh yang membuat mataku terbelalak. Kata-kata yang memaksa memoriku tersedot kembali pada saat pertama datang ke Jogja. Ya, kata-kata itu adalah kumpulan judul esai dan karya-karya Eka Kurniawan. Untuk  mendapatkan informasi lebih jelas segera kugoogling. Ketemu! Ternyata ia yang menulis Realisme Sosialis Pramoedya Ananta Toer. Sebuah buku yang dulu kubeli di pasar buku loak, Soping, Jogja. Awal kuliah dulu. Kubeli buku ini karena cukup malu saat ditanya salah satu dosen sastraku tentang Pram. Waktu itu aku yang asli Blora tidak tahu siapa itu Pram. Malu. Habis di sekolah dulu tidak pernah diberitahu siapa itu Pram. Sekarang sih, hampir sebagian besar buku karya Pram sudah habis kubaca. Singkat cerita, Realisme Sosialis Pramoedya Ananta Toer waktu itu kubeli sebagai obat penghilang malu. Berharap kutemukan titik cerah siapakah Pram itu. Buku Realisme ini kudapatkan di tumpukan buku bekas. Buku obralan. Rp 10.000 harganya waktu itu. Ohhh siapa sangka aku pernah membacanya dulu. Dulu sekali. Tidak paham tentunya karena buku ini adalah tesis atau skripsi Eka, aku lupa. Bahasanya formal. jadi sulit sekali dipahami. Pemula lagi.

Layaknya de Javu. CIL yang ada di tanganku ini adalah buku dengan pengarang yang sama dengan buku yang kubaca waktu awal kuliah. Baru aku tahu bahwa si Eka bukanlah anak sastra. Justru anak filsafat. Geleng-geleng kepala tak berkesudahan. Jujur saat awal beli buku ini aku sempat ragu. Gimana enggak? Judulnya! Nggak genreku banget kalau baca judulnya. Klimaks nggak ya nantinya kalau baca buku ini? seperti itulah pemikiranku waktu itu. Cukup lama dilema itu muncul. Apalagi ketika Norwegian Woodnya Haruki Murakami khatam. Duh! Pecah kayak Norwegian Wood nggak ya? Begitu terus. 

Akhirnya kubuka lembaran awal. Halaman pertama selalu menjadi tantangan tersendiri bagiku. Terlebih ketika mulai membaca buku dengan pengarang yang baru kukenal. Kukatakan baru karena dulu aku  baca Realisme Sosialis bukan dalam bentuk prosa. Dan benar! Aku cukup kesulitan beradaptasi dengan gayanya. Pelan-pelan. Lembar demi lembar CIL kubaca. 

Bermula dari tokoh Dewi Ayu. Indo yang lahir dari Henri dan Aneu Stamler. Inses! Perkawinan sedarah yang rasanya sampai sekarang pun tidak akan direstui. Mereka pun kabur dan meninggalkan anaknya. Dewi lalu diasuh kakeknya. 
(Lanjut di halaman kedua ya!)

0 komentar:

Posting Komentar