Kamis, 09 April 2020

Jangan Ngaku Laki-laki Kalau Belum...

Hujan menyapu kegelapan malam. Petir menyambar-nyambar. Hawa dingin timbul perlahan menyelimuti semua-mua. Seolah menjadi makmum masbuk kepada hujan yang telah lama datang. Pada kondisi seperti ini rasanya tiada yang lebih kuasa selain sepi. Dimana-mana sepi. Jalanan sepi, warung makan sepi, terminal sepi. Hujan menampakkan kuasanya. Suara-suara gaduh mesin kendaraan dan mesin televisi sirna sudah, berganti dengan suara kemrasak air dan gelegar petir.
Aku yang tertunduk membaca Lemah Abang karya Damar Shashangka pun was-was. Sesekali kulihat anakku yang tertidur di gendongan neneknya. Takut kalau-kalau terbangun karena kaget mendengar suara petir.
Ya. Aku tidak menyangka kalau sekarang aku sudah punya anak. Cepat sekali. Rasanya baru kemarin diskusi, ngopi-ngopi, keluar-masuk kampus, dan mencoba bersetia kepada prinsip untuk tidak menikah. Yah, kalau memang jalannya adalah tidak menikah, aku siap untuk tidak menikah. Bukankah Plato juga demikian? Pikirku waktu itu. Biara tentang masa lalu. Apa yang tidak melenakan, kecuali kenangan masa lalu. Kenangan masa lalu sering hadir dan menjebak manusia untuk masuk dan berromantisme terlalu dalam.
Di sebelah kanan tampak anakku masih tertidur pulas dan ditaruh di kasur lantai oleh neneknya. Baru enam bulan usianya. Lalu kulanjutkan membaca. Dua tiga halaman halaman kubalik. Istriku keluar dengan wajah muram.
"Jangan lupa pembalut sama bubur sudah habis," ucapnya.
"Iya, tunggu hujan agak reda," sahutku sambil melihatnya sekilas kemudian melanjutkan membalik lembar demi lembar. Istriku kembali ke kamar merapikan tempat tidur.
Kututup buku. Segera ke belakang untuk salat Isya, kemudian mengeluarkan sepeda motor dari garasi. Hujan bukannya mereda malah tambah deras. Kugas sepeda motor. Meluncur menuju Indomaret. Tanpa payung, tanpa jas hujan. Biar basah toh hujan juga anugerah, mengapa harus dihindari? Begitu masuk Indomaret, mata secara otomatis mencari-cari rak pembalut. Weik, banyak sekali jenisnya. Lama aku terdiam di depan rak. Bingung. Sambil mengamati bermacam-macam pembalut, aku jadi teringat ucapan temanku tempo hari.
"Jangan ngaku laki-laki kalau belum menunggui istrimu melahirkan dan mengazani anakmu!"  Di Indomaret ini hanya ada tiga pelayan. Dua pelayan laki-laki yang menata rak display dan satu kasir wanita yang mengotak-atik komputer. Tahu aku sedang bingung, si Mbak kasir datang menghampiri. Tergerarap saat dia memegang pundakku dan bertanya "Nyari apa Mas?" " Ini lagi nyari yang nyaman Mbak." "Oh iya, silakan Mas," ucap si kasir sambil terheran-heran melihatku. Lhah ini di tanganku tahu-tahu ada sebungkus pembalut berwarna hitam. "Sejak kapan aku ambil pembalut itu. Sial! Pantas saja si kasir itu terheran-heran. Mana masih sesekali mengamati lagi," gumamku dalam hati. "Ya ampun. Ini. Ini juga kan termasuk ini," hatiku terus bergumam. Segera kuambil kotak bubur di etalase. Lalu kubayar. Entah kenapa dua pelayan lelaki yang sedari tadi menata display dagangan juga melihat ke arahku dengan tatapan aneh sambil tersenyum-senyum. Sial. Martabatku anjlok. Usai bayar, lalu ngacir pulang. Basah, basah deh. Suatu saat nanti kalau nanti bertemu kawanku aku akan bilang, "Woi, tambahi woi. Tambahi satu lagi. Kalian jangan ngaku laki-laki kalau belum menunggui istri melahirkan, mengazani anak saat lahir, sama MEMBELIKAN PEMBALUT BUAT ISTRI!" Mau kalimatnya jadi panjang, biarin. Sampai rumah kuberikan pembalut dan bubur kepada istri sambil senyum-senyum sendiri. Lalu duduk,  di depan. Mengambil hp. Melihat pesan. Si Mila, muridku bertanya alasan mengapa saya suka nomor 9? Dia bilang barusan dia baca buku. Di buku disebutkan bahwa angka 9 adalah angka kesuksesan. Lalu dia teringat kepadaku yang suatu ketika pernah menyampaikan kesukaanku dengan nomor sembilan di kelas. Kemudian menjawab si Izanaya, muridku yang bertanya melalui pesan pribadi mengenai tanggapanku tentang novel sejarah. Alhamdulillah anak-anak sudah mulai suka membaca.

0 komentar:

Posting Komentar