Sabtu, 17 Juni 2023

Celoteh Pagi Hari

    Kunikmati pagi ini dengan segelas besar kopi. Ya. Layaknya orang yang sedang balas dendam lantaran sudah sekian lama tidak pernah minum kopi. Alunan lagu slow rock barat juga menggema di speaker bluetoothku. Kini giliran White Lion dengan You're All I Need berteriak-teriak saingan dengan burung kenari di kurungan. Musik mengalun perlahan. Seperlahan itu pula kuseruput kopi tubrukku. Cleguk. Cairan hitam perlahan turun membasahi kerongkongan dengan rasa yang tak bisa dijabarkan. Kata orang kopi adalah minuman para sufi. Benar tidaknya aku pun tidak tahu. Yang kutahu aku sudah kecanduan minum kopi sehabis sarapan. Telat minum kopi saja sepuluh menit saja kepalaku sudah pusing. 

    Pagi ini seperti pagi yang lain. Orang berlalu-lalang lewat depan rumah. Mulai dari tukang becak. Anak-anak kecil bersepeda sambil bercengkerama dengan temannya. Kendaraaan roda berat pun serasa saling kejar seolah berlomba untuk mendapatkan trofi termahal. Sementara aku masih ketak-ketik di ruang sebelah. Entah mengapa ingin sekali rasanya bercerita di blog.Cerita dimulai darimana ya? Ah ya Jumat lalu. Jumal lalu akhirnya kusempatkan menonton film Eat, Pray, Love. Film yang diangkat dari novel dan dibintangi Julia Robert ini rasanya menarik perhatian. 

    Kepenasarananku muncul karena judulnya yang memikat. Disadari atau tidak ketika travelling atau bepergian kemanapun, atau bahkan dalam skala lebih besar hidup ini tidak bisa lepas dari tiga kata ini. Tentang lokasi syuting di Bali yang sempat menggegerkan Indonesia, bagiku hanyalah faktor lain yang menyebabkan aku penasaran. Eat, Pray, Love. Makan, Doa, dan Cinta. Tiga kata ini nampaknya tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Sayangnya film ini tidak terlalu bisa memenuhi ekspektasiku. Kukira dalam film dijelaskan mengenai filososfi judulnya. Memang digambarkan beberapa kali si Julia pergi ke beberapa tempat di berbagai negara. Sampai akhirnya tiba lah dia di Bali yang akhirnya mengubah hidupnya dengan menemukan cintanya di sana. Spiritual journey yang diceritakan dalam film menurutku kurang mendapat highlight. Apa mungkin karena keperluan pasar? Entahlah. Hanya saja bagiku tiga kata itu begitu nancep di kepalaku. Semenancep nama yang diberikan anakku kepada dua anak hamsternya. Yang satu diberi nama Cimil sedangkan yang kecil diberi nama Cip-Cip. Kok keren ya namanya? Nama yang sangat imut nan lucu. Sespontan itu dia memberi nama malah jadi keren.  Sementara aku selalu kesulitan ketika memberi nama. Ketika nama sudah ketemu, yah kurang keren biasanya. Apa terlalu sibuk mencari makna yang terkandung di dalamnya ya?

    Kembali ke Eat, Pray, Love. Kalau Koko berada di sini mungkin dia akan bercerita banyak dan bisa menafsirkan kata-kata ini. Tentu dia akan bicara lebih banyak tentang kemelekatan dan penderitaan. Bahwasanya kemelakatanlah sumber dari penderitaan. Begitu dia sering berkata dahulu ketika di kos. Bukankah ketiga kata ini pun sumber utama kemelekatan? yang dengan tiga kata ini manusia seolah Kita seperti memasuki lubang cacing. Bagai masuk ke dalam labirin yang tak pernah ketahuan mana ujungnya. Roda samsara, begitu kata Koko dulu. Ah. kawanku ini. Apa yang dilakukan sekarang ya? Kangen juga. Lama sudah rasanya tidak bertegur sapa. Mungkin saja sekarang dia sedang menikmati secangkir kopi sepertiku dan menggendong anaknya yang masih kecil. Semoga hal-hal selalu membersamaimu saudaraku. 

    Di tengah kekangenan ini, rasanya ada yang menurun drastis dari hidupku. setahun lalu, logikaku dikuras terus diajak berpikir kritis oleh anak-anak PMA (Pena Emas Al Banjari). Banyak sekali pertanyaan yang terus-menerus memaksaku berpikir keras. Mencari jawaban. Setelah dapat kemudian berusaha mengolahnya untuk bisa kusampaikan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Namun kini ruang diskusi yang pernah kugagas dan mendapatkan restu dari ketua yayasan tempatku bekerja ini bubar. Padatnya waktu anak-anak untuk berdiskusi, kondisi eksternal yang kurang supportif, dan berbagai hal lainnya menjadikan studi klub ini seolah menabrak tembok besar yang susah sekali dirobohkan. Akhirnya, kondisi semakin macet ketika beberapa di antara mereka lulus sekolah. Ada yang melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, ada yang bekerja, ada juga yang melanjutkan ke pesantren lain. Ya. minimal dulu pernah ada studi klub seperti ini di sini, begitu kata hatiku untuk menyenangkan diri sendiri. 

    Walau bagaimanapun harus tetap survive bukan? Tentu! "Entah bagaimana caranya harus tetap survive," kataku dalam hati. Untungnya masih ada teman-teman Maiyah Lumbung Bailorah yang selalu mengajak logika dan hatiku terseret-seret untuk mencari-cari jawaban dari berbagai pertanyaan seputar kehidupan. Selain itu alhamdulilah hobiku yang dulu masih terpelihara dengan baik. Baca buku. Beli buku. Baca buku. 

    Tentang buku, kini aku sedang suka-sukanya baca Haruki Murakami. ketertarikanku dengan Haruki mungkin bermula dari Eiji Yoshikawa. saat itu rasanya jenuh dengan bacaan sejarah Jawa, eh malah kesasar dengan membaca dua karya mahadahsyat Eiji. Mushashi dan Taiko, ketertarikanku untuk mengetahui lebih banyak tentang Jepang membuatku mencari-cari buku dan berbagai informasi tentang Jepang. Terlebih tentang samurai. Tak tahu bagaimana mulainya, tiba-tiba Norwegian Wood-nya Haruki sudah sampai rumah. Setelah kubooking dari intagram, buku bekas ini pun nangkring di meja. Berhari-hari kubaca buku ini. Seusai khatam, sekalipun sudah kuseling dengan Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan eh kembali lagi Haruki Murakami yang masuk wating list. Buku itu akan memilih pembacanya, begitu kata orang bukan? Trilogi 1Q84 akhirnya kubeli. Tentu masih tetap istiqomah dengan buku bekas pastinya. Heran nggak tahu kenapa hal-hal yang setengah pakai dan lawas selalu mendapat ruang tersendiri dalam hatiku. Usai Baca CiL, 1Q84 pun kulahap pelan-pelan. Alur yang lambat kadang membuatku bosan untuk menikmati buku ini. Tapi ya mungkin begitu kali ya. Ketika bosan, letakkan. Dan kembali lagi dibaca kalau bosannya sudah berlalu. Akhir Ramadan kemarin 1Q84 selesai sudah. Tentang Kawana Tengo yang akhirnya bertemu Aomame. Sementara alur masih menggantung. Open Ending. 

    Buku yang di dalamnya menceritakan unsur kejiwaan yang luar biasa menurutku. hal-hal psikologi sangat diaduk-aduk dalam novel ini. Tak berbeda jauh dengan Norwegian Wood, Haruki masih setia dengan jalur genre psikologi dibumbui dengan cerita seks yang mebuat kisah ini jadi tidak terlampau berat. Oh, sebelas dua belas dengan CiL ya? Usai baca 1Q84 sebenarnya mulai tertantang untuk membaca Kafka on The Shore. Sayang, tak kutemukan buku ini. Sekalipun ada, harganya melambung tinggi. Bahkan kemarin saat akhirnya bisa bernostalgia dengan Soping, Jogja (sebuah pasar buku legendaris di Jogja) tak juga kutemukan Kafka. Ada sih, tapi yang KW. Ah daripada keburu beli yang KW lain waktu aja ah.  Kalau KW kan sayang. Akhirnya ketika Kafka masih cukup alot untuk ditemukan, Lelaki Lelaki Tanpa Perempuan yang akhirnya kubaca. Ketika kutulis cerita di blog ini, Lelaki-Lelaki Tanpa Perempuan-nya Haruki masih sisa setengah buku. Padahal tidak terlalu tebal, tapi kok belum selesai. Aku juga heran kenapa kok bisa jadi pemalas begini ya. Apa iya karena intensitas harianku yang terlalu melelahkan sampai akhirnya ketika malam ngantuknya tak tertahankan? Ah, kayaknya enggak deh. Nyatanya mainan HP masih saja sering kulakukan bahkan kadang sampai larut malam. Kalau sudah kena gadget virus entah mengapa semua jadi malas. Inginnya hanya rebahan. Ketika lihat jam, lho udah jam segini. Bangun dengan agak malas dan ketika sudah melakukan hal-hal lain jadi tergesa-gesa. Takut terlambat. Apakah kamu pun demikian?


0 komentar:

Posting Komentar