Rabu, 03 Oktober 2012

Kobaran Mading Teman Kecil

Mungkin hari ini adalah hari yang spesial buat teman-teman kecil. Setelah sebelumnya kami berdemokrasi mini, kini saatnya mereka mengutarakan isi hatinya. Maksudnya?
Teman kecilku ini baru saja berseragam putih biru, kawan. Mereka baru saja menanggalkan baju setelan putih merah kebanggaannya dulu. Kembali ke cerita di atas. 
Beberapa hari yang lalu, kucurahkan ideku untuk membuat mading. Dahsyat. Tanggapan mereka sangat hebat. Sebelum bercerita panjang lebar mengenai mading, perlu kalian ketahui dulu sekolah tempat kami belajar. 

Sekolah kami baru saja berdiri. Tahun ini kami mendapat dua kelas. Tiga puluh satu putra dan dua puluh delapan putri. Kelas dibagi menjadi dua. Kelas putri VIIA dan kelas putra VIB. Oiya, kawan sekolah kami juga bersistem Boarding School. Artinya apa, aku pun kurang tahu. Yang kutahu, sekolah kami ini di bawah naungan Pondok Pesantren. teman-teman kecil setelah sekolah reguler kembali ke pondok. Melanjutkan kegiatan mengikuti sistem pondok pesantren. Di sinilah sekat antara putra dan putri harus dijaga, menurut sistem di sekolahku lho. 
Karena masih baru, kami masih harus banyak belajar. Dari sistem administrasi, pengajaran, pembangunan, semuanya deh. Tapi jangan salah, sekolah kami diisi oleh insan-insan yang benar-benar hebat. Setiap hari, kami diwajibkan salat duha, setelah itu dilanjutkan hapalan Al Quran. Di sini aku diminta untuk membantu menyimak. Wah, hapal saja nggak. Kata teman-teman guru yang lain, nggak apa-apa, nyimaknya sambil baca. Mereka juga bilang kalau bacaan Al Quranku bagus. Ini pasti ulah guru-guru, pasti ini. 
Kembali ke mading. Semula masih ragu mau mengusulkan ide ini. Kenapa? Ya, karena lembaga pendidikan ini masih baru, tentu banyak biaya yang dikeluarkan. Putar otak. Plan A. Rencananya gajiku mau kulemparkan ke papan white board, lakban, dan sebagainya. Apalah arti uang dibanding senyuman mereka. Hingga akhirnya sampailah pasa saat yang berbahagia, dan dengan mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia... Hari itu, dengan segala risiko yang mungkin kuterima, usul kusampaikan dalam rapat. Hasilnya? Kurang mendapat perhatian. Ah, sial. Padahal, sudah kupikirkan jauh ke depan. Mading inilah satu-satunya cara untuk berkarya dan menghibur diril. 
Seperti geledek yang datang tiba-tiba, hal yang mengejutkan datang. Kepala Sekolah memberikan tanggapan yang lumayan. Bahan mading? Pusing juga. Aku dan Kepala Sekolah pun mencari-cari papan triplek di bekas runtuhan bangunan rumah. Mungkin saja ada. Ternyata Nihil. Entah apa yang menarik mataku. Refleks kuambil bekas pintu. Masih jadi satu dengan engselnya. Ah ini saja. Sedikit modifikasi dengan barang tidak terpakai. Ditambah bingkai dari kayu ventilasi yang dibalut lakban hitam. Jadi juga. Jujur, manggut-manggut aku tersenyum bangga. Percaya nggak percaya mading kami 0 rupiah. Tampilannya juga manissss.... 
Papan mading sudah ada. Ornamen sudah dibuat. Tinggal karya teman-teman belum masuk. Kuadakan pemilu kecil-kecilan dengan sedikit orasi calon kandidat. MTerpilihlah Pemimpin Umum (PU), Editor, Lay Outer, sekretaris, bendahara, dan anggota. Kepengurusan sudah jadi Masing-masing kepengurusan berlaku untuk satu kelas. Jadi jumlah keseluruhan pengurus ada dua. Putra dan putri. Menarik. Ini hari, naskah sudah terkumpul di kelas putra. Setelah sebelumnya kelas putri menerbitkan karyanya. Sedikit kesalahan, tak apa. Bagian dari proses belajar. Naskah sudah ada. Jadi mau nggak mau harus ada rapat pengurus. Untuk pertama kalinya. Dengan memanfaatkan waktu yang sama sekali tidak efektif. Kami rapat. Mungkin teman-teman belum pernah ikut dalam suatu perapatan. Terbukti dari cara mereka yang agak kaget, kaku, bingung. Akhirnya dengan sedikit penjelasan: rapat mading, oke! Minat mereka hebat. Ide-ide cemerlang muncul. Setelah rapat dibubarkan. Kubakar semangat merka dengan sedikit hentakan Hacurkan! (untuk mengganti kata lakukan yang bagiku terlalu memerintah seolah penguasa saja). Mereka beranjak. Masing-masing pengurus langsung menjalankan tugas sesuai Job Des. Jadinya seperti apa? Tinggal kita lihat besok. Buatku, hasil itu nomor sekian. Proses itulah yang lebih utama dari yang kesekian tadi. Terus semangat teman kecilku. Dengan segala keterbatasan kalian akan menjelajahi dunia tanpa batas. (Sebenarnya ada foto mading, saya lupa mengcopy. Maklum hape jadul kameranya ngeden. Insya Allah besok-besok saya bawakan gambar yang difoto dengan kamera digital).

0 komentar:

Posting Komentar