Senin, 01 Oktober 2012

Berguru kepada Masyarakat Samin (Jilid 4)

Agak lama menanti cerita ya. Maaf. Dengan bantuan dari seorang kawan, tampilan ini sekarang jadi tidak membosankan. Sudah nggak kaku kayak tembok pemerintah lagi bukan? Saya ucapkan terima kasih buat Mbak Kanjeng Ratu Lebah atas bantuannya ngubah tampilan (demi mematuhi kode etik jurnalistik, saya tulis nama walau agak takut kena damprat. Maklum izin tertulis perihal nama ini belum ada. Alias belum dilegitimasi oleh yang bersangkutan. Akan tetapi, aku yakin dia akan selalu tersenyum jengkel tiap dipanggil dengan nama ini, biarlah). Lanjut lagi. Sampai dimana kita? Oiya, Sampailah kami ke rumah salah seorang Samin tersebut. Sebelum masuk lebih jauh. 

Tahukah kau kawan, siapakah masyarkat Samin itu?? Banyak yang menjawab tapi dari katanya, kata orang atau kata siapapun.
Banyak buku referensi yang membedah siapakah sosok samin itu sendiri. Salah satunya ini saya punya buku tentang Samin. Judulnya Masyarakat Samin, Siapakah Mereka? karangan R. P. A. Soerjanto Sastroadmojo terbitan Narasi, Yogyakarta (2003). Kalau mau cari teori tentang masyarakat Samin, coba cari di buku-buku referensi atau googling saja. Tapi kalau mau tahu dari pengalaman saya. Nah, mari kita berbagi. 
Waktu itu, kutanyakan pada beliau (salah satu penganut faham Samin) "Asmane sinten? (namanya siapa?) ," tanyaku. Dijawab "lanang (laki-laki)". Lhoh? kaget juga mendengarnya.   Unik bukan?
Tapi memang begitulah. Bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Samin agak berbeda dengan bahasa Jawa kebanyakan. ujung-ujungnya, Sial. Bapak yang satu ini termasuk dalam salah satu jajaran The Cold Man. Dingin. Tertutup. Tak banyak omong. Wah, mesti pandai-pandai cari pertanyaan nih. Lebih sial lagi, kawan-kawan KPM sering bertanya menggunakan bahasa Indonesia. Terang saja Beliaunya bingung. Ini karena bahasa ibu lebih sering digunakan daripada bahasa nasional. Nah, kawan-kawan LPM  lebih bingung lagi. Gimana tidak? mereka tidak terbiasa dengan bahasa Jawa dengan tataran kasta di dalamnya. Dalam hal ini, aku yang sering terjun, Kawan. Dengan bahasa Jawa Kromo Inggil sangat terbatas kutengahi mereka. Barulah kusadari bahwa bahasa Jawa penting juga. Makanya jangan sampai  deh bahasa daerah tergerus zaman. 
Bermusuhkan lawan tutur yang demikian, kami hening. Kaku. Stagnan. Kehabisan bahan. Kami pun saling pandang. Seolah tahu maksud masaing-masing, kami menganggukkan kepala.
Walau tak banyak informasi yang kami peroleh, kami putuskan untuk berpamitan. Ada hal yang sangat mencengangkan. Ketika kami pulang, sengaja kami berikan bungkusan kecil berisi mie instan. Mie yang semula menjadi logistik tapi tak jadi dimasak. Habisnya, kalah enak sama makanan pemberian Pak Lurah. 
Si Bapak bilang "Wah nopo niki? Mboten usah (Wah apa ini? enggak usah)," kata si Bapak. Dengan cepat kami katakan "Niki kangge Bapak, ngapuntene mboten kathah (ini buat Bapak, Maaf nggak banyak)", sahut kami. "Sekedhap-sekedhap njenengan tiliki rumiyin. Menawi wonten artane, kula mboten saget nampi (Sebentar-sebentar, kalian lihat dulu, kalau ada uangnya di dalam Saya nggak bisa menerima)." Setelah dipastikan bahwa di dalamnya tidak ada uang, barulah Si Bapak mau menerima sambil mengucap terima kasih. 
Pelajaran hidup pertama.  Masyarakat Samin tidak suka diberi uang. Mereka akan lebih bangga dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Dengan info yang masih minim, kami putuskan untuk melanjutkan petualangan ke Desa yang agak jauh. Kata Pak Lurah, di desa tersebut masyarakat Samin masih banyak. 
Bersiap dengan sejuta asa, kendaraan kami pacu lagi. Setelah sebelumnya berpamitan kepada orang-orang baik hati. Rombongan berangkat. 
Sampailah kami ke suatu desa yang aku agak lupa namanya. Kami langsung menuju Kantor Kelurahan. Lebih mudah nggak seperti di desa sebelumnya. Ini karena kami dibantu Pak Lurah. Sebelumnya, beliau menelepon ke pihak Kelurahan dan memberitahu perihal kedatangan kami. Kami disambut dengan ramah oleh Bapak Kamituwo. Agak lama kami menunggu.Tiba-tiba disodorinya kami sebuah buku tentang kehidupan masyarakat Samin. Tenang, buku ini tak luput dari jepretan kamera. Ini nih, lihat di bawah ya..
(Maaf, lupa. Foto cover bukunya kemakan virus...)
Dari Kantor kelurahan, kami menuju rumah Bapak Kamituwo. Di sana, banyak kami dibekali data dan cerita yang hebat. Baik dari daerah penyebaran masyarakat Samin, nama-nama masyarakat samin, sampai ke data keluarga Samin. Ah banyak sekali. 
Berngkatlah kami ke rumah penduduk Samin. Dengan didampingi Pak Kamituwo kami meluncur ke rumah tetua oleh masyarakat Samin setempat yang ternyata masih kerabat dengan Pak Kamituwo. Baru sampai di pintu rumah, sambutan hangat langsung kami terima. 
Dipersilakannya kami masuk dan duduk. Semua keluarga yang ada di rumah langsung berhambur keluar. Menyalami kami, sambil mengenalkan diri ("Kula asmi pengaran"...bukan nami kula). Sama halnya dnegan merekakami pun mengenalkan diri. Satu per satu kami sebutkan nama dan tempat asal. 

Simak baik-baik kawan, di sinilah banyak pelajaran hidup disampaikan. 
Kami penasaran dengan cerita-cerita yang sebelumnya kami terima dari Pak Cus, Pak Lurah, dan Bapaknya Pak Lurah. 

Kami tanyakan apa yang menjadi kegundahgulanaan kami. "Samin itu sebenarnya seperti apa sih, Pak?" tanya jawab akhirnya dimulai dengan menggunakan bahasa Jawa Kromo. "Samin itu, yaa. Sama kayak kalian. Kalian manusia, kami juga manusia. Kalian makan, kami juga makan. Sama. Kami sama seperti kalian, enggak ada bedanya," mulai pusing pertama.  
"Bapak di rumah bekerja?" satu per satu pertanyaan menghujan. Sambil menggigit suguhan hidangan yang mantap. "Iya, kami bertani. Nih baru saja pulang dari sawah." Obrolan panjang menusuk-nusuk. Baru kali itu kuketahui ada orang yang punya pandangan hidup sederhana. Jujur dan apa adanya. Obrolan masih berlanjut. 
Bayangkan, Mereka tak akan membeli segala sesuatu kalau belum mampu. Kredit? No! ! Persaudaraan mereka kuat, kawan. Untuk membeli traktor, masing-masing keluarga beli sendiri. Ini nih lihat jawaban yang singkat. Sederhana, tapi mengena "Kalau kami punya uang, ya dibeli. Tapi kalau tidak punya, ya nggak usah beli." Keluarga yang belum mempunyai traktor biasanya meminjam. Paling-paling ngisi bensin traktor. Bayar sewa?? enggak ada. Waduh.... Makin mantap nih Bosss... Mereka juga tidak mau mengambil barang, uang atau apa saja yang mereka temui di jalan. Alasannya "Lha itu kan bukan punya kita, kenapa diambil?" Kami tanyakan tentang pendidikan "Anak-anak nggak sekolah, Pak?" tanya kami. "Sekolah Mbak, tapi cuma sampai SD," jawab beliau. "Lhoh kok gitu?" "Iya, anak-anak kami biarlah sekolah sampai SD saja. Kami nggak mau anak kami menjadi pintar, takut akhirnya memintari orang," jawab beliau. Dahsyat Bro...

"Kalau agama Bapak?" pertanyaan yang agak sensitif. "Agama kami? Agama kami ADAM," Mas. Busett... Agama Adam, agama yang bagaimana tuh? Kata Si Bapak "Adam itu ya, saatnya makan, ya makan. Waktunya kerja, ya kerja. Waktunya tidur, ya tidur," jawab si Bapak sambil menyuruh kami menyantap hidangan di meja. Teh anget. Pisang. Semangka. Semua ada di meja.

"Kalau tentang iri, dengki, ngrasani orang?" beruntun pertanyaan kami hamburkan. "Ya, itu semua nggak boleh. Itu pantangan buat kami," kerennn... Dicatat ya, pelajaran hidup yang mahal harganya. "Oiya, Pak. Di sini kan sudah ada TV, bagaimana tanggap Bapak tentang perceraian? Kan banyak tuh kasus-kasus artis yang cerai.." "Oh itu, iya. Lha wong istri kita sendiri yang milih kok dicerai?" sambil tertawa. Paras wajahnya selalu meneduhkan. 
Satu lagi, sewaktu terjadi kebakaran minyak Pertamina di daerah Menden mereka tidak mau diberi kompensasi. Kok bisa bagaimana ceritanya? Jadi begini, pernah suatu kali pangkalan minyak Pertamina di sana tebakar. Dalam radius 5 atau beberapa meter sangat terasa dampaknya. Getaran seperti gempa bumi. Nah, masyarakat sekitar diberi kompensasi ganti rugi. Tapi, oleh masyarakat Samin, kompensasi itu deikembalikan. Kok bisa? Alasannya "Mereka saudara kami. Mereka lagi kesusahan kok malah memberi uang untuk saya?" Mantap nggak tuh. Selain itu, ada bantuan kopensasi kompor gas juga dikembalikan. Wah, apalagi BLT??

Banyak informasi yang sangat sudah kami kantongi, akhirnya kami minta diri untuk berpamitan. Ketika mau beranjak. Kami ditahan. Diajak makan bersama, kawan. Kata Pak Cus, Pak Lurah, juga Pak Kamituwo, ini adalah tradisi di masyarakat Samin. Busettt... Nasi, sayur bayam, sambal ekstra mantap, telur dadar tumpah ruah di meja. Dengan muka malu mau, sikat juga. Semua makan, tanpa ada kecuali. Bapak-bapak, Ibu-ibu, anak-anak, Pak Kamituwo, juga kami. Setelah itu kami berfoto untuk sekadar kenang-kenangan. Coba lihat di bawah yaa... Foto ini diambil di rumah beliau. Rumah sederhana tapi sangat luas dan besar. 
Llihat deh mereka. Sangat bersahaja. Jujur. Polos. Tapi siapa sangka, mereka punya prinsip dan pandangan hidup yang begitu hebat. Konon dari masyarakat Samin ini pula gagasan Mahatma Gandhi muncul. Singkat cerita menurut Pak Cus, pada masa kolonial, Samin Surosentiko (founding father masyarakat Samin) dibuang ke Sumatera. dengan alasan memberontak. Mereka melakukan pemberontakan dengan sewaktu disuruh membayar upeti berupa pajak tanah. Mereka (Samin Surosentiko Cs.) tidak mau. Alasannya "Ini kan tanah leluhur kami, tanah milik kakek kami kenapa disuruh bayar?"
Selain itu, satu hal yang mesti kalian catat besar-besar di block note atau buku harian kalian, Masyarakat Samin tidak suka dipanggil dengan sebutan SUKU. Benar, karena mereka bukan hidup dalam persukuan. Mereka akan lebih suka dipanggil dengan nama Sedulur Sikep. Wayang adalah kesenian favoritnya. Dan jangan salah, ternyata mereka juga tidak memiliki baju-baju khusus atau sebagainya. Mereka benar-benar seperti kita. Jika ada yang berkata bahwa masyarakat Samin adalah masyarakat marjinal yang bodoh, ketinggalan zaman, kolot, dan sebagainya. Itu hanyalah ungkapan isapan jempol. 

Pulangnya dari pencarian informasi ada satu lokasi sejarah yang terungkap. lihat di bawah ya...

Tugu dan monumen ini sangat bersejarah lho. Kalau kalian lewat Jalan Blora-Randhublatung, mampirlah sebentar. Lihat dan heningkan cipta sejenak. Di sinilah ditemukan jenazah pahlawan Agil Kusumadyo pada waktu G 30 S/ Gestok.  Sebagai penghargaan atas jasanya, selain didirikan monumen ini, nama beliau juga dijadikan sebagai nama salah satu jalan di Blora.



Sekian Pelajaran hidup dari Sedulur Samin. Kalau ada kesempatan, ingin rasanya untuk main ke sana lagi. Terima kasih, Kawan sudah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan ini. Oiya, saran dan kritiknya akan selalu saya nantikan....

0 komentar:

Posting Komentar