Sabtu, 29 September 2012

Berguru kepada Sedulur Samin (Jilid 3)

Kalau istirahatnya sudah cukup, Markitlan. Mari kita lanjutkan. Berpacu lagi dalam alunan suara alam dan riuhan pohon-pohon jati yang berjajar kokoh. Memandang kami dengan pandang keraguan. Apakah ini yang selalu dilakukan oleh mereka yang lebih besar dari kita? Tapi sayangnya, kami bukannya keder melihat gugusan pohon jati yang membentang. Kami malah asyik mengamati keadaan sekitar. Benar-benar Blora banget. Sampailah kami ke rumah Bapak Kepala Desa Menden. Waktu itu sudah senja, Kawan. Gerimis juga. Suara azan magrib bersahut-sahutan membuat kami was-was. Block note dengan muka lusuh kami keluarkan. Tanpa aba-aba, diskusi dan obrolan segera berlangsung dan kami mulai sibuk dengan catatan-catatan. Ada juga yang sibuk mencari posisi yang pas untuk memotret. Benar-benar mirip wartawan yang belum jadi. Jujur saja, obrolan kami masih tak tentu arah. Penyebabnya adalah rasa capek yang terus mendera dibalut dengan kekhawatiran yang masih berdiri kokoh. Kekhawatiran ini boleh jadi merupakan suatu manifestasi dari pertanyaan kami. Pertanyaan yang selalu muncul menghantui. Kalau kegelisahan ini boleh diibaratkan, mirip dengan wartawan yang sedang dikejar-kejar deadline. Pertanyaan bak setan itu adalah "Dimana kita akan bermalam?" Sementara hari sudah gelap. Untunglah, Bapak Kepala Desa ini menangkap kekhawatiran kami. Beliau bertanya memecah kegundahan "Nanti mau tidur dimana, Dek?" tanya beliau. Plasss... Pertanyaan yang sangat susah dijawab. Merinding. Malu. Kami saling pandang, menandakan kebingungan dari goncangan hati terdalam. Hati yang dengan kekuatan ajaibnya menyalurkan berbagai tanda di muka kami. "Emmm...Rencana awalnya sih kami mau menginap di Pom Bensin, Pak. Tapi kok?" ujarku dengan bahasa Jawa kromo inggil. Kikuk. Bagai suara Zeus yang memecah keheningan rapat dewa-dewa dalam mitologi Yunani, Pak Lurah berkata "Begini saja, kalian tidur di rumah saya. Rumah saya ada dua. Kalian tidur saja di rumah saya yang satunya itu. Tapi rumahnya belum jadi, bagaimana? Ya keadaanya masih kotor seperti itu," kata Bapak Lurah. Begitulah, Kawan kulihat muka teman-teman langsung berubah menyatu dalam satu tanda kebahagiaan. Benar-benar mirip muka wanita yang ingin dilamar pujaan hatinya. Yesss!! cocok banget cah... Berangkatlah kami ke rumah itu. Satu hal yang saya acungi jempol. Bapak Lurah ini benar-benar baik. Sudah diberi tumpangan menginap, diberinya pula kami makanan. Wah jadi nggak enak sendiri. Berkat itu pula, mie instan perbelakalan kami masih utuh. 
 (Pak Lurah di Tengah, yang nomor dua dari kanan  adalah bapak kandungnya)
Paginya kami masih berbincang dengan dengan Pak Lurah beserta keluarga. Oiya, ini lah Pak Lurah yang baik hati itu. Jangan salah. Beliau dulu juga kuliah di Bojonegoro (Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia) dan pernah hidup susah sebagai mahasiswa. Kata Bapak kandung beliau, dulu sewaktu mahasiswa malah beliau sering ngamen untuk biaya kuliah dan biaya makan. Jadi  tahu apa yang kita alami. Selain itu, menjabat sebagai Kepala Desa, beliau juga berprofesi sebagai dalang lho. Keren bukan? Katanya sih belajar otodidak. Wuh mantap sekali Bapak yanag satu ini. Berangkatlah kami ke rumah Sedulur Samin yang ternyata masih ada ikatan saudara dengan Pak Lurah. Kami diantar oleh Bapak kandung Pak Lurah. Sekarang mulai deh pelajaran kehidupan yang sesungguhnya. Pelajaran yang tidak hanya teori, tapi juga praktik dan sudah dibuktikan terlebih dahulu dalam kehidupannya. Biar oke,bagaimana kalau kita buat empat episode? Nah yang episode terakhir ada di bawahnya. Kukupas habis deh buat kalian. Tapi tenang, agar tidak bosan ada dokumentasinya kok jadi kami tidak bohong. Ini dia Sedulur Samin yang juga masih ada ikatan saudara  dengan Pak Lurah. Santai dan sendu bukan??

jujur saja, tentang namanya saya lupa, Kawan. Tapi kalau mau, mungkin nanti akan saya coba buka catatan harian saya. 

0 komentar:

Posting Komentar