Sabtu, 07 Juli 2012
Dalam
perjalanannya tak ada yang bisa menghentikan waktu. Begitupun tentang nafsu tak
ada satu setan pun yang mampu menghentikan nafsu. Sama dengan nafsu manusia.
Nafsu yang memaksa untuk terus berkuasa dan mementingkan pribadinya. Kalau
sudah begini yang kemudian timbul adalah egoisme yang memuncak. Keserakahn dan
ketimpangan yang terus merajalela. Tentu di sana mereka yang mengagungkan
prinsip dan ide-idenya takkan diam begitu saja. Mereka akan berteriak dan
berbuat segala sesuatu yang dikiranya mampu untuk menyadarkan perbuatan
keblinger itu. Sayangnya, dari sekian mereka banyak berbicara tentang prinsip
dan faham-faham itu masih silau dengan materi. Bagi sebagian besar orang
ternyata masih memandang bahwa kebahagiaan itu ada dalam benda dan kekayaan.
Pandangan yang keliru. Hal ini masih banyak kita jumpai dalam kalangan
masyarakat. Mereka akan saling berebut untuk mendapatkan materi yangakan habis
dalam sekali tenggak.
Mari
kita tarik hal ini kepada mereka yang dikira mempunyai rem handal. Tentu muncul
lagi pertanyaan. Apakah pemuka-pemuka agama yang dianggap suci itu tak tergoda
dengan benda dan kekayaan ini? Sayangnya, tak semua menyetujui. Kita lihat
bagaimana banyaknya pemuka dari agama-agama tertentu bersedia terjun ke jalan untuk
kampanye karena dana yang diberikan kepadanya cukup menggiurkan. Lantas, kemana
rakyat yang dijadikan jemaat ini dibawa? Hal yang sangat memprihatinkan jika
dilihat dari segi sejarah, jawa selalu menempatkan pemuk-pemuka agama sebagai
penasihat kerajaan. Di satu sisi pemuka agama juga manusia. Begitu yang kerap
jadi alasan. Aku takkan pernah membenarkan tindakan ini.
Banyak
hal yang tentunya dapat kita angkat untuk dibicarakan di sini, khususnya
tentang duniawi yang takkan ada habisnya. Tak bisa dipungkiri, materi memang
kita butuhkan. Tapi setidaknya materi bukan satu-satunya tujuan mengapa manusia
hidup. Di bagian bumi sana, ada fatalis-fatalis yang masih mempercayai tahayul
dengan melakukan ritual dan sebagainya untuk mendapatkan uang, gaji, istri, ahh!
Sedangkan di bagian bumi yang lain banyak insan yang rela membuang jauh-jauh
martabatnya untuk digadaikan dengan materi. Betapa memalukannya. Tapi kalu
dilihat dari humanisnya tetap saja aku tak tega melihatnya. Bahkan, dulu semasa
kecilku pernah kudengar cerita yang sangat menyedihkan. Seorang yang nggresek
padi di sawah, rela memberikan kehormatannya untuk ditukar dengan berjumput
gabah yang didapat dari rontokan panen. Bayangkan, betapa gilanya dunia ini.
Coba kita lihat mereka yang katanya berkecukupan dengan enaknya melenggang di
atas kendaraan dengan angkuh dan congkak. Realitas yang sangat berkebalikan.
Rasa sosial sudah dibuang jauh-jauh dari peradaban. Sosial yang selalu
didengung-dengungkan ini hanya merupakan kata yang terjelma dalam stiker dan
spanduk saja. Takkan berbentuk nyata kalau begini. Kepahitan inilah yang
harusnya membuat kita sebagai manusia dengan M besar mampu bersikap bijaksana.
Keadilan sekarang masih terjelma dalam langit-langit rumah yang semakin jauh
dipandang dari bawah. Jika kita kalkulasikan berapa banyak kata yang terlontar
dari manusia kepada Tuhannya tentang
kehidupan yang makin hari makin mencekiknya? Tentu samudera yang luas ini pun
takkan mampu membendungnya.
0 komentar:
Posting Komentar