Sabtu, 08 September 2012

Dari Kekuasaan dan Kematerialan, Hingga Kesialan


Sabtu, 07 Juli 2012


Dalam perjalanannya tak ada yang bisa menghentikan waktu. Begitupun tentang nafsu tak ada satu setan pun yang mampu menghentikan nafsu. Sama dengan nafsu manusia. Nafsu yang memaksa untuk terus berkuasa dan mementingkan pribadinya. Kalau sudah begini yang kemudian timbul adalah egoisme yang memuncak. Keserakahn dan ketimpangan yang terus merajalela. Tentu di sana mereka yang mengagungkan prinsip dan ide-idenya takkan diam begitu saja. Mereka akan berteriak dan berbuat segala sesuatu yang dikiranya mampu untuk menyadarkan perbuatan keblinger itu. Sayangnya, dari sekian mereka banyak berbicara tentang prinsip dan faham-faham itu masih silau dengan materi. Bagi sebagian besar orang ternyata masih memandang bahwa kebahagiaan itu ada dalam benda dan kekayaan. Pandangan yang keliru. Hal ini masih banyak kita jumpai dalam kalangan masyarakat. Mereka akan saling berebut untuk mendapatkan materi yangakan habis dalam sekali tenggak.
Mari kita tarik hal ini kepada mereka yang dikira mempunyai rem handal. Tentu muncul lagi pertanyaan. Apakah pemuka-pemuka agama yang dianggap suci itu tak tergoda dengan benda dan kekayaan ini? Sayangnya, tak semua menyetujui. Kita lihat bagaimana banyaknya pemuka dari agama-agama tertentu bersedia terjun ke jalan untuk kampanye karena dana yang diberikan kepadanya cukup menggiurkan. Lantas, kemana rakyat yang dijadikan jemaat ini dibawa? Hal yang sangat memprihatinkan jika dilihat dari segi sejarah, jawa selalu menempatkan pemuk-pemuka agama sebagai penasihat kerajaan. Di satu sisi pemuka agama juga manusia. Begitu yang kerap jadi alasan. Aku takkan pernah membenarkan tindakan ini.
Banyak hal yang tentunya dapat kita angkat untuk dibicarakan di sini, khususnya tentang duniawi yang takkan ada habisnya. Tak bisa dipungkiri, materi memang kita butuhkan. Tapi setidaknya materi bukan satu-satunya tujuan mengapa manusia hidup. Di bagian bumi sana, ada fatalis-fatalis yang masih mempercayai tahayul dengan melakukan ritual dan sebagainya untuk mendapatkan uang, gaji, istri, ahh! Sedangkan di bagian bumi yang lain banyak insan yang rela membuang jauh-jauh martabatnya untuk digadaikan dengan materi. Betapa memalukannya. Tapi kalu dilihat dari humanisnya tetap saja aku tak tega melihatnya. Bahkan, dulu semasa kecilku pernah kudengar cerita yang sangat menyedihkan. Seorang yang nggresek padi di sawah, rela memberikan kehormatannya untuk ditukar dengan berjumput gabah yang didapat dari rontokan panen. Bayangkan, betapa gilanya dunia ini. Coba kita lihat mereka yang katanya berkecukupan dengan enaknya melenggang di atas kendaraan dengan angkuh dan congkak. Realitas yang sangat berkebalikan. Rasa sosial sudah dibuang jauh-jauh dari peradaban. Sosial yang selalu didengung-dengungkan ini hanya merupakan kata yang terjelma dalam stiker dan spanduk saja. Takkan berbentuk nyata kalau begini. Kepahitan inilah yang harusnya membuat kita sebagai manusia dengan M besar mampu bersikap bijaksana. Keadilan sekarang masih terjelma dalam langit-langit rumah yang semakin jauh dipandang dari bawah. Jika kita kalkulasikan berapa banyak kata yang terlontar dari manusia kepada Tuhannya  tentang kehidupan yang makin hari makin mencekiknya? Tentu samudera yang luas ini pun takkan mampu membendungnya.

0 komentar:

Posting Komentar