Kamis, 27 September 2012

Pendidikan atau Pembunuhan?

Masa transisi adalah masa pergantian dari keadaan semula untuk berubah menjadi yang lebih dari keadaan semula tersebut. Seorang manusia akann mengalami perkembangan dan perubahan. Dari bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa. Seringkali masa transisi ini hanya dipandang sebelah mata dan tidak dibarengi dengan hal-hal yang menunjang. Bahkan, tak jarang yang menganggap masa transisi ini adalah suatu virus yang akut dan harus dimatikan. Mari kita berpikir sejenak. Ambil contoh masa pergantian umur, dari yang semula belum bisa berbicara menjadi bisa berbicara. Tentu memerlukan perjuangan yang besar. Perjuangan yang besar perlu modal dan kekuatan yang besar pula. Lihat saja, untuk dapat berbicara seorang anak kecil harus lebih peka terhadap keadaan sekeliling. Dia akan mencoba mengkritisi baik dengan cara menanyakan maupun menirukan keanehan di lingkungan sekitarnya. 
Masa transisi ini sering disebut sebagai masa-masa labil yang harus selalu diarahkan. Diarahkan bukan dimatikan. Sengaja saya cetak tebal untuk menandai pentingnya kata-kata ini. Hal ini lah yang kurang mendapat perhatian dari manusia-manusia di sekeliling kita. Berhari-hari aku memikirkan hal ini. Hal yang mungkin sangat kecil tetapi berdampak sangat besar. Dalam bidang pendidikan, ternyata sangat berpengaruh dalam upaya pembentukan karakter dan diri anak. Masih jelas terngiang di telinga ketika ada intruksi dari pihak atasan untuk "kalau murid tidak bisa tenang, suruh keluar saja" atau "mentalnya harus dibangun, buat agar down dulu. Lalu naikkan." Bahkan, masih ada guru-guru yang menganut gaya pendidikan konservatif zaman pendudukan kolonial. Jeweran masih berlaku untuk menertibkan siswa yang perlu penanganan lebih. Sangat memprihatinkandan selalu bertentangan dengan diri pribadi saya. 
Bagaimana mungkin seorang anak yang barangkali mempunyai tingkat kecerdasan nonakademik (kecerdasan akademik kurang) dimatikan dengan cara seperti itu? Sama sekali aku tak bersimpati dengan ini. Aku yakin bahwa aku akan mendapat banyak mendapat kritikan dari pengajar-pengajar tua yang masih menganut sistem pendidikan lawas. Akan aku hadapi semua. Mereka masih labil, masih perlu penanganan yang sangat ekstra. Sangat mungkin sekali sikap aneh mereka adalah perwujudan dari berbagai faktor. Baik lingkungan, orang tua, kondisi batin, atau sensitif terhadap guru yang bersangkutan. Bervariatif. Penggojlokan seperti itu hanya akan melemahkan kondisi batin siswa. Memang dipandang dari dari segi real tidak seberapa terlihat. Tapi, bagi siswa yang mempunyai kondisi batin minder, downsyndrom akan meledak sedemikian hebat. 
Akan saya uraikan cara pengajaran saya di kelas, semoga dapat didiskusikan dan diberi masukan agar lebih baik: 
  1. Saya lebih suka menggunakan metode santai. Boleh duduk dimanapun, tidak harus di bangku. Yang penting siswa nyaman dalam belajar. Kita tak pernah tahu akan jadi apa anak didik kita kelak. Mungkin mereka ada yang mau menjadi penulis yang ide-ide kreatifnya dapat muncul dengan melepas bangkunya. 
  2. Mengapa harus menggunakan metode penggonjlogan mental dan fisik kalau kata-kata masih terbukti ampuh. Banyak yang memprotes hal ini. Alasannya, terlalu teoretis. Wajar, karena metode ini perlu modal yang serius yaitu kedekatan interpersonal terhadap masing-masing siswa. Tidak semua guru mempunyainya. 
  3. Buatlah mereka bangga dengan apa yang dia miliki. Berikan contoh-contoh panutana yang mungkin dapat dijadikan acuan untuk maju dan berkembang. 
  4. Turba. Turun ke bawah untuk mencari tahu bagaimana dan seperti apa lingkungan dia berasal. 
  5. Gunakan intonasi penyampaian yang 3SH. (Slow-Happy-Serious-Happy-Shock-Happy) agar tidak monoton dan menjemukan. 
  6. Ajak  mereka berkreasi dengan bakat nonakademik dan daya intelektual yang membangun. Misal: buat penemuan baru sederhana, dan beri apresiasi. 
Kita tahu tidak mudah untuk menjadi seorang pendidik. Kita juga tahu tidak mudah memeberikan amanah orang kepada kita. Setiap orang mengalami proses pembelajaran masing-masing. Ada yang prosesnya lambat (sering dikatakan bodoh, lemot, maupun tel mi), ada yang cepat (sering dicap sebagai orang jenius, cerdas, pintar), ada yang bakat dan jiwa kreasinya meledak-ledak (sering dianggap aneh karena beda dengan yang lain dan dipandang memerlukan penanganan serius), dan sebagainya. Setiap orang akan menemukan titiknya masing-masing. Cepat atau lambat titik tersebut datang sering tidak dihiraukan dan malah dipandang sebagai ancaman yang harus dibunuh sampai ke akar-akarnya.


0 komentar:

Posting Komentar