Selasa, 11 September 2012

Derita Bangsa Kulit Cokelat



Malam merambat pelan. Memaksa mentari menggulung sajadah sinarnya. Kerlap-kerlip bintang muncul satu per satu bagaikan jerawat yang muncul di kening. Sekejap suasana ramai yang sering kita dengar lenyap seketika. Diganti dengan suara bercanda. Obrolan ringan anak kepada ayah dan ibunya. Kilau-kilau lampu semakin semarak mengisi kanvas hitam yang kelam. Di situlah terpikir sejenak tantang apa yang dialami negeri ini. Negeri yang rakyatnya dipaksa untuk tak berdiam lama lagi di bumi yang dicintainya. Bagaimana tidak? Mereka dituntut untuk segera pindah dan hijrah demi perut.
Begini, pertama dari keadaan alam sekitarnya dianggap tak cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Hal ini dikarenakan adanya penjajahan otak. Semua berkembang, teknologi berkembang, pemikiran berkembang, sampai usus pun ikut berkembang. Berkembangnya usus ini dibarengi8 dengan macetnya pikiran manusia. Kemacetan ini disebabkan terpusatnya pemikiran. Bahwa untuk mencukupi keinginan harus bekerja di pabrik, urbanisasi ke kota, dan sebagainya. Hal ini pun pernah kualami. Sayangnya, bukan orientasi materi yang menjadi tujuan utamaku. Akan tetapi pengalaman yang kucari. Selagi masih muda ingin sekali rasanya menjelajahi dunia. Keinginanku untuk keluar daerah adalah untuk melihat perbatansan negara ini. Banyak yang bilang bahwa kemajuan di jawa dan sekitarnya tidak dibarengi perkembangan di daerah perbatasan. Ini yang menjadi orientasi utamaku. Aku ingin mengabdi untuk mereka yang mungkin masih banyak membutuhkan tenagaku. Bukan di Jawa, tapi di pelosok sana.
Kedua, bagaimana bisa petani menggarap sawahnya kalau segala sesuatunya sudah bergantung pada hal-hal yang berbau kimia. Pupuk kimia, bibit padi pun sudah diolah dan dibumbui bahan-bahan kimia. Ketergantungan inilah yang menyebabkan ia tidak mampu berkembang. Bahkan, beras yang merupakan makanan pokok dan komoditas utama bangsa Indonesia akan terkena gusur. Lantaran beras impor yang lebih murah, yang lebih konyol lagi sebagian dari daerah-daerah di Indonesia mencanangkan penggantian beras dengan jagung, ubi dan sebagainya. Anehnya petinggi-petinggi daerah itu malah bangga. Apa yang mau dibanggakan? Jangan-jangan ke depan malah makanan pokok bangsa Indonesia akan diganti dengan roti. Lebih membahayakan lagi. Minyak yang konon cerita banyak terdapat di Indonesia, kini harus rela diganti dengan gas. Padahal sumber kekayaan mineral Indonesia telah diakui dunia. Sayangnya, rakyat Indonesia lebih banyak jadi kuli daripada mengolah dan menikmatinya sendiri. Sudah bisa ditebak, yang menikmati kekayaan mineral bangsa Indonesia adalah bangsa lain yang lebih memiliki alat. Kalau sudah begini, sumber kekayaan bangsa Indonesia yang selalu menjadi unggulan hanya akan jadi mitos yang kokoh. Yang lebih menggemparkan lagi, sumber kekayaan mineral Indonesia lama kelamaan akan diganti dengan sumber kekayaan tenaga kerja. Bahasa kasarnya adalah KULI. Kuli yang sering dihina dan ditendang juragan yang membayar seenaknya saja. Anehnya, manusia Indonesia lebih suka dengan ini.
Ketiga, manusia-manusia Indonesia lebih suka dengan segala yang berbau barat. Westernisasi ini dialami manusia Indonesia lantaran banyaknya media yang menyorot bintang film dengan busana dan gayanya. Manusia Indonesia yang dulu tak masalah dengan kaos putih polos dan sarungnya kini ditarik oleh peradaban baru. Peradaban budayabarat yang semakin berkuasa atas bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia kini tersedot oleh pikiran untuk kelihatan pantas. Kepantasan ini bagi sebagaian besar orang masih diartikan berpakaian yang sama dengan bintang idolanya. Bah! Bayangkan, merk-merk ternama dunia kini melanda warga desa. Mereka lebih suka memakai pakaian bermerk luar daripada pakaian buatan dalam negeri. Sudah bisa kita tebak berapa harganya? Ini dia yang membuat otak bangsa Indonesia semakin konsumtif untuk mampu dipandang orang.
Keempat, manusia Indonesia cenderung berpihak kepada segala hal yang baru. Tanpa melakukan filterisasi. Asal baru, cukup tenar. Sikat. Padahal belum tentu itu cocok buat dirinya. Sangat disayangkan, ini pulalah yang kemudian menjadi salah satu penyebab memudarnya karakter bangsa. Nasionalisme mulai tergerogoti sedikit demi sedikit. Tak salah jika kita runut ucapan Ir. Soekarno “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Ucapan Bung Karno ini ada benarnya. Bagaimana tidak, Indonesia kini dijajah oleh penjajah abstrak. Bukan penjajah konkret yang terlihat dengan kasat mata. Entah apa jadinya bangsaku ini kelak…   

0 komentar:

Posting Komentar