Sabtu, 22 September 2012

Cerita tentang Kawan Kecilku

 Kadang aku merasakan kalau hal yng terjadi dalam mimpi berjalan di kehidupan nyata. Persis sama dengan mimpiku itu. Masih teringat jelas dalam ingatanku ketika itu aku bermimpi tentang dunia yang aneh. Sama sekali baru. Tokoh-tokohnya pun baru. Kuanggap itu hanya angin lalu saja. Angin muson yang berhembus sesuai dengan jadwalnya. Angin yang selalu memberi warna dalam kehidupan. Ia akan sangat banyak dipuji oleh berbagai bunga di seluruh penjuru dunia. Kedatangannya akan senantiasa dinanti-nantikan. Kubiarkan begitu saja. 
Pada suatu hari kureka-reka kembali imajiku itu. "Bukankah ini pernah terjadi?" pikirku. "Tapi dimana dan pan?" Lama aku terdiam. Baru kemudian aku ingat bahwa ini terjadi tepat di ujung mimpiku yang telah kututu p dengan selembar kain putih. Mimpi itu adalah mimpiku tentang pendidikan, Kawan. Kini, tiap hari aku bersanding, bercerita, tertawa, serius, bersama mereka. Bersama kawan-kawan kecilku. Mereka datang kemari untuk menuntut ilmu, demi sebuah pendidikan. Tahukah kau kawan dimana rumah mereka? Darimana mereka berasal?
Hal yang sangat tidak pernah kusangka. Mereka berasal dari berbagai pelosok Blora. Dari desa-desa perbatasan di Blora. Kota yang sama sekali jauh dari hiruk pikuk keramaian. Tak seperti Jakarta, Jogja, Semarang, Bandung, atau belahan kota yang lain. Beuntunglah aku bertemu dengannya. Aku jadi bisa belajar tentang semangat hidup. Semangat yang tak hanya menjadi sloga-slogan bualan belaka. Lihat mereka kawan, mereka berasal dari kondisi keluarga yang pas-pasan. Latar belakang keluarga pedesaan yang bervariatif tetapi sangat menjunjung tinggi kekeluargaan dan gotong royong. Semangat kawan kecil yang selalu membara ini yang membuatku sedikit demi sedikit belajar memahami hidup. Tidakkah kalian iri kawan, manusia-manusia semacam ini dengan begitu leluasa tertawa. Bermain dengan teman-temannya. Menangis sekeras-kerasnya. Tanpa pernah tahu akan jadi apakah ia kelak. Mereka yang berada dalam usia ini belum memikirkan kebutuhan dunia. 
Hari itu, Sabtu 15 September 2012. Hari ketika teman-teman kecil diperbolehkan pulang untuk sekadar bertemu dengan orang tuanya. Sehari saja. Karena Minggu malam sudah harus kembali ke Ponpes. Mereka dengan suara lantang berteriak "Iiiiiyyyyessss," teriak mereka. Datang seorang teman kecil kepadaku. "Pak, nanti saya ikut ya...," kata dia. Teman kecil ini bernama Ridwan. Satu dari banyak teman kecil yang berprestasi. "Iya, boleh tapi Saya pulang pakai angkot. Enggak apa-apa?" sahutku. "Lhoh memang motor Bapak diamana?" Ujar Ridwan. "Motor Saya masih hancur Wan, kemarin Saya kecelakaan," jawabku. 
Siang itu seusai jam pelajaran berakhir segera kami berjalan beriringan menuju pangkalan angkot Biandono. Pembicaraan pun dimulai dengan halhal yang remeh temeh. Sewaktu aku bertanya kenapa tidak dijemput bapak atau ibunya Ridwan berkata "Bapak sama Ibu sudah cerai, Pak. Saya sekarang tinggal sama Ibu, sama adik," jawabnya. Masya Allah. Jiwaku tersentak. Kupandangi kawan kecilku ini sambil berjalan. Dengan langkah seadanya, berpeci miring, berbaju putih ditutup dengan jaket kebanggannya, dan bercelana biru Ia lmenunduk seolah berdoa. "Oh, maaf Wan. Saya tidak bermaksud. Tapi Wan, itu bukan alasan buat kamu malas-malasan. Kamu harus menunjukkan bahwa kamu bisa," kataku sambil menepuk pundaknya. Setengah menyesal aku berpikir ini anak hebat. Walaupun berangkat dari kondisi keluarga yang broken home tapi dia cerdas. Paling menonjol di kelas dalam hal akademis. 
Sesampai di rumah. Kuantar dia pulang ke desa tempat tinggalnya. Jauh kawan. Jarak dari rumahku ke rumahnya sudah jauh, apalagi dengan sekolahan. Sepulang mengantar, aku makan lalu duduk di samping rumah. Menerawang mega putih yang terus bergulung-gulung. Pikirku, jika saja aku tidak turba (turun ke bawah) seperti ini apa aku tahu bagaimana kondisi kawan kecilku. Ini baru satu dari sekian banyak kawan kecilku. Entah mengapa aku lebih suka berada di antara mereka. Mereka yang berangkat dari kesederhanaan. Bukan mereka yang beranjak dari keglamoran. Tawa sederhana mereka jujur. Bukan dibuat-buat. Doaku semoga mereka sukses nantinya. 
Oiya ada satu karyanya sudah kuketik dan tersimpan dalam PCku. Ini dia: 

                                    Kau Melebur di Sana
Buah karya: Mohammad Ridwan

Kau melebur di sana…
Dipermalukan musim gerhana
Yang terselubung aroma darah
Dan tanah yang berembun air mata

Kau melebur di sana…
Kala sang surya melepaskan kulit kami
Hingga kawanan peluhmu yang siaga
Menghalau kepulan debu
Yang mengepung dari negeri asing

Kau melebur di sana…
Saat air bah berlarian
Memanjati hamparanm tanah using
Dengan jeritan malang
Serta busung lapar

Kau melebur di sana…
Saat air mata telah mengguruh menjadi telaga
Hingga timba yang kau ayunkan
Menanndaskan kepingan dahaga
Yang merintih di setiap gigir luka kami 

Kata Ridwan jujur,  "ini saduran Pak, tapi saya ubah dan tambahai lagi. 


0 komentar:

Posting Komentar