Minggu, 23 September 2012

Ruang Kosong


Malam kian mendekat. Berjejer dengan ribuan burung yang siap bertengger untuk memejamkan matanya. Di atas sana semburat merah sang senja memoles keindahan kanvas kehidupan. Ditambah dengan pacu suara azan yang terus menerus bergema sahut-sahutan. Seolah Masjid dan Musolla di bumi ini memegang tongkat estafet untuk terus disampaikan. Entah dimana ujungnya, aku pun tak tahu.
Di sini, di pelataran senja ini. Aku terus bergelut dengan pikiranku. Bercengkerama dengan cita dan asaku. Kutelisik lebih jauh dalam sanubariku yang beku. Leleh. Kemudian menceruat ke atas merasuki otak hinaku. Dua hal yang terus menerus berputar-putar. Mirip jamaah haji mengelilingi kakbah. Pusar bumi. Putaran ini akhirnya sampai pada porosnya yang kemudian dipadu dengan tenaga gravitas hingga kokoh. Berputar terus tanpa mau jatuh walau disentuh.
Hal yang pertama adalah cita-citaku untuk bisa bersekolah lagi. Sesuatu yang selalu kuidam-idamkan dari kecil. Aku tak ingin sekolahku putus sampai di sini. Pernah suatu hari Bapak memintaku untuk masuk Pondok Pesantren seusai SMA. Aku yang memang dari awalnya kurang begitu paham tentang agama enggan. Tapi, apa mau dikata. Kehidupan ekonomi keluarga kami di ambang sederhana. Kusanggupi tawaran Bapak. Tapi dengan syarat. “Bapak, aku mau masuk Pondok Pesantren taapi aku tak ingin putus dari ilmu.” Walhasil. Suatu kabar mengejutkan tiba dari kedua orang tuaku. Berkat dorongan tetanggaku. Tetangga yang sama-sama hidup menderita, dan berhasil menguliahkan anaknya. Bapak dan Ibu mendekatiku.
“Kamu ingin kuliah?” Tanya bapak. Kupandang wajah Bapak yang sayu tapi menyimpan semangat yang berkobar.
“Iya, Pak. Pingin sekali,” kutundukkan mukaku. Kali ini entah mengapa rona muka Bapak seolah magnet utara dan mukaku pun tak berbeda dari magnet utara itu. Aku tak berani memandang muka Bapak.
“Besok kau coba daftar dulu di salah satu salah satu Universitas Negeri di Semarang, katanya di sana biaya tak terlalu mahal,” pinta bapak kepadaku. Ibuku diam. Memandangku dengan senyum ramah.
Perasanku tak karuan. Senang, sedih, haru, bergulat menjadi satu dalam palet tinta. Sayang, aku gagal menembus kampus itu. Sesuatu yang sudah kuduga sebelumnya. Akhirnya sesuai dengan rencana awal.  Kutolakkan kakiku ke Yogyakarta. Di sana banyak hal yang dapat kupelajari. Dari pengalaman organisasi. Perjumpaan dengan tokoh-tokoh yang dahulu hanya bisa jadi angan-angan. Ilmu tentang sastra yang sampai saat ini selalu menggodaku. Hingga akhirnya bisa kutamatkan kuliah S1 ku dengan kebanggaan yang penuh. Nilai tak mengecewakan. Hanya ada satu nilai C yang memang tak akan kuulang. Itu karena si Dosen masih menganut system konservatif gaya kolonial Belanda almarhum. Kini, sama halnya dengan mimpiku sebelum lulus. Aku ingin melanjutkan kuliah S2. Walau aku tahu, untuk yang satu ini perlu perjuangan yang sangat berat.
Pernah suatu kali kuutarakan niatku ini kepada Ibu. Bagaimana tanggapan Ibu? “Boleh saja, kalau mau kuliah lagi. Tapi dengan uangmu sendiri. Biar Ibu dan bapak gantian membiayai adik-adikmu,” jawab Ibu memandangku dengan belas kasih. Ya, setidaknya Ibu mengizinkan. Itu merupakan energy tambahan buatku. Sekarang tinggal bagaimana caranya untuk bisa melanjutkan kuliah. Itu yang masih menjadi tanda tanya besar bagiku. Aku tak ingin petualangan hidupku dengan ilmu berakhir sampai di sini. Petualanganku tentang cara mendirikan organsisasi pendidikan baru kujejaki. Di SMP tempatku mencari pengalaman. Cita-citaku untuk tetap bisa tetap kuliah masih membayang bagai impian-impian indah. Impian yang selalu membawaku untuk terus semangat. Bernyanyi dengan keringat yang bercucuran
Adapun hal kedua yang menyita pikiranku adalah tentang life style (gaya hidup). Aku tak mau melepas jubahku untuk berganti dengan kerlipnya kemewahan. Sengaja kupelihara pakaian-pakaian bututku. Motor bututku. Aku ingin tetap menjadi manusia dengan tidak memuja keduaniawian belaka. Masih hangat di pikiranku tentang Umar bin Khattab yang bersahaja. Tetap berdiri dengan kesederhanaan yang dimilikinya. Sesuatu yang membuatnya bisa akrab bergaul dengan manusia lainnya. Juga dengan Munir Said Thalib, yang selalu ditemani sepeda motor bututnya. Dengan motor bututnya inilah kasus-kasus kemanusiaan coba ia tangani. Coba kita piker, kalau saja wanita terus menerus mengurusi masalah kecantikan dan pakaian apa jadinya. Sama halnya dengan itu, kalau life style yang berlebihan terus dikumandangkan. Akan hancur. Kusadari sungguh kedua tokoh sangat bersahaja dalam hidup. Kawan, kedua hal inilah yang terus menerus menyita perhatianku. Menempeli virus-virus baru untuk tetap hidup serta menghidupi kehidupan. 

0 komentar:

Posting Komentar