Malam
kian mendekat. Berjejer dengan ribuan burung yang siap bertengger untuk
memejamkan matanya. Di atas sana semburat merah sang senja memoles keindahan
kanvas kehidupan. Ditambah dengan pacu suara azan yang terus menerus bergema
sahut-sahutan. Seolah Masjid dan Musolla di bumi ini memegang tongkat estafet untuk
terus disampaikan. Entah dimana ujungnya, aku pun tak tahu.
Di
sini, di pelataran senja ini. Aku terus bergelut dengan pikiranku.
Bercengkerama dengan cita dan asaku. Kutelisik lebih jauh dalam sanubariku yang
beku. Leleh. Kemudian menceruat ke atas merasuki otak hinaku. Dua hal yang
terus menerus berputar-putar. Mirip jamaah haji mengelilingi kakbah. Pusar bumi.
Putaran ini akhirnya sampai pada porosnya yang kemudian dipadu dengan tenaga
gravitas hingga kokoh. Berputar terus tanpa mau jatuh walau disentuh.
Hal yang pertama
adalah cita-citaku untuk bisa bersekolah lagi. Sesuatu yang selalu
kuidam-idamkan dari kecil. Aku tak ingin sekolahku putus sampai di sini. Pernah
suatu hari Bapak memintaku untuk masuk Pondok Pesantren seusai SMA. Aku yang
memang dari awalnya kurang begitu paham tentang agama enggan. Tapi, apa mau
dikata. Kehidupan ekonomi keluarga kami di ambang sederhana. Kusanggupi tawaran
Bapak. Tapi dengan syarat. “Bapak, aku mau masuk Pondok Pesantren taapi aku tak
ingin putus dari ilmu.” Walhasil. Suatu kabar mengejutkan tiba dari kedua orang
tuaku. Berkat dorongan tetanggaku. Tetangga yang sama-sama hidup menderita, dan
berhasil menguliahkan anaknya. Bapak dan Ibu mendekatiku.
“Kamu
ingin kuliah?” Tanya bapak. Kupandang wajah Bapak yang sayu tapi menyimpan
semangat yang berkobar.
“Iya,
Pak. Pingin sekali,” kutundukkan mukaku. Kali ini entah mengapa rona muka Bapak
seolah magnet utara dan mukaku pun tak berbeda dari magnet utara itu. Aku tak
berani memandang muka Bapak.
“Besok
kau coba daftar dulu di salah satu salah satu Universitas Negeri di Semarang,
katanya di sana biaya tak terlalu mahal,” pinta bapak kepadaku. Ibuku diam. Memandangku
dengan senyum ramah.
Perasanku
tak karuan. Senang, sedih, haru, bergulat menjadi satu dalam palet tinta.
Sayang, aku gagal menembus kampus itu. Sesuatu yang sudah kuduga sebelumnya. Akhirnya
sesuai dengan rencana awal. Kutolakkan
kakiku ke Yogyakarta. Di sana banyak hal yang dapat kupelajari. Dari pengalaman
organisasi. Perjumpaan dengan tokoh-tokoh yang dahulu hanya bisa jadi
angan-angan. Ilmu tentang sastra yang sampai saat ini selalu menggodaku. Hingga
akhirnya bisa kutamatkan kuliah S1 ku dengan kebanggaan yang penuh. Nilai tak
mengecewakan. Hanya ada satu nilai C yang memang tak akan kuulang. Itu karena
si Dosen masih menganut system konservatif gaya kolonial Belanda almarhum. Kini,
sama halnya dengan mimpiku sebelum lulus. Aku ingin melanjutkan kuliah S2. Walau
aku tahu, untuk yang satu ini perlu perjuangan yang sangat berat.
Pernah
suatu kali kuutarakan niatku ini kepada Ibu. Bagaimana tanggapan Ibu? “Boleh
saja, kalau mau kuliah lagi. Tapi dengan uangmu sendiri. Biar Ibu dan bapak gantian
membiayai adik-adikmu,” jawab Ibu memandangku dengan belas kasih. Ya,
setidaknya Ibu mengizinkan. Itu merupakan energy tambahan buatku. Sekarang
tinggal bagaimana caranya untuk bisa melanjutkan kuliah. Itu yang masih menjadi
tanda tanya besar bagiku. Aku tak ingin petualangan hidupku dengan ilmu
berakhir sampai di sini. Petualanganku tentang cara mendirikan organsisasi
pendidikan baru kujejaki. Di SMP tempatku mencari pengalaman. Cita-citaku untuk
tetap bisa tetap kuliah masih membayang bagai impian-impian indah. Impian yang
selalu membawaku untuk terus semangat. Bernyanyi dengan keringat yang
bercucuran
Adapun
hal kedua yang menyita pikiranku adalah tentang life style (gaya hidup). Aku tak mau melepas jubahku untuk berganti
dengan kerlipnya kemewahan. Sengaja kupelihara pakaian-pakaian bututku. Motor bututku.
Aku ingin tetap menjadi manusia dengan tidak memuja keduaniawian belaka. Masih hangat
di pikiranku tentang Umar bin Khattab yang bersahaja. Tetap berdiri dengan
kesederhanaan yang dimilikinya. Sesuatu yang membuatnya bisa akrab bergaul
dengan manusia lainnya. Juga dengan Munir Said Thalib, yang selalu ditemani
sepeda motor bututnya. Dengan motor bututnya inilah kasus-kasus kemanusiaan
coba ia tangani. Coba kita piker, kalau saja wanita terus menerus mengurusi
masalah kecantikan dan pakaian apa jadinya. Sama halnya dengan itu, kalau life
style yang berlebihan terus dikumandangkan. Akan hancur. Kusadari sungguh kedua
tokoh sangat bersahaja dalam hidup. Kawan, kedua hal inilah yang terus menerus
menyita perhatianku. Menempeli virus-virus baru untuk tetap hidup serta menghidupi
kehidupan.
0 komentar:
Posting Komentar