Rabu, 19 Desember 2012

Lepas dari Belenggu

"Penasaran itu mengasyikan".

Mungkin kata di atas banyak dijumpai teman-teman pembaca dalam kehidupan. Cinta itu misteri, karena itulah cinta itu menarik. Pun masih senada dengan misteri itu ada satu kata lagi yang sering digunakan para filosof hidup itu misteri, karena misteri itulah kita hidup. 

Sungguh. Entah berapa lama rasa penasaran ini muncul terhadap seorang sosok bernama Tan Malaka. Selepas wisuda kira-kira Mei akhir, sebelum kembali ke kampung halaman sengaja kucari buku berjudul Dari Penjara ke Penjara  karya Tan MalakaSialnya, setelah ngubleki toko buku di Jogja, tak jua didapat. Perkataan "Habis, Mas" dan Nggak ada, Mas" seolah menjadi kata mujarab dari sang pedagang buatku yang kebingungan kala itu.
Tak patah semangat, ngublek lagi. Namun, tetap saja mantra itu  yang keluar dari sang konglomerat buku sebagaimana mantra dari sang dukun yang dikeluarkan untuk mengobati pasiennya. Maka dari itu, tak jarang dukun itu dianggap sebagai bumbu tahayul yang istimewa. Barangkali saya sama dengan banyak pasien yang berkujung ke dukun X itu, kala itu. Pasien yang pulang diberi air putih untuk diminum. Dan hasinya,byarrr....sama saja! Dalam pengembaraanku itu, kupilih untuk istirahat sejenak guna mengeliminasi rasa capek yang muncul tiba-tiba bagai macan si dukun (konon). Akhirnya dengan saran sang teman yang cukup masuk akal, kuambil karya Tan Malaka yang lain yitu "Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika)".  

Madilog merupakan buku yang menggariskan cerminan manipol Tan Malaka. Dari pandangan berfilsafat, bernegara, dan berpandangan politik, ada di sini. Sayangnya, bahasa yang digunakan lebih kaku dan abstrak. Dengan susah payah, buku dengan jumlah halaman tak kurang dari 568 eksemplar ini selesai juga. Buku yang sangat membutuhkan banyak keringat untuk membaca. 

Pada hari itu,  Sabtu (10 November 2012) aku diminta Ibu untuk menemaninya ke Jogja. Cocok, Bro!! Benar-benar Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu seperti kata Leo Tolstoy. Di tengah perjalanan, hapeku bergetar ternyata sms dari sang teman. Sang teman di Gang Kantil 16 C memberi tahu bahwa ada Pameran Buku di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama. Plassss, bagai air menyiram tanah gersang. AIr yang sangat diharapkan sang tanah muncul di saat yang tepat. Rencana dadakan menyitaku untuk berpikir lebih jauh. Akhirnya kuputuskan untuk singgah semalam di Jogja, (Ibu pulang hari itu juga). Sampai Jogja, kurang lebih pukul 19.00. Tanpa makan terlebih dahulu, bersama seorang kawan yang baik hati bisa juga saya blusukan ke Pameran. 
Perhatianku tertuju pada satu titik fokus. Tak di sangka DPkP nya Tan Malaka berbaris rapi satu per satu tanpa aba-aba dan tanpa lencang kanan. Wah, tangan kanan refleks langusng meraihnya. Tak menunggu waktu lama, SIKATTT!! 

Satu buku idaman sudah oke dilanjutkan putar-putar lagi, bingung mau cari buku apa. Sebenarnya, banyak juga yang menarik, hingga akhirnya ada satu buku yang menyita pandangan mataku. Buku berujudul Stalin Muda karya Simon Sebag Montefiore terpampang rapi menungguku dengan lambaian tanyannya. Kuraih, lalu kubaca-baca sekilas cover belakangnya. Widih, ternyata buku ini sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa dan termasuk best seller. SIKAT lagi. 
Putar-putar lagi, lhoh tak disangka dompet pun tak terasa menipis. Hingga diputuskan untuk pulang saja. 

Kembali ke DPkP. Karya Tan Malaka yang satu ini memang amazing. Bahasa yang digunakan dalam DPkP sangat asyik, berbeda jauh dengan bahasa yang digunakan dalam Madilog. Bahasa sehari-hari tanpa kekakuan penguasa berbalut dengan humor membuat DPkP lebih hidup. Bagiku sendiri, memang Madilog dan DPkP harus berbeda. Madilog merupakan pandangan manipol Tan Malaka, jadi bahasa yang digunakan terkesan kaku. Bisa jadi, hal ini lebih dikarenakan lebih mementingkan tujuan yang hendak dicapai. Adapun memang seharusnya lebih asyik karena DPkP hampir mirip berupa catatan harian Tan Malaka ketika menjadi pelarian politik. Catatan harian memang harus sesuai dengan sifatnya, terbuka, jujur, dan apa adanya. 

Dua hari yang lalu, Dari Penjara ke Penjara dengan 559 eksemplar halaman ini habis sudah kulalap. 
Satu kata yang dapat kuucap: Hebat benar ini orang! Buat kawan-kawan yang suka dengan biografi, sejarah, maupun politik, saya sarankan untuk membaca DPkP. Tak akan rugi. Merujuk dengan apa yang dikatakan Tan Malaka, logika seyogyanya pembaca gunakan untuk memahami isi buku. Pasalnya, kata yang digunakan dalam DPkP masih bercampur baur dengan kata berbahasa Indonesia di era sebelum kemerdekaan dan setelahnya. Bahasa dan kata yang tidak baku banyak bermunculan, misalnya kata dan lebih sering dipakai, padahal yang dimaksudkan adalah dari. 
Gunakan logika semaksimal mungkin dan selamat menikmati...

0 komentar:

Posting Komentar