Minggu, 16 Desember 2012

Tantangan atau bahaya?

Perlahan namun pasti kucoba untuk memulai menapaki kehidupan. Sunyi, sepi. Begitulah adanya. Mengapa benci dengan kesunyian? Banyak orang yang mencoba mengusir kesunyian dengan berbagai cara. Dari memainkan musik, mencoba mencari relasi untuk sekadar ngobrol mengisi waktu luang, ada pula yang mengusirnya dengan berbagai kegiatan yang lain, misal olahraga, termasuk nongkrong di depan komputer dengan menyambungkan jaringan internet. Begitulah, seolah-olah manusia takut dengan kesepian. Bukankah, kelak kita juga akan kembali ke dunia kesepian? Tanpa teman, tanpa saudara, juga tanpa musik. 

Kembali kucoba blusukan ke alam ide. Terbentang paradigma yang sangat kontradiktif. Paradigma ini adalah, perbandingan antara desa (rural) dan kota (urban). Entah bagimana pekembangan zaman mulai melahap jiwa-jiwa kesederhanaan manusia, desa khususnya. Masih teringat jelas dalam benakku ketika diminta untuk memberi sambutan dalam acara pengajian di Lokasi KKN. Bingung juga, tema apa yang akan kuhadirkan? Maklumlah, aku lebih suka di belakang layar. Pun, aku tak suka terkenal. Nah, kuhadirkan saja Perlunya Filterisasi Internet. Simpel, tapi sangat penting. Dengan adonan keringat dingin dengan berbagai macam genderang dag-dig-dug, majulah  aku di depan hadirin. Hingga pada penutupan kuutarakan untuk berhati-hati dalam menggunakan internet, perlu sebuah alat yang dinamakan filter atau penyaring. Orang tua harus bisa membimbing anak-anaknya untuk menghadapi er globalisasi. Kututup sambutan dengan hamdalah dan berjuta -juta tawa, karena rasa grogi berpengaruh kepada bahasa plethoten yang kugunakan. 

Kembali ke permasalahan Desa yang tadi. Desa yang dahulu kita anggap brankas nilai-nilai murni bangsa Indonesia kian hari kian tergerus kerikil tajam. Lihat saja, pola hidup masayarakat desa kini berubah menjadi konsumtif. Mereka lebih bangga belanja di Mall daripada di warung atau di pasar. Tak hanya itu, pola konsumtif ini berdampak pada terkurasnya dompet untuk menyamakan atau menyejajarkan kedudukan mereka di masyarakat. Contoh kecil, mereka berlomba-lomba untuk mengenakan T-Shirt bermerk walaupun KW. Gaya hidup pun berubah sedikit demi sedikit. Masyarakat yang dijuluki santun menjelma menjadi makhluk asing. Lihat saja, dari gaya fashion pemudinya. Lebih suka dengan busana yang agak terbuka. Sekali menggunakan busana yang demikian, maka tak sedikit pemuda-pemuda yang mengantri untuk datang ke rumahnya atau bahkan memboncengkannya. Senada tapi tak sama, anak-anak pun lebih suka mengubur permainan petak umpet, jamuran, atau engklek, mereka lebih tertarik dengan Om Super Mario, Paman Perjuangan Semut, atau bahkan, Tekken yang kesemuanya berada dalam Nintendo, Sega, Play Station, bahkan komputer via internet.

Kalau pembaca punya pikiran yang sama, seharusnya kita telisik lebih dalam  faktor apa yang menjadi api yang menjadikan asap dalam dilematika ini? 
Media, tentu saja. Akses media yang begitu jor-joran semakin menakutkan. Pernahkah terpikir dalam benak pembaca berapa jamkah manusia (mereka) menghabiskan waktunya di depan layar televisi? Tontonan apa saja yang mereka lihat dan berpengaruh dalam perkembangan mindsetnya? Tak pelak lagi, obrolan tentang artis A, B, dan sinetron C meramaikan suasana. Persis bagai koran baru yang menyodorkan berita terhangat. Bukan, ini bukan salah masyarakat desa, melainkan salah kita bersama. Mungkin saja,negara kita belum siap untuk bersaing dengan negara-negara maju. Mungkin juga, negara kita adalah negara penikmat paling besar di dunia (bukan negara penghasil). Ataukah undang-undang yang ada hanya dijadikan rujukan dan alasan untuk membenar/menyalahkan masalah? Entahlah! Yang pasti, negara kita kalau belum mampu mereformasi hal-hal yang demikian akan berujung pada kehancuran.

Negara dengan berbagai pemikir dan barisan kaum aristokrat tentu punya beberapa trik dan jurus andalan untuk menghadapi semuanya. Semoga tak hanya retorika dan terori. Bagi kita sendiri, era globalisasi yang demikian hebat tak bisa diacuhkan begitu saja. Perlunya sebuah solusi untuk menjawab pertanyaan yang mungkin ringat tapi menakutkan ini. Barangkali, tema  pengajian di atas tadi memang tidak ada salahnya diterapkan. Filterisasi Perkembangan Zaman itu harus. Tentu kita tidak mau negeri kita makin hancur tergerus, dan masyarakat desa hanya dijadikan "Museum" prasejarah rujukan mahasiswa akhir untuk dijadikan bahan penelitian yang sangat teoretis. 

Bagaimana caranya? 
  1. Jangan terlalu takjub dan tergiur dengan hal-hal baru, bersikaplah biasa saja 
  2. jangan bergantung pada satu hal, kebergantungan ini akan menyebabkan kita mengubur diri kita sendiri
  3. Sikapi dengan cara yang arif dan bjikasana setiap permasalahan yang ada. Caranya, pertimbangkanlah manfaat dan mudharatnya. Ke depan, ke belakang, juga ke lingkungan sekitar 
  4. Belajarlah dari sedikit demi sedikit, ilmu itu tak harus datang dengan seabreg dan secepat kilat 
Mungkin pembaca yang budiman punya berbagai cara ampuh untuk dishare? Saya nantikan usulannya..

0 komentar:

Posting Komentar