Senin, 24 Juni 2013
Tentunya akan terasa nikmat kalau apa yang kita idamkan
berbuah menjadi kenyataan. Benar saja, aku pun sama halnya dengan
manusia-manusia lain yang ada di permukaan bumi ini. Cita-cita dan impian
selalu saja menjadi faktor utama untuk menentukan target seseorang. Target yang
telah kita pasang inilah yang kemudian berusaha untuk kita raih. Tanpa adanya
target cita-cita dan impian, tentu sebuah perjalanan takkan lebih dari cerita
hambar belaka.
Sehubungan dengan itu, ingin kutuliskan rekam jejak
perjalanan ekspedisiku yang keempat. Target operasi kami kali ini adalah
peninggalan bersejarah kerajaan Jipang Panolan. Salah satu kerajaan yang tak
bisa lepas dari track record sejarah
Islam di Jawa. Beruntunglah kami dapat mengunjunginya dan merekamnya meski
dalam ingatan dan catatan pribadi yang carut marut ini. pernah kalian mendengar
nama Raden Arya Penangsang?
Kabupaten
Blora memiliki beberapa situs sejarah yang tak boleh dihilangkan begitu saja.
Termasuk dengan Arya Penangsang atau Arya Jipang. Sebagai putra daerah, kami
hanya ingin mengetahui secara langsung tentang beberapa tempat yang ada di
tanah kelahiran kami. Terlebih lagi tentang sebuah kerajaan yang sangat
ditakuti Demak sewaktu itu. Beginilah lukisan perjalanan kami.
Minggu, 23 juni 2013 merupakan awal pembuktian kami.
Berawal dari obrolan Zouza bahwa ia pernah ke situs peninggalan Kerajaan Jipang
tempo hari, aku jadi semain penasaran. Jipang Panolan, sebuah kerajaan dengan
Raden Arya Penangsang sebagai rajanya menyimpan misteri yang sangat besar
buatku pribadi. Cerita tentang seorang yang sakti mandraguna yang akhirnya
kalah karena kecerobohannya ini pernah kudengar ceritanya ketika masih duduk di
bangku kuliah. Bersama seorang kawan, kami pun diskusi tentang tokoh satu ini dengan
sangat seru. Kawan diskusiku yang berasal dari Malang ini mempunyai pemahaman
tentang Jawa yang lebih. Saking asyiknya diskusikami sampai lupa waktu. Tak
disangka diskusi berlangsung dari pukul 19.00 sampai pukul 03.00.
Usai membuat janji dengan Zouza hari sebelumnya akhirnya
kami berangkat juga, Minggu (23/7/13). Pukul 07.30 dari Ngawen perjalanan dimulai.
Masih dengan Alfred Merah, kami sibak jalanan yang bergelombang ini. Sebelumnya
Zouza pernah menawarkan Vespa Piaggio putihnya untuk perjalanan ini. Akan
tetapi mengingat medan yang cukup jauh ditambah dengan kondisi jalan Blora yang
hancur kami memutuskan untuk menggunakan Alfred merah. Walau sama tuanya tapi
mungkin Alfred lebih bisa diandalkan. Tujuan perjalanan kali ini adalah Cepu. Perjalanan
kali ini memang sungguh luar biasa.
Setelah
kota Blora terlewati, masuklah kami ke gapura, gerbang masuk Kecamatan Cepu.
Sesampai di pertigaan, kami belok kanan. Di kanan jalan nampak terminal yang
cukup ramai. Kami berhenti cukup lama di lampu merah. Dari lampu merah terminal
itu kami ambil arah kanan lagi. Sampai di suatu pasar, kami salah arah.
“Sebentar,
Bro. Kalau tidak salah masuk gang yang ada di depan itu,” kata kawanku ini.
Karena
dia memang pernah ke sana, aku yang memegang kemudi mengikuti petunujknya.
Nyatanya kami salah jalan, bukannya kami sampai tujuan. Kami malah masuk ke
perumahan padat penduduk. Akhirnya keluar dan kembali ke jalan utama
Cepu-Randublatung. Hingga akhirnya terselamatkan dengan petunjuk jalan Bandara Ngloram. Kami ambil belok kiri
sesuai arah papan tersebut. Hebat, jauh juga perjalanan ini. Pantat mulai
kembang kempis. Sebuah kereta api yang melintas menjadi pemandangan yang cukup
menghibur. Pun masih dengan goyangan pantat. Kiri, kanan, angkat, duduk lagi, panas
sekali.
Perjalanan makin lama makin menarik. Tanya kenapa?
(mengutip jargon iklan) Satu per satu rasa penasaran ini setelah memasuki Desa
bernama Jipang. Bahkan, nama Jipang sendiri masih digunakan sebagai nama Desa
sampai sekarang. Hebat. Kami ambil arah berbelok, masuk jalan kampung tanpa
aspal. Sepeeda motor kami parkir. Air minum, buku, dan pena kami kukeluarkan. Takjub.
Sampailah kami di sebuah makam dengan sembilan batu nisan berjajar rapi. Makam
yang berpagar tembok ini kesemua nisannya ditutup dengan kain putih. Zouza
bilang “Ini, nih makam santri pitu.”
Ujarnya sambil minum.
Makam Santri pitu/santri sanga (Dok Pri) |
“Kok pitu? Bukannya dalam makam itu terdapat
sembilan batu nisan?” tanyaku heran.
“Iya, makam ini sering
disebut dengan makam santri pitu, tak
jarang juga disebut makam santri sanga.
Konon dulu ketika ada penyerangan dari Demak ke Jipang, santri-santri ini
dianggap dibunuh arena dianggap sebagai mata-mata. Itu tuh di pertigaan itu
katanya dulu tempat bertarungnya Arya Penangsang,” tutur Zouza.
Sampai kini masih
kucoba mencari kejelasan tentang informasi ini. Sumber dari mulut ke mulut ini
tentu akan menimbulkan berbagai kontroversi. Tapi setidaknya informasi inilah
yang dapat saat itu.
Tak
jauh dari lokasi makam Santri Sanga,
Alfred ini kupacu lagi untuk menyusuri lembah Bengawan Solo.
“Ayo,
katanya mau mencari pecahan keramik,” ajak Zouza.
Kami
berhenti di sebuah lahan yang cukup luas. Di sebelah sungai, dengan kondisi
tanah banyak tertutup dedaunan kering. Di sinilah kami coba mencari sisa-sisa
pecahan keramik. Benar saja, banyak pecahan-pecahan keramik yang tertimbun
tanah. Memang yang kami ambil masih tergolong pecahan yang cukup kecil.
“Penduduk
di sekitar sini apa mungkin pernah menemukan keramik utuh atau semacamnya ya
Bro?” tanyaku sambil memunguti pecahan keramik itu.
“Nah
itu dia, Bro. Ada yang bilang kalau penduduk sekitar sini pernah menemukan guci
yang utuh. Hanya retak saja,” jawab kawanku ini.
Sesekali
kami harus mengibaskan tangan untuk mengusir kerumunan nyamuk yang makin
menggila. Satu dua langkah kaki menyaruk rimbunan daun kering. Mata dipasang dengan
sangat teliti. Satu per satu pecahan ini masuk kantong plastik.
“Masukkan
saja semua yang ada, nanti di rumah baru dicuci,” pinta Zouza.
Kuserahkan
pecahan yang aneh “Ini Bro, bekas piring Kaisar Romawi,” kataku sambil
cengar-cengir.
Dilihatnya
sebentar “Ini pecahan piringnya Mbah Tris, ha ha ha…” sebentar kami tertawa.
“Ini lihat fosil manusia purba. Lihat, beda kan sama batu yang lain,” kataku.
“Apa
ini? Ini sih pondasi bangunan. Kampret kamu Bro malah ngajak bercanda,” sahut
Zouza sambil melemparkan batu yang kuserahkan.
Lembah Bengawan Solo (Dok.Pri) |
Hari
mulai siang. Akhirnya kami memutuskan untuk segera beranjak dari tempat itu.
Alfred kupacu lagi, masih dengan suara cementeng knalpot yang mengeluarkan asap
putih. Sampailah kami di sebuah makam. Makam
Gedong Jipang. Makam inilah yang menjadi tujuan utama. Sebuah makam dengan
pintu gerbang terbuat dari batu bata. Sesekali mengambil gambar di depan pintu
gerbang, kami berjalan masuk ke dalam. Sebelum menapakkan kaki di dalam makam,
kami bertemu dengan lelaki tua penggembala kambing.
“Mbah,
mau melihat-lihat ke dalam,” ujar Zouza.
“Iya,
monggo. Tapi itu ya Mas, jangan masuk dalam makam yang dilingkari kain putih
itu lho ya. Saya saja yang hidup empat puluh tahun di sini belum pernah masuk
ke sana,” kata lelaki tua itu.
Makam Gedong Jipang (Dok.Pri) |
Setelah
mengucapkan salam, kami pun masuk. Makam yang sangat luas. Terlihat beberapa
nisan terbuat dari kayu. Ukiran kayu nisan tua itu berukir. Ukiran yang
menandakan bahwa yang dikuburkan sudah cukup lama meninggal. Pada zaman
sekarang ini orang lebih memilih nisan beton, bukan ukiran kayu seperti yang
ada di sebelah ini. Beberapa kali kamera handphone
dibidikkan ke nisan-nisan ini. Ketika kami sampai di tengah makam, tepat di
depan makam yang dilingkari kain putih suasana berubah mencekam. Sepi.
Mengerikan. Dimana-mana banyak dupa dan sesajian. Kondisi serupa dengan yang
kami temukan di makam Santri Sanga.
“Ayo
difoto, Bro,” pintaku kepada Zouza.
“Ini
kamu saja yang ngambil gambar,” disodorkannya hape itu kepadaku. Segera
kuterima sambil mengucap “niatnya baik kok Bro,” langsung jeprat-jepret.
Setelah itu, baru Zouza berani mengambil gambar. Memang kondisi makam ini lain
dari yang lain. Terdapat tiga nisan dalam tutupan kain putih yang mengitari
makam seolah tembok putih itu. Sama halnya dengan pesan si Bapak tadi, kami
tidak masuk dalam kitaran kain. Hanya mengambil gambar dari luar batas kain
putih. Nisan ini berupa tumpukan batu bata yang berlumut. Batu bata yang sangat
aneh, karena bata yang ada dalam makam berbeda dengan bata pada umumnya.
Pecahan bata ini nampak berukuran lebih besar. Di sini pula kami jumpai nisan
yan ternyata memiliki posisi yang berlawanan. Mungkin mereka yang meninggal
mempunyai keyakinan yang berbeda. Pohon-pohon besar di sekitar makam masih
nampak berdiri kokoh. Di makam ini pula kami tahan untuk sekadar ngobrol perihal Arya Penangsang dan kerajaan Jipang. Katanya sih pantangan, termasuk juga
mengambil barang yang ada di sekitar makam.
Makam siapa sajakah yang terdapat
di dalam? Entah aku pun tak tahu. Tak ada orang lewat yang bisa kutanyai.
Setelah kami rasa cukup. Akhirnya kami keluar makam menuju jalanan. Alfred
kustarter kembali. Balik ke arah jalan yang kami lewati sebelumnya dan ketika
ada lorong kecil kami pun masuk ke dalam. Takjub. Ya, mungkin kata itu yang
dapat dijadikan sebagai perwakilan kondisi yang ada di sana. Pepohonan-peohonan
besar yang asri dan rindang. Bengawan sore. Bengawan sore ini pula yang
menunjukkan sisa-sisa kerajaan Jipang. Masih terlihat batu bata di sekitar
lokasi. Mengelilingi daerah yang kami kunjungi itu. Konon, Bengawan Sore ini
dulunya digunakan untuk membentengi kerajaan. Bengawan Sore ini dulu digunakan
sebagai parit pertahanan dengan aliran air yang diambil dari Lembah Bengawan
Solo. Terlihat jelas batu bata yang ada jauh lebih besar dibanding dengan batu
bata zaman sekarang. Beberapa gundukan dengan penuh batu bata berlumut seperti
kami temukan di makam Gedong Jipang. Terdapat sebuah makam di sini. Entahlah
kami pun tak tahu ini makam siapa. Ceceran dupa pun nyata terlihat di sana.
Bedanya, tak sebanyak yang ada di makam Gedong. Kami perhatikan terus batu bata
ini dengan seksama. Sempat kami ambil dan mengukurnya dengan tangan. Satu kilan,
batu bata yang lebih tipis dengan corak gambar di bagian tengah. Tak mungkin
ini bata zaman sekarang. Pun dengan hijau lumut yang menyelimuti batu ini.
Tiga nisan dalam tabir putih (Dok.Pri) |
Waktu
pun semakin siang. Terlihat mendung mulai menyergap. Kami pacu Alfred Merah
ini. Pulang. Rencananya sih mau mampir ke Makam Janjang yang tertulis di papan
pinggir jalan. Ketika kami lihat jaraknya sangat jauh ditambah dengan medan
jalan yang rusak, kami pun urung ke sana. Sampai di rumah kurang lebih pukul
14.00. Cukup melelahkan. Istirahat sambil mencuci pecahan keramik yang telah
kami dapatkan dari lembah bengawan solo. Banyak hal janggal yang dapat kami
temukan dari pecahan keramik ini. kami cari di satu tempat saja banyak sekali
motif yang tidak sama. Sungguh perjalanan yang sangat menyenangkan.