Senin, 29 Juli 2013

Blora Expedition part 4 (Jipang)

Senin, 24 Juni 2013
          Tentunya akan terasa nikmat kalau apa yang kita idamkan berbuah menjadi kenyataan. Benar saja, aku pun sama halnya dengan manusia-manusia lain yang ada di permukaan bumi ini. Cita-cita dan impian selalu saja menjadi faktor utama untuk menentukan target seseorang. Target yang telah kita pasang inilah yang kemudian berusaha untuk kita raih. Tanpa adanya target cita-cita dan impian, tentu sebuah perjalanan takkan lebih dari cerita hambar belaka.
          Sehubungan dengan itu, ingin kutuliskan rekam jejak perjalanan ekspedisiku yang keempat. Target operasi kami kali ini adalah peninggalan bersejarah kerajaan Jipang Panolan. Salah satu kerajaan yang tak bisa lepas dari track record sejarah Islam di Jawa. Beruntunglah kami dapat mengunjunginya dan merekamnya meski dalam ingatan dan catatan pribadi yang carut marut ini. pernah kalian mendengar nama Raden Arya Penangsang?
Kabupaten Blora memiliki beberapa situs sejarah yang tak boleh dihilangkan begitu saja. Termasuk dengan Arya Penangsang atau Arya Jipang. Sebagai putra daerah, kami hanya ingin mengetahui secara langsung tentang beberapa tempat yang ada di tanah kelahiran kami. Terlebih lagi tentang sebuah kerajaan yang sangat ditakuti Demak sewaktu itu. Beginilah lukisan perjalanan kami.
          Minggu, 23 juni 2013 merupakan awal pembuktian kami. Berawal dari obrolan Zouza bahwa ia pernah ke situs peninggalan Kerajaan Jipang tempo hari, aku jadi semain penasaran. Jipang Panolan, sebuah kerajaan dengan Raden Arya Penangsang sebagai rajanya menyimpan misteri yang sangat besar buatku pribadi. Cerita tentang seorang yang sakti mandraguna yang akhirnya kalah karena kecerobohannya ini pernah kudengar ceritanya ketika masih duduk di bangku kuliah. Bersama seorang kawan, kami pun diskusi tentang tokoh satu ini dengan sangat seru. Kawan diskusiku yang berasal dari Malang ini mempunyai pemahaman tentang Jawa yang lebih. Saking asyiknya diskusikami sampai lupa waktu. Tak disangka diskusi berlangsung dari pukul 19.00 sampai pukul 03.00.
          Usai membuat janji dengan Zouza hari sebelumnya akhirnya kami berangkat juga, Minggu (23/7/13). Pukul 07.30 dari Ngawen perjalanan dimulai. Masih dengan Alfred Merah, kami sibak jalanan yang bergelombang ini. Sebelumnya Zouza pernah menawarkan Vespa Piaggio putihnya untuk perjalanan ini. Akan tetapi mengingat medan yang cukup jauh ditambah dengan kondisi jalan Blora yang hancur kami memutuskan untuk menggunakan Alfred merah. Walau sama tuanya tapi mungkin Alfred lebih bisa diandalkan. Tujuan perjalanan kali ini adalah Cepu. Perjalanan kali ini memang sungguh luar biasa.
Setelah kota Blora terlewati, masuklah kami ke gapura, gerbang masuk Kecamatan Cepu. Sesampai di pertigaan, kami belok kanan. Di kanan jalan nampak terminal yang cukup ramai. Kami berhenti cukup lama di lampu merah. Dari lampu merah terminal itu kami ambil arah kanan lagi. Sampai di suatu pasar, kami salah arah.
“Sebentar, Bro. Kalau tidak salah masuk gang yang ada di depan itu,” kata kawanku ini.
Karena dia memang pernah ke sana, aku yang memegang kemudi mengikuti petunujknya. Nyatanya kami salah jalan, bukannya kami sampai tujuan. Kami malah masuk ke perumahan padat penduduk. Akhirnya keluar dan kembali ke jalan utama Cepu-Randublatung. Hingga akhirnya terselamatkan dengan petunjuk jalan Bandara Ngloram. Kami ambil belok kiri sesuai arah papan tersebut. Hebat, jauh juga perjalanan ini. Pantat mulai kembang kempis. Sebuah kereta api yang melintas menjadi pemandangan yang cukup menghibur. Pun masih dengan goyangan pantat. Kiri, kanan, angkat, duduk lagi, panas sekali.
          Perjalanan makin lama makin menarik. Tanya kenapa? (mengutip jargon iklan) Satu per satu rasa penasaran ini setelah memasuki Desa bernama Jipang. Bahkan, nama Jipang sendiri masih digunakan sebagai nama Desa sampai sekarang. Hebat. Kami ambil arah berbelok, masuk jalan kampung tanpa aspal. Sepeeda motor kami parkir. Air minum, buku, dan pena kami kukeluarkan. Takjub. Sampailah kami di sebuah makam dengan sembilan batu nisan berjajar rapi. Makam yang berpagar tembok ini kesemua nisannya ditutup dengan kain putih. Zouza bilang “Ini, nih makam santri pitu.” Ujarnya sambil minum.
Makam Santri pitu/santri sanga (Dok Pri)
“Kok pitu? Bukannya dalam makam itu terdapat sembilan batu nisan?” tanyaku heran.
“Iya, makam ini sering disebut dengan makam santri pitu, tak jarang juga disebut makam santri sanga. Konon dulu ketika ada penyerangan dari Demak ke Jipang, santri-santri ini dianggap dibunuh arena dianggap sebagai mata-mata. Itu tuh di pertigaan itu katanya dulu tempat bertarungnya Arya Penangsang,”  tutur Zouza.
Sampai kini masih kucoba mencari kejelasan tentang informasi ini. Sumber dari mulut ke mulut ini tentu akan menimbulkan berbagai kontroversi. Tapi setidaknya informasi inilah yang dapat saat itu.
Tak jauh dari lokasi makam Santri Sanga, Alfred ini kupacu lagi untuk menyusuri lembah Bengawan Solo.
“Ayo, katanya mau mencari pecahan keramik,” ajak Zouza.
Kami berhenti di sebuah lahan yang cukup luas. Di sebelah sungai, dengan kondisi tanah banyak tertutup dedaunan kering. Di sinilah kami coba mencari sisa-sisa pecahan keramik. Benar saja, banyak pecahan-pecahan keramik yang tertimbun tanah. Memang yang kami ambil masih tergolong pecahan yang cukup kecil.
“Penduduk di sekitar sini apa mungkin pernah menemukan keramik utuh atau semacamnya ya Bro?” tanyaku sambil memunguti pecahan keramik itu.
“Nah itu dia, Bro. Ada yang bilang kalau penduduk sekitar sini pernah menemukan guci yang utuh. Hanya retak saja,” jawab kawanku ini.
Sesekali kami harus mengibaskan tangan untuk mengusir kerumunan nyamuk yang makin menggila. Satu dua langkah kaki menyaruk rimbunan daun kering. Mata dipasang dengan sangat teliti. Satu per satu pecahan ini masuk kantong plastik.
“Masukkan saja semua yang ada, nanti di rumah baru dicuci,” pinta Zouza.
Kuserahkan pecahan yang aneh “Ini Bro, bekas piring Kaisar Romawi,” kataku sambil cengar-cengir.
Dilihatnya sebentar “Ini pecahan piringnya Mbah Tris, ha ha ha…” sebentar kami tertawa. “Ini lihat fosil manusia purba. Lihat, beda kan sama batu yang lain,” kataku.
“Apa ini? Ini sih pondasi bangunan. Kampret kamu Bro malah ngajak bercanda,” sahut Zouza sambil melemparkan batu yang kuserahkan.
Lembah Bengawan Solo (Dok.Pri)
Hari mulai siang. Akhirnya kami memutuskan untuk segera beranjak dari tempat itu. Alfred kupacu lagi, masih dengan suara cementeng knalpot yang mengeluarkan asap putih. Sampailah kami di sebuah makam. Makam Gedong Jipang. Makam inilah yang menjadi tujuan utama. Sebuah makam dengan pintu gerbang terbuat dari batu bata. Sesekali mengambil gambar di depan pintu gerbang, kami berjalan masuk ke dalam. Sebelum menapakkan kaki di dalam makam, kami bertemu dengan lelaki tua penggembala kambing.
“Mbah, mau melihat-lihat ke dalam,” ujar Zouza.
“Iya, monggo. Tapi itu ya Mas, jangan masuk dalam makam yang dilingkari kain putih itu lho ya. Saya saja yang hidup empat puluh tahun di sini belum pernah masuk ke sana,” kata lelaki tua itu.
Makam Gedong Jipang (Dok.Pri)
Setelah mengucapkan salam, kami pun masuk. Makam yang sangat luas. Terlihat beberapa nisan terbuat dari kayu. Ukiran kayu nisan tua itu berukir. Ukiran yang menandakan bahwa yang dikuburkan sudah cukup lama meninggal. Pada zaman sekarang ini orang lebih memilih nisan beton, bukan ukiran kayu seperti yang ada di sebelah ini. Beberapa kali kamera handphone dibidikkan ke nisan-nisan ini. Ketika kami sampai di tengah makam, tepat di depan makam yang dilingkari kain putih suasana berubah mencekam. Sepi. Mengerikan. Dimana-mana banyak dupa dan sesajian. Kondisi serupa dengan yang kami temukan di makam Santri Sanga.
“Ayo difoto, Bro,” pintaku kepada Zouza.
“Ini kamu saja yang ngambil gambar,” disodorkannya hape itu kepadaku. Segera kuterima sambil mengucap “niatnya baik kok Bro,” langsung jeprat-jepret. Setelah itu, baru Zouza berani mengambil gambar. Memang kondisi makam ini lain dari yang lain. Terdapat tiga nisan dalam tutupan kain putih yang mengitari makam seolah tembok putih itu. Sama halnya dengan pesan si Bapak tadi, kami tidak masuk dalam kitaran kain. Hanya mengambil gambar dari luar batas kain putih. Nisan ini berupa tumpukan batu bata yang berlumut. Batu bata yang sangat aneh, karena bata yang ada dalam makam berbeda dengan bata pada umumnya. Pecahan bata ini nampak berukuran lebih besar. Di sini pula kami jumpai nisan yan ternyata memiliki posisi yang berlawanan. Mungkin mereka yang meninggal mempunyai keyakinan yang berbeda. Pohon-pohon besar di sekitar makam masih nampak berdiri kokoh. Di makam ini pula kami tahan untuk sekadar ngobrol perihal Arya Penangsang dan kerajaan Jipang. Katanya sih pantangan, termasuk juga mengambil barang yang ada di sekitar makam.
Tiga nisan dalam tabir putih (Dok.Pri)
Makam siapa sajakah yang terdapat di dalam? Entah aku pun tak tahu. Tak ada orang lewat yang bisa kutanyai. Setelah kami rasa cukup. Akhirnya kami keluar makam menuju jalanan. Alfred kustarter kembali. Balik ke arah jalan yang kami lewati sebelumnya dan ketika ada lorong kecil kami pun masuk ke dalam. Takjub. Ya, mungkin kata itu yang dapat dijadikan sebagai perwakilan kondisi yang ada di sana. Pepohonan-peohonan besar yang asri dan rindang. Bengawan sore. Bengawan sore ini pula yang menunjukkan sisa-sisa kerajaan Jipang. Masih terlihat batu bata di sekitar lokasi. Mengelilingi daerah yang kami kunjungi itu. Konon, Bengawan Sore ini dulunya digunakan untuk membentengi kerajaan. Bengawan Sore ini dulu digunakan sebagai parit pertahanan dengan aliran air yang diambil dari Lembah Bengawan Solo. Terlihat jelas batu bata yang ada jauh lebih besar dibanding dengan batu bata zaman sekarang. Beberapa gundukan dengan penuh batu bata berlumut seperti kami temukan di makam Gedong Jipang. Terdapat sebuah makam di sini. Entahlah kami pun tak tahu ini makam siapa. Ceceran dupa pun nyata terlihat di sana. Bedanya, tak sebanyak yang ada di makam Gedong. Kami perhatikan terus batu bata ini dengan seksama. Sempat kami ambil dan mengukurnya dengan tangan. Satu kilan, batu bata yang lebih tipis dengan corak gambar di bagian tengah. Tak mungkin ini bata zaman sekarang. Pun dengan hijau lumut yang menyelimuti batu ini.

Waktu pun semakin siang. Terlihat mendung mulai menyergap. Kami pacu Alfred Merah ini. Pulang. Rencananya sih mau mampir ke Makam Janjang yang tertulis di papan pinggir jalan. Ketika kami lihat jaraknya sangat jauh ditambah dengan medan jalan yang rusak, kami pun urung ke sana. Sampai di rumah kurang lebih pukul 14.00. Cukup melelahkan. Istirahat sambil mencuci pecahan keramik yang telah kami dapatkan dari lembah bengawan solo. Banyak hal janggal yang dapat kami temukan dari pecahan keramik ini. kami cari di satu tempat saja banyak sekali motif yang tidak sama. Sungguh perjalanan yang sangat menyenangkan.  



0 komentar:

Posting Komentar