Sabtu, 23 November 2013

KETIKA TIKUS TENGKURAP DI ASPAL

Suatu ketika saat saya sedang mencoba menikmati alam. Maksud hati hendak mencuci mata dengan pemandangan yang serba hijau. Tak lama berselang pemandangan hijau itu pun berganti dengan pemandangan yang serba tak menarik. Bagaimana tidak? Bangkai-bangkai tikus dengan berbagai pose menempel menghiasi aspal hitam. Lengkap dengan cipratan darah baik dari moncongmaupun dari belahan perutnya. Semua ini bagaikan lukisan dengan kanvas hitam. Lukisan bernilai tinggi karena berlangsung terus menerus.

Pembunuhan makhluk pengerat dengan cara cepat dan tak terlalu merepotkan. Inilah cara yang paling ampuh digunakan di tempat saya. Tak usah heran ketika melihat banyaknya bangkai makhluk sawah, baik tikus maupun ular tiarap rapi di aspal. Tipis dan lengket. Berapa banyak ban yang melindasnya? Hal ini menimbulkan permasalah tersendiri yang harus diatasi. Jika kita ingin mencari sebab kita patut berpikir apakah ini budaya kaum urban marginal yang ada di tempatku? Budaya kaum pedesaan dengan pendidikan yang serba terbatas? Atau barangkali sebegitu hinakah nyawa seekor tikus yang juga makhluk ciptaannNya? Ataukah hati manusia ini berrti bahwa hati manusia kini mulai merem dengan perasaan?

Apa mau dikata kalau memang pelakunya tidak tahu. Akan tetapi bila dikaitkan dengan alasan yang kedua dan ketiga, tentu akan menjadi hal yang sangat timpang. Manusia yang hidup pada tahun ini tentunya memiliki tingkat kecerdasan yang relatif lebih baik. Mereka terlahir dengan tingkat peradaban yang telah banyak tersaring oleh sejarah. Bukankah sejarah itulah yang membuat manusia lebih bijak dalam bersikap.
Manusia-manusia ini adalah manusia yang dilahirkan pada abad millenium yang katanya lebih modern. Manusia yang mampu menggerakkan segala sesuatu hanya dengan sentuhan. Teknologi super canggih yang dijadikan sebagai faktor kebanggaan nyatanya melempem ketika disejejarkan dengan dampak yang diakibatkan. Sebuah pemandangan tikus tadi setidaknya akan berbeda rasa jika bangkai yang menempel di aspal itu diganti. Apa yang akan terjadi kalau bangkai yang telah berkali-kali terlindas ban itu diganti dengan mayat saudara, mayat ayah dan ibu, atau bahkan diganti dengan mayat kita sendiri. Masihmeremkah mata hati manusia menyaksikan pemandangan ini? Bisa jadi, karena manusia thaun ini lebih suka memakan manusia daripada beras.

Satu hal yang pasti adalah perkembangan zaman yang ada saat ini tidak dibarengi dengan pengembangan mental yang kuat. Manusia-manusia zaman ini telah dininabobokkan dengan keadaan. Mereka menjadi manja. Segala sesuatu hanya ingin cepat dan enak. Mudah tanoa keringat. Mereka lupa berpikir tentang dampak yang diakibatkan selanjutnya. Suatu kali ketika saya bersama kawan-kawan camping di Gunung Sumbing. Dalam perjalanan, kami mennjumpai ceruk-ceruk yang biasanya berair. Sayangnya kini telah mampet. Lantas, darimana satwa-satwa yang ada di sana minum. Melihat kekeringan yang ada tentu saja mereka minum dari ludahnya sendiri. Ludah yang hanya dalam hitungan menit akan habis dan kering. Ekosistem terguncang akan berakibat terhadap alam semesta.
Lihatlah, akhir-akhir ini kekeringan yang ada semakin lama semakin parah. Siang menjadi lebih panas dibanding dengan tahun-tahun yang lalu. Pun dengan suhu dingin. Kalau memang sudah demikian salahkah jika satwa yang hidup di gunung, kemudian turun. Mencari makan dan minum hanya untuk memenuhi kebutuhan perut anak-anaknya. Belum lama terjadi, harimau kumbang turun gunung Semeru untuk mencari makan. Harimau hitam ini kemudian masuk ke perkampungan penduduk. Tak lama berselang, ia pun ditembak mati dengan alasan membahayakan dan sulit dikendalikan. Seekor hewan yang hendak mencukupi kebutuhannya tewas tak berdaya dii ujung peluru. Lihat juga di Pati, tepatnya di Pucakwangi. Seekor macan tutul turun ke perkampungan untuk sekadar mencari makan. Untunglah macan ini tidak mengalami nasib tragis sebagaimana si macan kumbang. Ia berhasil ditangkap hidup-hidup.

Perkembangan zaman yang ada malah menjadikan sebagian pihak sengsara. Jika saja sebuah timbangan berat sebelah. Tentunya timbal besi takaran pun lama kelamaan akan jatuh. Dan ketika sudah jatuh, timbal itu pun akan tertimbun tanah dan terinjak-injak oleh kaki-kaki kotor. Apakah kita hanya akan menunggu si timbal in jatuh dan terinjak? Memang masih ada beberapa organ yang mendedikasikan dirinya untuk alam ini. Akan tetapi, jumlah mereka tidak sebanding dengan jumlah manusia yang merasa perutnya lapar. Ketika perut manusia lapar, nafsu untuk mengisi perut yang keroncongan ini lebih vokal daripada pikiran yang jernih. Bermula dari itulah satwa yang ada di alam dikeruk dan dijual untuk memenuhi teriakan perut. 

Mereka yang memiliki wewenang harusnya lebih cepat bergerak kalau ingin alam ini selamat. Sayangnya, kecepatan bergerak mereka hanya ada ketika amplop datang. kecepatan tangan mereka lebih cerdik dari kecepatan tangan pencopet. Mereka tahu kalau isi amplop itu akan berbunga jika ditanam. Sedangkan si pencopet tidak. Mereka hanya tahu, kebutuhan perut belaka. Dan kebiasaan ini akan semakin lama semakin dihapus. Kebiasaan yang telah menjadi budaya bangsa. Akan lebih setuju kalau yang mati dan tengkurap di aspal bukan pengerat kecil melainkan tikus besar. Tikus bersafari dan berdasi.
  Blora, 02 November 2013

0 komentar:

Posting Komentar