Senin, 29 Juli 2013

Blora Expedition Part 3 (Terawang-Manggir)

Minggu, 26 Mei 2013
Rencana yang sudah kuatur sebelumnya bersama adikku akhirnya berjalan. Sabtu menjadi klimaks dari konsep dan rencana itu. Segala sesuatu pasti mepunyai dampak, adanya aksi tentu menghasilkan reaksi. Adapun menurut Hegel sang filsuf, sebuah thesis akan dihadapkan dengan antithesis yang kemudian menimbulkan hasil yaitu sintesis. Maka dari itu, sebagai kesinambungan dari kunjunganku yang kedua kudatangi lagi obyek wisata di daerah Todanan, Blora, Jawa Tengah.
Goa Terawang
Saat pertama kali datang kemari, aku hanya masuk ke cungkup goa utama. Maklumlah, bersama dengan orang-orang semi formal. Dari sini sedikit demi sedikit rasa penasaran itu menemui bentuknya. Hingga akhirnya bersama Tulus dan Sosa (kedua kawanku) ini kusambangi untuk kedua kalinya.
Penasaran sebagai perwujudan tesis ini mendapatkan konfrontasi, hingga membuat diri mencari pembenaran. Antitesis muncul. Yaitu pencarian beberapa goa yang terdapat dalam papan penunjuk jalan. Bosan dengan goa utama saja. Hingga akhirnya ketemu lah sintesis Goa-Goa yang kita jumpai selain Goa utama (Terawang). Goa-goa itu antara lain: Goa Macan, Goa Kidang, dan Goa Celeng.
Pagi itu pukul 08. 30 kami bertolak menuju lokasi. Untukku pribadi sebenarnya hanya untuk mengisi liburan. Tapi mungkin berbeda untuk adikku yang belum pernah ke sini. Dengan Yamaha Merah Alfa keluaran tahun 1992 akhirnya sampailah kami di lokasi. Rute yang kami ambil adalah Ngawen-Japah-Todanan. Bersama motor tua yang terus terengah-engah akhirnya 09.30 sampai di lokasi. Kurang lebih satu jam perjalanan dari Ngawen. Sesampai di portal masuk Goa sepeda motor kami parkir. Menemui penjaga portal untuk membayar biaya masuk. Korup? Mungkin saja. Untuk biaya masuk dipatok harga per @ Rp. 5000,- dan parkir motor Rp. 2000,-. Aku minta tiket masuk. Barangkali ini adalah kebiasaan burukku untuk selalu mengoleksi tiket masuk obyek yang pernah kusambangi. Di lembaran tiket tertulis biaya masuk per @ Rp. 4.000,- dan untuk biaya parkir kendaraan Rp 4.000,-. Kalau memang yang terjadi adalah perubahan yang belum sempat ditulis dalam tiket semoga saja. Dan mudah-mudahan bukan korupsi. Sengaja kuminta kepada petugas tentang denah goa mana saja yang ada di Wanawisata Goa Terawang. Dan digambarkan saat itu juga di kertas HVS.
Berjalan menuju goa utama, Goa Terawang. Nampak  masih seperti yang dulu, belum ada perubahan. Hanya tanah liat yang berlumpur yang nampaknya berubah. Praktis medan akan jauh lebih berat. Bisa jadi semalam di sini hujan. Ketika kami datang masih sepi, belum banyak pengunjung. Menuruni tangga semen yang telah rompal di sana-sini. Tiang handle atau pegangan tangan juga putus di tengah jalan. Masih seperti yang kemarin waktu datang pertama, atau kedua. kedatangan kami disambut primate yang bergelantungan. Ya, era masih menjadi fauna yang tersisa. Tentu selain dari bururng-burung hutan yang antara lain: kutilang, prenjak, ataupun cendhet.
Kususuri Goa. Mulai dari Goa utama, Goa Terawang. Senter kunyalakan. Lalu masuk. Terawang I, Terawang II, hingga Terawang V. Buntu. Kami keluar. Sebelum keluar, kami coba masuki jalan alternatif yang ada. Wah bagus juga. Untuk fauna, kera di sini masih banyak. Kedatangan disambut dengan beberapa kera yang melompat ke sana-kemari. Adikku ini tampak gembira sekali. Terlihat dari sorot mata dan raut mukanya.
Dari Goa Terawang ini, sambil melihat peta yang digambar Bapak Petugas kami lanjutkan perjalanan. Ke kanan lurus, maklum aku adalah orang yang paling payah dalam hal arah. Hanya tahu kanan-kiri oke. Setelah berjalan cukup jauh, target yang kami cari ketemu juga. Goa Bebek. Dilihat dari keadaan sekeliling goa ini nampak jarang dikunjungi. Kami pun sebenarnya tak tahu kalau ada goa di pertigaan jalan setapak. Ketika kulihat peta untuk ke sekian kalinya barulah sebuah pikiran muncul: harusnya Goa Gombak berada di sekitar sini, dan benar saja bukannya Goa Gombak yang kami temukan melainkan Goa Bebek. Goa dengan kemiringan kurang lebih 45 derajat ini masih tertutup ilalang. Selain itu semak-semak juga mengaburkan pandangan. Miris. Goa sebagus ini tidak terawat. Satu hal yang patut disayangkan. Untuk masuk saja dipungut biaya kok kondisi di sini tidak diperhatikan. Untuk apa uang-uang pungutan itu?
Kukeluarkan pisau yang kubawa. Babat sana-sini. dan ketemulah. Karena tidak ada bekas jejak kaki, cukup ngeri juga. Takut-takut jalanan yang kami injak adalah jurang. tetapi ketika kujajajki sedikit demi sedikit ternyata hanya jalanan curam. maklum masih tertutup semak belukar. Masuk goa. Sesampai di dalam napas jadi terengah-engah. Sinar matahari tak masuk ke dalam goa. udara yang ada di dalam goa lembab. Bau yang tercium mirip dengan karbit yang digunakan untuk membuat buah-buahan agar cepat masak. Bau dalam goa ini sangat menyengat. Baru setelah beberapa kali senter kunyalakan ketahuan juga bau ini berasal dari kotoran-kotoran kelelawar. kotoran yang menumpuk di dalam goa. Pertanda goa jarang dikunjungi. Ketika hendak keluar dari goa kami singgah di mulut goa barang sebentar untuk mengabadikan gambar.
“Dik, coba lihat” kataku sambil menunjukkan kaosku yang berasap. Keringat yang terkena sinar matahari ini mengeluarkan asap.
“Who, iya sama. Ini juga,” jawab adikku yang pertama ini.
Goa Bebek (Dok.Pri)
Intermezo di tengah perjalanan. Keluar dari Goa Bebek kami cari Goa Gombak. Goa Gombak kami cari lantaran letaknya menurut peta yang ada dalam gambar tak begitu jauh. Sayang, goa ini tak ketemu juga. Akhirnya kami menempuh perjalalnan menuruni curam hingga sampailah kami di sebuah sungai. Masih teringat jelas dalam benakku bahwa terdapat sebuah goa yang berada di tepi sungai. Akhirnya kami putuskan untuk menyusuri sungai ini. Sungai dengan dasar tanah berkapur.
 Air yang jernih serta dingin ini mampu membuat kami sejenak lupa dengan rasa lelah yang melanda. Satu, dua kali terpeleset karena sebagian tebing sungai terdapat lubang-lubang yang cukup dalam dan licin. Hingga akhirnya sampailah kami di sebuah cerukan yang sedari tadi kami cari. Goa Macan. Goa yang menurutku paling bagus. Bagaimana tidak, goa yang penuh air mulai dari mulut goa sampai dinding akhir goa. Di mulut goa inilah kami putuskan untuk minum dan istirahat. Satu hal yang sangat disayangkan, kami tak memiliki perahu karet. Kalau saja kami punya perahu karet pasti akan kumasuki goa itu dan mencari ujungnya, atau mungkin terapat beberapa cerukan jalan lagi yang ada di dalam goa.
Kalau saja ada perahu karet tentu akan lebih menarik. Goa ini penuh dengan air. Air yang tak kami tahu dasarnya dangkal atau dalam. Memang pernah kami jajaki lebih dulu dengan melemparkan batu untuk mengetahui kedalaman air. Plunggg…nampaknya sangat dalam. Kami coba masukkan tongkat yang kami bawa, sama sekali belum menyentuh pangkal dasar. Ketakutan kami hanya satu, karena goa ini terbentuk dari tanah berkapur tentunya tidak menutup kemungkinan kalau dasar air berupa cekungan. Kalau memang cekungan yang ada terlalu dangkal tak akan jadi masalah, nah kalau cekungan ini semakin dalam dan menurun. Ah, kami tak mau ambil risiko. Cukuplah kami duduk-duduk di mulut goa sambil melepaskan lelah yang menikam. Omelette buatan sendiri dan air mineral yang kami bawa dari rumah, akhirnya menjadi penutup istirahat itu.
Perjalanan kami lanjutan kembali. Tujuan perjalanan ini adalah Goa Kuncir. Lokasi goa menurut gambar di peta adalah searah dengan jalan keluar. Tapak demi tapak kami jejakkan di tanah tandus berkapur ini. Terdapat pemandangan yang belum pernah kami jumpai. Berhubung tanah di sini berkapur, petani-petani membuat tanggul batas sawah dengan barisan batu dan kerikil. Kreatif juga, kala itu jagung dan kacang menjadi tanaman utama di sana. Dengan tanpa menemukan Goa Kuncir kami akhirnya memutuskan untuk keluar karena hari makin mendung. Kami sampai di pintu masuk Goa Terawang kembali pukul 13.30.
Sebenarnya ada rencana untuk mengunjungi Goa Kidang. Goa yang pernah kukunjungi bersama Tulus dan Sosa tempo hari. Sayang, langit makin gelap, waktu juga semakin sore. Akhirnya kami putuskan untuk pulang saja. Jalan yang hendak kami tempuh adalah Todanan-Kunduran-Ngawen. Tamaknya, tampungan air yang ada di langit tak mampu menahan berat yang demikian menjadi. Sampai di sekitar Pabrik Gula GMM (Gendhis Multi Manis) hujan menyiram kami dengan segala keangkuhannya. Memasuki Kecamatan Kunduran hujan berhenti seketika. Sampai di rumah pukul 14.00, segera kami mandi, salat duhur, dan makan. Adikku yang satu ini paling hobi dengan yang namanya tidur. Baru sebentar saja, ia terlelap dengan impian-impiannya.
Malam Hari, 26 Mei 2013.
Malam itu salah seorang teman SMA menelepon “Sini dong. Lagi ngopi nih sendirian, temani sini”. Segera kupacu lagi motorku. Ngobrol-ngobrol sambil nyusu hangat. Obrolan tentang pekerjaan dan kisah beberapa teman membuat pembicaraan enggan terputus. Mendung makin lama makin menceka. Setelah dentuman kilat yang satu itu aku segera minta diri. Dentuman kilat yang seolah menjadi alarm buatku untuk segera pulang. Pukul 21.00 aku pulang. Sampai di rumah, nonton tv. Kurang lebih pukul 22.00 hapeku berdering. Pesan singkat dari seorang kawan lamaku Alfa (Mbah Papa)
Ayo ke berangkat Manggir sekarang. Kalau mau malam ini juga berangkat.
Kaget juga, memang temanku yang satu ini paling hobi naik gunung. Kubalas untuk menemuinya dan ngobrol tentang isi sms itu. Akhirnya dicapai ksepakatan berangkat malam itu juga.
Senter yang semula telah kukeluarkan dari tas akhirnya kembali menempatkan diri di posisinya semula. Di dalam tas bagian depan. Pun dengan pisauku terpasang rapi di celana. Beberapa stok logistik masuk juga, diantaranya: kopi, gula,, ubi, mug, serta jajanan pasar yang tergolek enggan di meja. Makanan pemberian teman Bapak sebagai ungkapan rasa syukur sedekah bumi ikut masuk. Kalau di rumah makanan seperti ini jarang terjamah. Kukeluarkan Alfredku lagi. Motor Yamaha Alfa keluaran tahun 1992,  yang nampaknya sudah cukup lama beristirahat. Pelan-pelan kutuntun motor ini. Karea suaranya yang melebihi petir aku tak mau mengendarainya di depan rumah. Kutunggu Mbahe di depan rumahnya. Lama juga. Akhirnya Mbahe dengan Alif keluar membawa dua buah tas besar. Satu carriel berisi tenda, satunya tas punggung biasa. Cek logistik. Mie instan yang menurut kami sudah dipersiapkan Alif ternyata lolos dari ingatan. Sempat terjadi saling menyalahkan lantaran kami kira mie instan sudah disiapkan Alif. Hingga akhirnya dua bungkus roti masuk dalam tas. Mampir warung, Alif beli nasi kucing, dia belum makan malam. Isi angin. Isi bensin.
Pukul 22.30 kami berangkat. Aku dan adikku berangkat ke Todanan lagi. Jalanan yang telah kami tempuh tadi siang, kami tempuh lagi malam ini. Rute yang kami pilih masih sama dengan rute tadi siang: Ngawen-Japah-Todanan. Sialnya mataku bermasalah kalau malam begini. Jalanan tak begitu nampak. Lubang-lubang jalan kena trabas. Tak ayal beberapa cipratan dan super shocking therapy menjadi satu hal yang mengagetkan. Dingin. Sepi. Sesekali terdengar teriakan
“Astaghfirullaaaaahhhhh…pelan-pelan to Mas” pekik Dik Sofa. Kujawab dengan tawa “haaa….haaa..haa”
Akhirnya setelah sukses melewati Kecamatan Japah, kami masuk Kecamatan Todanan. Kami ambil arah Desa Ketileng. Jalan desa yang jauh dari jalan utama menambah seru suasaa. Setelah mampu menerobos jalanan malam yang dingin ditambah sisa air genangan hujan tadi siang kami sampai di Desa Kacangan. Jam di tangan ini menunjukkan pukul 00.00. Kami cari tempat untuk memarkir kendaraan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Sembari mengendarai motor pelan-pelan kami terus memasang mata untuk mencari rumah penduduk yang masih terbuka. Tak ada. Kami putuskan untuk berhenti di Balai Desa yang masih ramai. Beberapa orang masih berkumpul di sana. Sangat wajar, besok adalah hari pemilihan gubernur. Tak ayal kalau Balai Desa ini masih ramai meski jam sudah terlampau larut. Turun dari kendaraan kami sampaikan maksud kami kepada Bapak-Bapak yang berkumpul di Balai desa untuk titip sepeda motor. Ah, sial mereka tak berani menjamin kemanan.
“Mungkin jam segini di sini masih ramai, Mas. Tapi nanti, kami akan pulang ke rumah masing-masing,” kata salah seorang Bapak.
“Dibawa naik saja. Nanti di ujung tanjakan sana ada rumah, nah motornya diparkir di situ saja. Tenang saja, aman..” seru Bapak yang lain.
Kami pun menuruti imbauan si Bapak. Jalanan makin menanjak. Dalam hati bergumam “hebat juga si Alfred ini, kuat diajak menanjak padahal berboncengan. Tidak percuma kau sering kuperlakukan dengan istimewa.” Sampai di depan rumah penduduk yang masih tertutup pintunya, motor kami parkir. Was-was. Kami kunci setir. Mbah Papa yang kelihtan sangat was-was. Dia lupa tidak membawa gembok. Kami tingaalkan motor, lalu naik. Alip di depan sebagai navigator. Ia bilang kalau pernah ke sini lima tahun yang lalu ketika masih SMA.
Cuaca hari itu sangat bersahabat. Bulan bediri dengan sombongnya menerangi jalan kami. Karena terangnya ini, rasa dingin malam itu tak terlalu parah. Biarpun jalanan cukup terang karena sinar bulan kukeluarkan senter. Senter ini ternyata mampu menjadi dewa penolong. Hanya ada satu senter, ya senter ini. Kami sorotkan ke puncak-puncak di kanan kiri. Mencari tahu mana puncak yang akan kami daki.
Jalanan menuju Puncak Manggir berbatu tajam dan licin. Memang tak terlalu tinggi, lebih tinggi Gunung Api Purba Nglanggeran. Sampailah kami di puncak pukul 01.00. Satu jam perjalanan menuju puncak kalau ditempuh pada malam hari. Itu pun dengan ingatan yang kadang-kadang terganggu. Di puncak terdapat sebuah bangunan beratap tanpa dinding. Bangunan yang sudah usang. Dilihat dari kondisi fisiknya sepertinya dulu terdapat dinding tembok, mungkin sudah dihancurkan. Hal ini terlihat dari sisa gempuran-gempuran di tepi bangunan.
Perjalanan berakhir. Bongkar tas. Mbahe dan Alip mendirikan tenda, aku dan adikku membuat api unggun. Api tak mau menyala. Kayu yang kami dapatkan banyak yang basah lantaran embun. Tak ada parafin, tisyu atau kertas semacamnya. Ah perlu perjuangan ekstra. Setelah cukup lama kegiatan: pantik-kipas-tiup akhirnya api unggun nyala juga meski dengan manja.
Alip yang belum sempat makan malam langsung membuka perbekalannya. Usai makan dia langsung tidur dalam tenda. Tak ada mie instan, satu kesalahan yang cukup fatal. Jelas, ketika udara di puncak sedemikian dingin maka manusia akan mencoba menghangatkan diri salah satunya dengan makan. Buka-buka tas, untunglah ada empat ubi jalar yang kubawa dari rumah. Bakar ubi, masak kopi. Tak ada juga yang membawa sendok. Tanpa takaran sendok, kami buat kopi dengan ukuran sepantasnya saja. Kayu yang cukup bersih jadi alternatif utama pengganti sendok untuk mengaduk. Setelah kopi matang, roti dan ubi bakar jadi menu utama pengganjal perut.
Bersama Alif (Dok.Pri)


Ketika kutanya “kapasitas tenda untuk berapa orang?” Mbahe menjawab “Tenda ini harusnya untuk tiga orang.” Akhirnya, pukul 03.00 kami masuk tenda dan tidur dengan posisi yang sangat menghimpit. Kami tidur dengan kaki terlipat dengan posisi badan miring. Tanpa matras karena matrasnya dipakai Alif yang telah tidur duluan. Heran. Bisa juga aku tidur dalam suasana begini. Biasanya aku sering menghabiskan waktu dengan bakar-bakar sampai pagi. Itu pun ditambah dengan ngobrol-ngobrol. Barangkali kecapekan tadi siang ditambah perjalanan malam ini. 
Terdengar suara-suara aneh yang saling bersahutan. Ketika itu pukul 04.30. dengan suara yang masih ingin terlelap Mbahe bilang itu suara merak. Setelah keluar tenda baru kutahu itu adalah suara ayam hutan yang berkokok bersahutan. Embun nampak menutupi sebagian dataran ini. Putih perak. Mirip dengan uban kakekku dulu. Dataran ini menguban air. Teman-teman masih pada tidur.
Perlahan hari mulai terang. Sinar mentari mulai menyapu uban kakek itu. Ketika penyapuan itu terjadi segera kumasak kopi. Sengaja kumasak kopi supaya aroma ini membangunkan mereka. Tak lama satu per satu Dik Sofa dan Mbah Papa bangun dan keluar tenda. “Hahahaha, sukses juga jurusku ini,” gumamku dalam hati. Kopi matang. Kami naik ke atap bangunan tak bertembok itu. Pemandangan yang indah dapat terlihat dari sini. Uban yang satu per satu hilang itu sangat jelas terlihat. Sayangnya tak ada sun rise. Nampaknya dataran yang kami daki ini kurang tinggi. Setelah foto-foto, kami turun kembali.  Sarapan dan minum kopi. Alip bangun. Ia naik ke atap dan minta difoto.

Pukul 07.30 packing dan turun. Sempat lupa jalan. Nrabas. Ternyata jalan yang kami trabas adalah jalan memutar. Aihhhh…Pukul 08.00 kami sampai di bawah. Kami pun pulang menuju rumah masing-masing. Dengan mata yang masih sepet, berpadukan bau mulut yang khas, ditambah dengan bau badan yang istimewa kami susuri jalanan. Sampai di rumah pukul 10.00 langsung mandi, sarapan, dan tidur. Pukul 13.00 bangun kemudian pergi ke TPS mencoblos yang nyatanya tak ada suat suara yang kulubangi. Melipat dan melipat kembali setelah itu memasukkan surat suara di tempatnya. Ah! Aku tak pernah bersimpati dengan acara-acara demikian.
Pemandangan Manggir pagi hari (Dok.Pri)
Mungkin karena capek yang belum hilang, pukul 14.00 tidur lagi sampai pukul 17.30. Nah kalau acara yang demikian aku paliing bersimpati. Walaupun melelahkan tapi jelas banyak hal yang bisa kudapatkan hari ini. Setidaknya Gunung Manggir yang lama kuimpikan akhirnya bisa kudaki. Salah satu dataran tinggi yang ada di daerah tempat tinggalku akhirnya dapat kulukiskan dalam memori masa laluku. 

2 komentar:

alia machmudia mengatakan...

Kunjungi blog saya juga ya mas :D
http://ceritanyaipmawatiblora.blogspot.com/

Kura-kura kecil mengatakan...

Oke Mbak

Posting Komentar