Sabtu, 12 Januari 2013

Mental Pejuang, Jiwa Sosial

Sistem yang diterapkan di tempatku belajar mungkin lain. Dari hapalan Al Quran, tiga bahasa, boarding school, ah memang semua itu punya ciri khas. 
Belum lama, tepatnya Kamis pagi, kurang lebih pukul 09.00 aku dan kawan-kawan berangkat ke Desa Turirejo, Kec. Jepon, Kab. Blora guna memohon izin penggunaan tempat untuk MD. Oiya, kawan. MD itu kepanjangan dari Mukhoyyam Dirasy yang artinya kemah pendidikan. MD ini adalah tindak lanjut dari usul yang telah kusampaikan sebelumnya. Waktu itu, aku melihat bahwa teman-teman kecil di Base Camp masih sering mengejek satu sama lainnya. Kekompakan belum ada. Ego masih berkuasa. Untuk mengatasi hal ini perlu sebuah pengkondisian agar rasa persaudaraan muncul. Bagaimana cara pengkondisian persaudaraan? 

Pikirku kala itu, coba saja ada hiburan yang terarah dengan menumbuhkan tanggung jawab untuk bisa menyelaraskan diri sendiri dengan orang lain. Nah, dapat terlintas dibenakku "kalau saja ada kemah, Pak. Dengan kemah, mereka akan saling berinteraksi satu sama lain. Mereka juga akan bertanggung jawab karena ada beban, misalnya masak bersama. Kalau tidak makan tentu mereka bakal kelaparan," ujarku kala itu. Ditindaklanjuti juga usulku itu, walau molor. Eh, malah aku yang ditunjuk jadi ketua. Walah...

Usai menyerahkan surat permohonan izin. Kembali ke Base Camp, lalu pulang. Sesampai rumah, undangan Karate juga sudah kubuat. Rencananya, malam mau disebar. Tapi, gagal karena hari itu adalah hari untuk mengisi bimbel di Base Camp. Acara nyebar undangan di-cancel. Dengan panser berangkat lagi ke Blora. Sebelumnya sudah janjian mau nyebar undangan.  Tapi, begitu tahu acara nyebar undangan ku-cancel, si Teman mengirimkan pesan singkat. Beginilah sms dari sang teman "Wah, bayaran lak dobel, Bro?" Segera kubalas, "Bro, untuk menjadi pelatih karate tak ada bayaran. Hal ini tak jauh beda dengan Pelatih Karate, selagi belum mati mari berjuang Bro." 

Slogan lama yang sering kita kenal Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa dan ternyata belum berubah. Kontradiktif sekali dengan mental anak muda zaman sekarang. Entah, apakah mereka lebih berpandangan pragmatis atau hedonis, aku  tak tahu. Lihat saja, tak jarang lulusan FKIP yang notabenenya calon guru malah dilema. Tak sedikit, yang  lebih tertarik untuk terjun ke dunia Perbankan. Mengapa? penghasilan yang tidak sebanding, begitu kata mereka. Memang, semua itu kembali ke jiwa dan personal. Untuk para guru dan calon guru teruslah berjuang, tak usah khawatir, buatmu sudah disediakan tempat terbaik di sana. 

0 komentar:

Posting Komentar