Selasa, 12 Februari 2013

Bulan Buku

Hidup memang penuh dengan pilihan-pilhan yang sulit dan membingungkan. Nyata, begitulah hidup. Hidup pun sebenarnya sama saja baik dari hari ini, kemarin, maupun masa lalu. Hanya situasi dan permasalahan yang selalu berganti untuk diselesaikan. Pun denganku. Karena keterbatasan penghasilanku, untuk sekadar isi pulsa modem saja, harus memilih banyak pilihan. Hal itu satu dari sekian banyak pilihan hidup. Pilihan hidup macam apa saja yang menyita diri seorang miskin ini?
Buku,pulsa modem, dsb. Tapi tetap kupilihh kata yang pertama. Buku, itu saja. Satu kata yang merupakan bagian dari jutaan kata benda ini kupilih dalam keadaan apapun. Kenapa? Bukankah dalam agama segala sesuatu harus coba dipandang dari segi manfaat dan mudaratnya? Karena iitulah BUKU selalu jadi prioritas utama dalam hidupku. Tahu nggak  kalau di Eropa buku adalah suatu kebanggaan. 
Setelah dapat tiga buku Pram (Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), baru kuberanikan untuk sekadar mengisi pulsa modem yang notabenenya termasuk  kebutuhan tersier dalam hidupku. Penghasilan tak seberapa, jadi harus pandai-pandai mengatur dan memilih mana yang masuk dalam  prioritas utama dan mana yang tambahan. Bukankah hal ini merupakan satu dari cerminan mikrokosmos kehidupan. Seiring dengan apa yang dimiliki, tentu keinginan yang muncul dalam diri pun sesuai dengan  kondisi. Untuk seorang miskin sepertiku mencita-citakan punya mobil tentu mirip dengan mimpi di siang bolong. Berbeda cerita kalau yang memimpikan adalah mereka yang punya duit seabreg. Tentu wajar dan maklum bukan? 

Lanjut. Setelah sekian lama tidak pernah OL akhirnya kucoba untuk menyambungkan diri ke jejaring sosial. Plass. Satu kabar yang kudapat sangat menggetarkan. Dapat kabar dari grup tentang acara "Ulang Tahun Pramoedya Ananta Toer di Kediamannya Jalann Sumbawa no. 40 Blora pukul 19.00". Segera kusambangi Si Teman, terlihat sebenarnya kurang berminat. Tapi mau juga. Berangkat dengan kondisi hujan deras ditambah trek jalanan Blora yang bopang-bopeng menjadikan perjalanan semakin bermakna. Sesampai di sana, yah acara sudah dimulai. Sepertinya tempat sudah penuh jadi terpaksa nunggu di luar. Dan ternyata dipersilakan masuk dengan tamu membuka ruang. Walhasil agak desak-desakan. 
Acara dimulai dengan cerita awal mula perkenalan dan kesukaan terhadap Pram. Aku tak mau ketinggalan, kusambut microphone dan bicara dengan arah yang tak jelas dan retorika yang buruk. Dalam acara itu tampak hadir para Tapol masa Orde Baru (kebanyakan dari Pati), yang bercerita dulu ketika bertemu dengan Pram. Selain cerita itu, mereka pun menceritakan kisah hidupnya sewaktu dipukuli dan dipenjara oleh rezim Soeharto. Nama yang masih kuingat dari para Tapol adalah Pak Bambang Soekotjo, rasanya nama ini tak asing. Tak ketinggalan hadir pula beberapa penulis. Satu yang masih kuingat adalah Gunawan Budi Santoso yang lebih dikenal dengan sebutan 'Kang Putu'. Sama tak asingnya. Seorang yang ternyata sampai sekarang kehilangan sang ayah yang diculik pada masa Orba sampai sekarang tidak tahu dimana keberadaan/makamnya. Selain para Tapol dan penulis, hadir juga beberapa anak punk, mahasiswa dari kota sekitar, serta Dosen dari Unnes. Cerita-cerita terus berlanjut hingga sampai di acara pamungkas. 

Dan di sesi ini Pak Cus (adik nomor 7 Pram) pun berbicara tentang perjuangan dan kisah hidupnya "untuk suatu revolusi nggak perlu ijazah, tapi perlu keberanian." kata yang menantang dan berani. Memang, harusnya begitu. Manusia harus berani membuat keputusan dan memperjuangkan keputusannya itu. Bukan malah sebaliknya. Sosok yang lebihh suka dipanggil pemulung ini selanjutnya menambahkan "kalau mau jadi aktivis saya sarankan jadilah pemulung. Karena pemulung adalah pencipta nilai absolut. Pemulung dapat dijadikan pedoman dan indikator keberhasilan suatu negara. Kalau di negara itu masih banyak pemulung berarti negara itu miskin". Pak Cus yang sedari sore mempersiapkan keramik hasil pulungannya mengaku kecewa karena pihak dari Kompas tidak jadi datang. Sebenarnya perkataan Pak Cus di acara ini sudah sering saya dengar. Tapi tetap saja bermakna kalau dibicarakan lagi. Acara ini kemudian ditutup dengan launching buku karya Pak Cus (Soesilo Toer) dengan judul Pram dari Dalam diterbitkan oleh Gigih Pustaka Mandiri. Sebenarnya terlintas dua pilihan beli bukunya atau beli kaos bergambar Pram. Kupilih BUKU, karena kaos makin lama makin rusak. Tapi kalau buku, makin lama makin susah dicari. Buku itu akhirnya kupegang dengan ditandatangani Pak Cus. Sembari pamit saya bilang "Pak Cus, saya yang dari Ngawen, belakang Pasar." Pak Cus mendongak "Oh iya, dulu pernah ke sini. Kalau tidak salah dua kali ya?" jawab Pak Cus. "Iya, Pak. Benar," tak kusangka beliau masih ingat. "Wajah gantengnya yang selalu saya ingat," kata Pak Cus menambahi. Aku hanya bisa nyengir lalu mohon diri. Pulang pukul 11. 30 dan alhamdulilah hujan telah reda. Tapi tetap saja ekstrem karena kondisi jalan ditambah dengan lampu motor yang kurang jos, serta mata yang mulai tambah minus. Hingga akhirnya dapat ditarik titik simpulan "Wah benar-benar bulan ini adalah bulan Buku!". Mantapp!


0 komentar:

Posting Komentar