Selasa, 30 Oktober 2012

Epidemi



Aku terhenyak sejenak. Kubiarkan pikiranku berkelana ke panorama mozaik yang masih kacau. Hingga akhirnya bermuara pada lembah kebisuan. Sesampai di lembah itu, tak bisa apa-apa. Hanya terdiam dan termangu. Bayangkan, bagaimana kalau negeri ini terserang virus Sampar. Masih adakah kemunafikan dan kesombongan? 

Sampar adalah virus menular yang menyerang makhluk hidup. Sampar merupakan penyakit epidemi 
yang sangat ganas. Dalam hitungan hari, bahkan menit sekalipun banyak nyawa yang mampu ditawan dan tidak dikembalikan lagi. Bagaimanakah bila virus ini menyerang negara kita?
"Seharusnya kita tidak boleh menyerah kepada ketakutan," kata Camus. Benar juga tapi yang namanya rasa takut pasti hadir di hati manusia. Tergantung bagaimana kita menyikapi dan menghadapinya. Mati tanpa tujuan atau mati karena tujuan...
Selengkapnya.. - Epidemi

Senin, 29 Oktober 2012

Jejak Kaki

Jejakkan langkahmu walau ke ujung dunia sekali pun, 

Hari demi hari kucoba menghayati apa yang menjadi kegundahan hati. Begitukah kata hati manusia? Selalu bicara tanpa dasar, tapi mengandung sebuah firasat kebenaran. Kita pun tak mampu mengelaknya 

Sama dengan ibadah haji. Berjuta orang datang ke Arab untuk menunaikan ibadah haji. Ketika ada info tentang haji, biasa saja. Itu karena aku belum paham teknisnya. Perlahan-lahan baru  kutahu ternyata menunaikan ibadah haji itu tidak mudah. Harus antri, menghapalkan doa ini itu. Lari ke sini, lari ke situ. Berat juga perjuangan mereka di sana. Bahkan, ada yang sampai meregang nyawa. Tapi mereka bangga, karena katanya telah meninggal di tempat favorit yang tiada lain adalah Mekkah. 

Pengetahuan yang tiada akan terkira. Beruntung sekali, di tempatku berjuang sekarang banyak hal yang  akhirnya kudapatkan. Pelajaran hidup, kawan. Aku mengetahui mekanisme miniatur tata cara ibadah haji ketika latihan manasik bersama kawan-kawan kecil. 
Alhasil, bermandi keringat. Berhujan panas, tapi sedikit banyak punya gambaran bagaimana haji itu. 
Dari lari-lari kecil. Menengadahkan tangan. Baca doa. Melemparkan batu jumroh. Yang lebih menakjubkan adalah teman-teman kecil Mereka sangat hebat. Ekspresi muda yang penuh semangat. 

Aku kira hari itu, hari yang sangat berat. Berangkat dari rumah pukul 06.00 tanpa sarapan. Lalu, mengikuti acara Simakan Tengah Semester (STS) sekaligus rapat pembentukan Komite Sekolah, tanpa istirahat lanjut lagi ke acara manasik haji. Setelah itu, langsung tancap menuju Masjid Agung untuk salat Asar, tancap kemudi lagi dilanjut ke Klentheng untuk mengikuti latihan karate. 


Sayang, di sana yang ikut cuma sedikit padahal sudah kusempatkan sedemikian rupa. Itu pun ditambah lagi dengan semangatnya yang menipis. Aku nggak terima dengan ini. Sudah kuusahakan masa begini saja. Kuteriak sekencang-kencangnya biar semangat tumbuh. Sayangnya, tetap saja melempem. 

Mungkin karena tenaga yang terlalu kuforsir ini yang menyebabkan aku sering istirahat ketika latihan. Tak tahu kenapa, biasanya setiap kali latihan bersama teman-teman di rumah kuat-kuat saja. Lha ini kok loyo. Apakah aku yang kecapekan, ataukah karena nuansa semangat di Blora menipis? Aku pun tak tahu. Yang pasti selagi masih ada kesempatan untuk latihan dan berolahraga hajar terus.. sama halnya dengan ilmu. Selagi ada kesempatan untuk belajar, akan kugenjot terus. Belajar sama-sama, berkarya sama-sama, kerja sama-sama...
Selengkapnya.. - Jejak Kaki

Minggu, 28 Oktober 2012

Qodar dan Qodir

Setelah sekian lama berkecimpung dengan dunia pendidikan. Kutahu sedikit demi sedikit karakter teman-teman kecilku. Tapi banyak yang tak kutahu tentang diri mereka yang sebenarnya. Dari sekian banyak teman kecilku ada satu teman bernama Faiz Burhanuddin. Hapalan Al Qurannya bagus, paling jauh dibanding teman-temannya (yang aku simak). Walaupun tidur menjadi hobi kesukaannya, (pasalnya pernah kujumpai dia menghapalkan sambil tertidur, anehnya bacaannya benar) tak disangka dia mampu menhasilkan karya yang fenomenal. Bagimanakah karyanya?berikut ini buah pikirannya dengan sedikit gubahan dariku. 

Pada suatu hari ada seorang anak yang bernama Qodar. Dia sedang berjalan-jalan di Jalan Raya. Ketika sedang asyik menik mati perjalalannya, ia bertemu dengan seorang anak bernama Qodir. Qodir ini tidak lain dan tidak bukan adalah pengemis. Qodar kasihan melihatnya. Ia akhirnya membawa Qodir pulang ke rumah. Karena rasa sayangnya kepada pengemis itu, akhirnya Qodir diangkat menjadi saudara.  
Tiap sore hari menjelang magrib mereka selalu berjalan-jalan di sekeliling kompleks rumahnya. Tak sengaja, mereka bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik yang bernama Siska. Perkenalan dengan Siska pun tak bisa dihindarkan. Hingga berjalannya waktu, dalam hati mereka tumbuh bunga-bunga asmara yang selalu dipendam rapat di dasar sanubarinya.  
Pada suatu hari, tak disangka mereka akhirnya menyatakan isi hatinya kepada Siska. Pertengkaran menyelimuti diri Qodar dan Qodir. Napas permusuhan mengalir dalam rongga hidung dan tubuhnya. Hingga akhirnya saat mereka pergi berdua, muncul ambisi dalam diri Qodar untuk menghabisi nyawa si Qodir. Tidak berbeda dengan Qodar, Qodir pun menyimpan hasrat yang sama terhadap orang yang telah menolongnya. Ia pun ingin menghabisi nyawa Qodar. 
Peristiwa saling bunuh di antara saudara pun terjadi. Qodar tewas seketika setelah menerima pukulan kencang yang diarahkan kepadanya secara bertubi-tubi. Dengan rasa puas setelah berhasil membunuh, Qodir kemudian pulang dengan langkah tertatih-tatih. Di tengah jalan ia tertabrak mobil dari arah belakang. Setelah agak lama terdiam, akhirnya ia pun menghembuskan napas untuk terakhir kalinya. Mobil yang menabrak Qodir melaju sangat kencang. Qodir akhirnya tewas di pinggir jalan tanpa pertolongan. Jasadnya dibiarkan begitu saja. Tidak ada yang mau menguburkan. Jasad Qodir kemudian membusuk dengan ditumbuhi belatung dimana-mana. Warga masyarakat membiarkannya begitu saja. 
Selang beberapa hari, Bapak dan Ibu mereka mencari anaknya. Tak disangka mereka menemukan kedua anaknya sudah tak bernyawa. mayat kedua orang yang dulu bersahabat ini pun kemudian dimakamkan di pemakaman Islam. 



Selengkapnya.. - Qodar dan Qodir

Dilematika dan Problematika

Seiring dengan munculnya kekuatan besar, muncul pula tanggung jawab besar yang mengikutinya
Kata-kata ini mungkin pas untuk mewakili kejadian tempo hari.
Waktu itu, aku diminta untuk membantu panitia pembagian daging kurban di Masjid. Harus bawa pisau. Oke, Siap, tancap. Sampai di Masjid, ketemu dengan panitia. Semua lokasi berpintu rapat. Satu orang panitia menyuruhku untuk mengisi daftar hadir. Sial, keformalan yang membuatku mulai malas karena mengandung paksaan yang mengikat. Diwajibkan pakai co-card segala. Ini kan acara untuk warga. Kok seperti ini? Warga lain pun dilarang mendekat, terkecuali panitia atau pemakai co-card. Acara Pembantaian daging selesai, langsung kubagikan di warga RT bersama adik. Usai membagikan daging, otomatis harus kemabli ke Masjid untuk sekadar laporan. 

Sekembali di Masjid. Banyak warga yang datang. Tentu berharap untuk dapat sekadar daging ya paling nggak satu bungkus. Ada satu yang membuatku muak. Ada panitia yang bilang "Gini ini kalau SDM rendah". Usut punya usut dia adalah donatur utama masjid. Aku sudah tahu orangnya, kata orang memang begitu itu wataknya. Ah sama sekali tak ada simpati dengan orang seperti ini. Tak hanya itu, petugas keamanan masjid juga mempersilakan warga sekitar untuk masuk. Tapi sikap semena-mena dan ketus dia bilang "Mau minta daging? Sana bilang, Pak minta, Pak..." sontak, hatiku sedih melihatnya. Terang saja, warga yang diberitahu seperti itu nurut. Yah, tentu demi perut. Dalam hati aku terpukul. Bagaimana mungkin, dalam agama ada himbauan "Janganlah meminta-minta, meminta-minta adalah pekerjaan yang paling hina." Lha ini, kok malah seperti ini? Orang yang dipandang melek agama, malah menjerumuskan orang lain. Seperti lagu lama. Aku keluar. Duduk di luar lokasi penyembelihan hewan, melihat saja dari sana. Diam termangu. Aku tak mau sepeti ini. 
Selengkapnya.. - Dilematika dan Problematika

Minggu, 07 Oktober 2012

Siapakah Si Ratu Lebah itu?

Dia sering dijuluki Queen Bee. Jika dibahasaIndonesiakan mungkin menjadi Si Ratu Lebah. Maaf saya tidak begitu mahir berbahasa Inggris. Dia adalah Bimala. Wanita India yang menjadi salah satu tokoh penting wanita dalam novel berjudul sama Bimala karya Rabindranath Tagore. Seorang wanita yang selalu ingin berjuang untuk bangsa dan tanah airnya. Figur wanita yang beranjak dari keluarga sederhana dan kemudian menikah dengan seorang raja. 
Semula, ia masih kolot. Memakai sepatu saja tidak bisa. Hingga akhirnya ia mendapat pelajaran dan pengarahan dari sang suami yang begitu mencintainya. Tidak cantik memang, tapi dari paras wajahnya menyorotkan keteduhan dengan sirip berbagai macam warna. Mendengar kata perjuangan dari Sandip (teman suaminya), Bimala laangsung menggebu-gebu. Ia pun  harus bertentangan dengan pandangan suaminya. Konsep Swadeshi yang diperjuangkan Sandip, Bimala, dan seluruh rakyat India kurang disetujui sang suami. Pakai produk hasil dari negeri sendiri, tak perlu menggunakan produk dari negara lain. itlah konsep Swadeshi yang kemudian dilanjutkan oleh Mahatma Gandhi.
Perjuangan ini kerap menemukan kendala. Bimala pun sering turun tangan untuk membantu perjuangan. Ia turun dan membantu baik dari segi materi, hingga rayuan gombal pohon kelapa kepada suaminya. Perlu perjuangan ekstra karena sang suami seorang idealis. Punya keyakinan penuh yang tak mudah digoyahkan. Nikhil namanya. Ia lebih berpandangan meluas. Filsafat, dan mempertahankan keseimbangan. 
Sosok Bimala dalam novel sangat hidup, benar-benar wanita yang wanita. Mungkin bangsa kita perlu figur-figur seperti ini. Sarinah (Ir. Soekarno), Ibunda dalam Ibunda (Maxim Gorki), Pandhita Ramabai, hingga R. A. Kartini. Kalau saja figur-figur seperti ini dapat dijadikan contoh tentu negara kita akan memiliki wanita-wanita yang kuat. Begitulah. Tapi bagaimana kalau misalnya di depan kata Si Ratu Lebah ditambahi imbuhan Mbak Kanjeng. Waw, lumayan bagus. Walaupun masih berbau feodal dan etnosentris, setidaknya akan membuat wanita tersebut bijaksana. Selain itu, dia kelak dapat dijadikan panutan bagi wanita-wanita yang lain. Sebentar, bukan masalah feodal dan kebangsawannya yang kita lihat, tapi jiwa besar dari nama itu. Lalu, siapakah Mbak Kanjeng Ratu Lebah itu? Dia adalah seorang wanita yang pandai, muslimah, baik hati, suka menolong, cantik, dan yang pasti membuatmu ternganga perasaannya lebih peka daripada kulitnya. Siapakah dia? Cari dan temukan sendiri, Kawan. Biar ada seni dan tantangannya. Jika kelak kau akan menemukan orangnya, pesanku satu. Jangan kau sebut nama itu di depannya. Kenapa? Pertanyaan yang bagus. Karena, jika ia mendengar nama itu kau sebut, raut mukanya yang cantik berseri akan langsung berubah jengkel memendam senyum, Kawan. 
Selengkapnya.. - Siapakah Si Ratu Lebah itu?

Kamis, 04 Oktober 2012

Paranoidkah?

Apakah yang harus kita punyai, agar kita bebas dari ketakutan? (Jules Romains) 

Kutipan ini selalu berkutat dalam poros kepalaku. Bagaimana tidak, yang namanya manusia tak bisa lepas dari yang namanya rasa takut. Kok bisa? Sama, aku juga belum paham benar tentang hakikat manusia. Sebentar perasaan itu kita tampik, akan muncul lagi. Terus muncul seolah wewe gombel yang tak bosan mengintai anak-anak (konon). Terus terang saja, pikiranku seringkali dihantui bayang-bayang kematian. Bahkan pernah tiga hari berturut-turut aku bermimpi melihat diriku sendiri dimakamkan. Sontak bangun dengan keringat bercucuran. Gemetar. Langsung saja lari ambil air wudu, tahajud. Disadari atau tidak, bayang-bayang itu terus datang. Apalagi kalau lagi PB (Pikiran Banter) pasti dijamin terbawa sampai mau tidur. Ditambah lagi pengalaman ketika melihat orang sakaratul maut (naza'), Ya Allah sakit benar. Kala itu, aku tak mau lama-lama melihat. Kupilih untuk sebentar-sebentar menunduk, membaca Surat Yasin. Sungguh kasihan. Untuk melepaskan jiwa ternyata tidak mudah. Tapi aku yakin akan satu hal: tak ada jiwa yang mati. Hanya tubuh yang mati, jiwa tidak. Ia akan terus hidup sampai waktunya tiba. 

Muncul pertanyaan kalau manusia ingat tentang kematian, bagaimanakah ia akan bersikap? Masihkah terus menumpuk harta? Masihkah menjejali dirinya dengan berbagai merk-merk tak penting? Atau  akan sibukkah mereka dengan berbagai kegiatan keagamaan? 

Hidup ternyata penuh dengan sekat-sekat, kawan. Bayangkan, setiap predikat punya nama sendiri-sendiri. Dari Bos, sampai tukang, mengerikan. Sebisa mungkin aku tak mau kutempeli diriku dengan merk dan predikat ini. Simpel. Kumulai dengan kaos. Jujur, aku lebih bangga dengan kaos desain buatan orang. Tanpa merk. Lebih suka kaos polos atau kaos bergambar tokoh. Memang belum semua tapi setidaknya sudah berusaha. Daripada mereka yang berkoar-koar tentang bahaya kapitalisme, liberalisme,  tetapi mereka lebih suka menempeli diri mereka dengan merk-merk asing.
Selengkapnya.. - Paranoidkah?

Menemukan Cinta Kita Kembali


Ketika pagi muncul menghapus tinta hitam di angkasa, kubuka mataku. Cakrawala yang begitu indah. Aku masih ingat dengan satu waktu yang sangat kucintai "fajar hari". Saat dimana Mentari muncul membagunkan berjuta-juta mata kepala. Sungguh pergantian waktu yang tak perlu distel, tak seperti arloji maupun alarm. 
Kuhadapkan hatiku kepada Sang Khalik. Berdoa, menengadah, dan bersyukur atas nikmat yang diberikan. Menjelang siang, kopi panas, koran on line sudah tersedia. Bergegas meluncur ke kamar mandi. Bercermin. Tak juga ngganteng, ah persetan. Kutancapkan headset di telinga. Kuputar mars pagi hari. Teriakan Boomerang Bebas Hambatan menderu-deru. Liriknya sangat aduhai: 
Bebas Hambatan (Boomerang) 
gelap awan saat kumenatapbertekad bulat untuk berangkat. biar orang-orang berkata tahan emosi. berpacu dengan waktukupastikan arah dan tujuanberbelok dan gelombang kulalui semua orang pegang kemudi pasang musik ku ikut bernyanyi. asap debu seolah menari mengiringi. berderu dengan kencang. lewati gerbang perbatasan. lelah dan kepenatan. ku tak peduli aku datang menuju kota impian. mencuri jalan bebas hambatan 


Tak lama, siang datang berkuasa.  Menampar pipi manusia-manusia. Aku pun sadar akan dahsyatnya kekuatan cinta (The Power of Love). Maka dari itu, ingin sekali kusebarkan cinta kepada semua. Tapi apalah cintaku ini? Aku tahu cintaku kepada Tuhan, manusia, dan alam semesta takkan berarti apa-apa. Sejurus teringat kepada impian mencari pasangan. Ah. Sial, mana mungkin ada yang mau denganku. Lelaki dengan segala keterbatasan. Biarlah aku tetap mencintai Tuhan dan alam, walau bagi mereka itu semua nihil. Untuk menghibur diri, kuselaraskan sendunya siang dengan lagu cinta. Hymne mentari berganti dengan nada sendu slow. Satu lagu yang membuatku terpesona. Find our Love Again dari Power Slave:  

Find our Love Again (Power Slave) 
I wish and never let you goI’ 
ll take you home but the time seem sadness 
I know it’s the dark park of the town 
Nothing to say..when everything is gone

I know it’s hard to be somebody  
Sometimes when I’m walking down the rain to find our love again..!!

Last things I rememberI was walkin’ in the rain 
Tryin’ to find the other sight.  
I know it’s more than just a right

Baby there’s a million dreams 
The more will come the other night  
Some saye it remember  
Some makes me forget…!

When the love is gone And you’re miles away  
The night won’t tell me what happened today. It’s more than just…balls ‘n’ chainI feel like…I’m insane

When the days turn dark. And the sun won’t shine. Find in hard when you give me the line. Now it seems that we’re living in sin.  
Oh baby….to find our love again

Tell me now how to face the truthTell me how you bring me the line 
Now you saying that you bring me lineIn the night when we’re spending our timeI remember I was waiting like a fool. When you tell me that love was loaded gun..!

Sometimes..sometimes I remember 
Don’t walk away…don’t walk away from me….I couldn’t found… I couldn’t found the way……..! 
Selengkapnya.. - Menemukan Cinta Kita Kembali

Rabu, 03 Oktober 2012

Kobaran Mading Teman Kecil

Mungkin hari ini adalah hari yang spesial buat teman-teman kecil. Setelah sebelumnya kami berdemokrasi mini, kini saatnya mereka mengutarakan isi hatinya. Maksudnya?
Teman kecilku ini baru saja berseragam putih biru, kawan. Mereka baru saja menanggalkan baju setelan putih merah kebanggaannya dulu. Kembali ke cerita di atas. 
Beberapa hari yang lalu, kucurahkan ideku untuk membuat mading. Dahsyat. Tanggapan mereka sangat hebat. Sebelum bercerita panjang lebar mengenai mading, perlu kalian ketahui dulu sekolah tempat kami belajar. 

Sekolah kami baru saja berdiri. Tahun ini kami mendapat dua kelas. Tiga puluh satu putra dan dua puluh delapan putri. Kelas dibagi menjadi dua. Kelas putri VIIA dan kelas putra VIB. Oiya, kawan sekolah kami juga bersistem Boarding School. Artinya apa, aku pun kurang tahu. Yang kutahu, sekolah kami ini di bawah naungan Pondok Pesantren. teman-teman kecil setelah sekolah reguler kembali ke pondok. Melanjutkan kegiatan mengikuti sistem pondok pesantren. Di sinilah sekat antara putra dan putri harus dijaga, menurut sistem di sekolahku lho. 
Karena masih baru, kami masih harus banyak belajar. Dari sistem administrasi, pengajaran, pembangunan, semuanya deh. Tapi jangan salah, sekolah kami diisi oleh insan-insan yang benar-benar hebat. Setiap hari, kami diwajibkan salat duha, setelah itu dilanjutkan hapalan Al Quran. Di sini aku diminta untuk membantu menyimak. Wah, hapal saja nggak. Kata teman-teman guru yang lain, nggak apa-apa, nyimaknya sambil baca. Mereka juga bilang kalau bacaan Al Quranku bagus. Ini pasti ulah guru-guru, pasti ini. 
Kembali ke mading. Semula masih ragu mau mengusulkan ide ini. Kenapa? Ya, karena lembaga pendidikan ini masih baru, tentu banyak biaya yang dikeluarkan. Putar otak. Plan A. Rencananya gajiku mau kulemparkan ke papan white board, lakban, dan sebagainya. Apalah arti uang dibanding senyuman mereka. Hingga akhirnya sampailah pasa saat yang berbahagia, dan dengan mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia... Hari itu, dengan segala risiko yang mungkin kuterima, usul kusampaikan dalam rapat. Hasilnya? Kurang mendapat perhatian. Ah, sial. Padahal, sudah kupikirkan jauh ke depan. Mading inilah satu-satunya cara untuk berkarya dan menghibur diril. 
Seperti geledek yang datang tiba-tiba, hal yang mengejutkan datang. Kepala Sekolah memberikan tanggapan yang lumayan. Bahan mading? Pusing juga. Aku dan Kepala Sekolah pun mencari-cari papan triplek di bekas runtuhan bangunan rumah. Mungkin saja ada. Ternyata Nihil. Entah apa yang menarik mataku. Refleks kuambil bekas pintu. Masih jadi satu dengan engselnya. Ah ini saja. Sedikit modifikasi dengan barang tidak terpakai. Ditambah bingkai dari kayu ventilasi yang dibalut lakban hitam. Jadi juga. Jujur, manggut-manggut aku tersenyum bangga. Percaya nggak percaya mading kami 0 rupiah. Tampilannya juga manissss.... 
Papan mading sudah ada. Ornamen sudah dibuat. Tinggal karya teman-teman belum masuk. Kuadakan pemilu kecil-kecilan dengan sedikit orasi calon kandidat. MTerpilihlah Pemimpin Umum (PU), Editor, Lay Outer, sekretaris, bendahara, dan anggota. Kepengurusan sudah jadi Masing-masing kepengurusan berlaku untuk satu kelas. Jadi jumlah keseluruhan pengurus ada dua. Putra dan putri. Menarik. Ini hari, naskah sudah terkumpul di kelas putra. Setelah sebelumnya kelas putri menerbitkan karyanya. Sedikit kesalahan, tak apa. Bagian dari proses belajar. Naskah sudah ada. Jadi mau nggak mau harus ada rapat pengurus. Untuk pertama kalinya. Dengan memanfaatkan waktu yang sama sekali tidak efektif. Kami rapat. Mungkin teman-teman belum pernah ikut dalam suatu perapatan. Terbukti dari cara mereka yang agak kaget, kaku, bingung. Akhirnya dengan sedikit penjelasan: rapat mading, oke! Minat mereka hebat. Ide-ide cemerlang muncul. Setelah rapat dibubarkan. Kubakar semangat merka dengan sedikit hentakan Hacurkan! (untuk mengganti kata lakukan yang bagiku terlalu memerintah seolah penguasa saja). Mereka beranjak. Masing-masing pengurus langsung menjalankan tugas sesuai Job Des. Jadinya seperti apa? Tinggal kita lihat besok. Buatku, hasil itu nomor sekian. Proses itulah yang lebih utama dari yang kesekian tadi. Terus semangat teman kecilku. Dengan segala keterbatasan kalian akan menjelajahi dunia tanpa batas. (Sebenarnya ada foto mading, saya lupa mengcopy. Maklum hape jadul kameranya ngeden. Insya Allah besok-besok saya bawakan gambar yang difoto dengan kamera digital).
Selengkapnya.. - Kobaran Mading Teman Kecil

Senin, 01 Oktober 2012

Berguru kepada Masyarakat Samin (Jilid 4)

Agak lama menanti cerita ya. Maaf. Dengan bantuan dari seorang kawan, tampilan ini sekarang jadi tidak membosankan. Sudah nggak kaku kayak tembok pemerintah lagi bukan? Saya ucapkan terima kasih buat Mbak Kanjeng Ratu Lebah atas bantuannya ngubah tampilan (demi mematuhi kode etik jurnalistik, saya tulis nama walau agak takut kena damprat. Maklum izin tertulis perihal nama ini belum ada. Alias belum dilegitimasi oleh yang bersangkutan. Akan tetapi, aku yakin dia akan selalu tersenyum jengkel tiap dipanggil dengan nama ini, biarlah). Lanjut lagi. Sampai dimana kita? Oiya, Sampailah kami ke rumah salah seorang Samin tersebut. Sebelum masuk lebih jauh. 

Tahukah kau kawan, siapakah masyarkat Samin itu?? Banyak yang menjawab tapi dari katanya, kata orang atau kata siapapun.
Banyak buku referensi yang membedah siapakah sosok samin itu sendiri. Salah satunya ini saya punya buku tentang Samin. Judulnya Masyarakat Samin, Siapakah Mereka? karangan R. P. A. Soerjanto Sastroadmojo terbitan Narasi, Yogyakarta (2003). Kalau mau cari teori tentang masyarakat Samin, coba cari di buku-buku referensi atau googling saja. Tapi kalau mau tahu dari pengalaman saya. Nah, mari kita berbagi. 
Waktu itu, kutanyakan pada beliau (salah satu penganut faham Samin) "Asmane sinten? (namanya siapa?) ," tanyaku. Dijawab "lanang (laki-laki)". Lhoh? kaget juga mendengarnya.   Unik bukan?
Tapi memang begitulah. Bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Samin agak berbeda dengan bahasa Jawa kebanyakan. ujung-ujungnya, Sial. Bapak yang satu ini termasuk dalam salah satu jajaran The Cold Man. Dingin. Tertutup. Tak banyak omong. Wah, mesti pandai-pandai cari pertanyaan nih. Lebih sial lagi, kawan-kawan KPM sering bertanya menggunakan bahasa Indonesia. Terang saja Beliaunya bingung. Ini karena bahasa ibu lebih sering digunakan daripada bahasa nasional. Nah, kawan-kawan LPM  lebih bingung lagi. Gimana tidak? mereka tidak terbiasa dengan bahasa Jawa dengan tataran kasta di dalamnya. Dalam hal ini, aku yang sering terjun, Kawan. Dengan bahasa Jawa Kromo Inggil sangat terbatas kutengahi mereka. Barulah kusadari bahwa bahasa Jawa penting juga. Makanya jangan sampai  deh bahasa daerah tergerus zaman. 
Bermusuhkan lawan tutur yang demikian, kami hening. Kaku. Stagnan. Kehabisan bahan. Kami pun saling pandang. Seolah tahu maksud masaing-masing, kami menganggukkan kepala.
Walau tak banyak informasi yang kami peroleh, kami putuskan untuk berpamitan. Ada hal yang sangat mencengangkan. Ketika kami pulang, sengaja kami berikan bungkusan kecil berisi mie instan. Mie yang semula menjadi logistik tapi tak jadi dimasak. Habisnya, kalah enak sama makanan pemberian Pak Lurah. 
Si Bapak bilang "Wah nopo niki? Mboten usah (Wah apa ini? enggak usah)," kata si Bapak. Dengan cepat kami katakan "Niki kangge Bapak, ngapuntene mboten kathah (ini buat Bapak, Maaf nggak banyak)", sahut kami. "Sekedhap-sekedhap njenengan tiliki rumiyin. Menawi wonten artane, kula mboten saget nampi (Sebentar-sebentar, kalian lihat dulu, kalau ada uangnya di dalam Saya nggak bisa menerima)." Setelah dipastikan bahwa di dalamnya tidak ada uang, barulah Si Bapak mau menerima sambil mengucap terima kasih. 
Pelajaran hidup pertama.  Masyarakat Samin tidak suka diberi uang. Mereka akan lebih bangga dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Dengan info yang masih minim, kami putuskan untuk melanjutkan petualangan ke Desa yang agak jauh. Kata Pak Lurah, di desa tersebut masyarakat Samin masih banyak. 
Bersiap dengan sejuta asa, kendaraan kami pacu lagi. Setelah sebelumnya berpamitan kepada orang-orang baik hati. Rombongan berangkat. 
Sampailah kami ke suatu desa yang aku agak lupa namanya. Kami langsung menuju Kantor Kelurahan. Lebih mudah nggak seperti di desa sebelumnya. Ini karena kami dibantu Pak Lurah. Sebelumnya, beliau menelepon ke pihak Kelurahan dan memberitahu perihal kedatangan kami. Kami disambut dengan ramah oleh Bapak Kamituwo. Agak lama kami menunggu.Tiba-tiba disodorinya kami sebuah buku tentang kehidupan masyarakat Samin. Tenang, buku ini tak luput dari jepretan kamera. Ini nih, lihat di bawah ya..
(Maaf, lupa. Foto cover bukunya kemakan virus...)
Dari Kantor kelurahan, kami menuju rumah Bapak Kamituwo. Di sana, banyak kami dibekali data dan cerita yang hebat. Baik dari daerah penyebaran masyarakat Samin, nama-nama masyarakat samin, sampai ke data keluarga Samin. Ah banyak sekali. 
Berngkatlah kami ke rumah penduduk Samin. Dengan didampingi Pak Kamituwo kami meluncur ke rumah tetua oleh masyarakat Samin setempat yang ternyata masih kerabat dengan Pak Kamituwo. Baru sampai di pintu rumah, sambutan hangat langsung kami terima. 
Dipersilakannya kami masuk dan duduk. Semua keluarga yang ada di rumah langsung berhambur keluar. Menyalami kami, sambil mengenalkan diri ("Kula asmi pengaran"...bukan nami kula). Sama halnya dnegan merekakami pun mengenalkan diri. Satu per satu kami sebutkan nama dan tempat asal. 

Simak baik-baik kawan, di sinilah banyak pelajaran hidup disampaikan. 
Kami penasaran dengan cerita-cerita yang sebelumnya kami terima dari Pak Cus, Pak Lurah, dan Bapaknya Pak Lurah. 

Kami tanyakan apa yang menjadi kegundahgulanaan kami. "Samin itu sebenarnya seperti apa sih, Pak?" tanya jawab akhirnya dimulai dengan menggunakan bahasa Jawa Kromo. "Samin itu, yaa. Sama kayak kalian. Kalian manusia, kami juga manusia. Kalian makan, kami juga makan. Sama. Kami sama seperti kalian, enggak ada bedanya," mulai pusing pertama.  
"Bapak di rumah bekerja?" satu per satu pertanyaan menghujan. Sambil menggigit suguhan hidangan yang mantap. "Iya, kami bertani. Nih baru saja pulang dari sawah." Obrolan panjang menusuk-nusuk. Baru kali itu kuketahui ada orang yang punya pandangan hidup sederhana. Jujur dan apa adanya. Obrolan masih berlanjut. 
Bayangkan, Mereka tak akan membeli segala sesuatu kalau belum mampu. Kredit? No! ! Persaudaraan mereka kuat, kawan. Untuk membeli traktor, masing-masing keluarga beli sendiri. Ini nih lihat jawaban yang singkat. Sederhana, tapi mengena "Kalau kami punya uang, ya dibeli. Tapi kalau tidak punya, ya nggak usah beli." Keluarga yang belum mempunyai traktor biasanya meminjam. Paling-paling ngisi bensin traktor. Bayar sewa?? enggak ada. Waduh.... Makin mantap nih Bosss... Mereka juga tidak mau mengambil barang, uang atau apa saja yang mereka temui di jalan. Alasannya "Lha itu kan bukan punya kita, kenapa diambil?" Kami tanyakan tentang pendidikan "Anak-anak nggak sekolah, Pak?" tanya kami. "Sekolah Mbak, tapi cuma sampai SD," jawab beliau. "Lhoh kok gitu?" "Iya, anak-anak kami biarlah sekolah sampai SD saja. Kami nggak mau anak kami menjadi pintar, takut akhirnya memintari orang," jawab beliau. Dahsyat Bro...

"Kalau agama Bapak?" pertanyaan yang agak sensitif. "Agama kami? Agama kami ADAM," Mas. Busett... Agama Adam, agama yang bagaimana tuh? Kata Si Bapak "Adam itu ya, saatnya makan, ya makan. Waktunya kerja, ya kerja. Waktunya tidur, ya tidur," jawab si Bapak sambil menyuruh kami menyantap hidangan di meja. Teh anget. Pisang. Semangka. Semua ada di meja.

"Kalau tentang iri, dengki, ngrasani orang?" beruntun pertanyaan kami hamburkan. "Ya, itu semua nggak boleh. Itu pantangan buat kami," kerennn... Dicatat ya, pelajaran hidup yang mahal harganya. "Oiya, Pak. Di sini kan sudah ada TV, bagaimana tanggap Bapak tentang perceraian? Kan banyak tuh kasus-kasus artis yang cerai.." "Oh itu, iya. Lha wong istri kita sendiri yang milih kok dicerai?" sambil tertawa. Paras wajahnya selalu meneduhkan. 
Satu lagi, sewaktu terjadi kebakaran minyak Pertamina di daerah Menden mereka tidak mau diberi kompensasi. Kok bisa bagaimana ceritanya? Jadi begini, pernah suatu kali pangkalan minyak Pertamina di sana tebakar. Dalam radius 5 atau beberapa meter sangat terasa dampaknya. Getaran seperti gempa bumi. Nah, masyarakat sekitar diberi kompensasi ganti rugi. Tapi, oleh masyarakat Samin, kompensasi itu deikembalikan. Kok bisa? Alasannya "Mereka saudara kami. Mereka lagi kesusahan kok malah memberi uang untuk saya?" Mantap nggak tuh. Selain itu, ada bantuan kopensasi kompor gas juga dikembalikan. Wah, apalagi BLT??

Banyak informasi yang sangat sudah kami kantongi, akhirnya kami minta diri untuk berpamitan. Ketika mau beranjak. Kami ditahan. Diajak makan bersama, kawan. Kata Pak Cus, Pak Lurah, juga Pak Kamituwo, ini adalah tradisi di masyarakat Samin. Busettt... Nasi, sayur bayam, sambal ekstra mantap, telur dadar tumpah ruah di meja. Dengan muka malu mau, sikat juga. Semua makan, tanpa ada kecuali. Bapak-bapak, Ibu-ibu, anak-anak, Pak Kamituwo, juga kami. Setelah itu kami berfoto untuk sekadar kenang-kenangan. Coba lihat di bawah yaa... Foto ini diambil di rumah beliau. Rumah sederhana tapi sangat luas dan besar. 
Llihat deh mereka. Sangat bersahaja. Jujur. Polos. Tapi siapa sangka, mereka punya prinsip dan pandangan hidup yang begitu hebat. Konon dari masyarakat Samin ini pula gagasan Mahatma Gandhi muncul. Singkat cerita menurut Pak Cus, pada masa kolonial, Samin Surosentiko (founding father masyarakat Samin) dibuang ke Sumatera. dengan alasan memberontak. Mereka melakukan pemberontakan dengan sewaktu disuruh membayar upeti berupa pajak tanah. Mereka (Samin Surosentiko Cs.) tidak mau. Alasannya "Ini kan tanah leluhur kami, tanah milik kakek kami kenapa disuruh bayar?"
Selain itu, satu hal yang mesti kalian catat besar-besar di block note atau buku harian kalian, Masyarakat Samin tidak suka dipanggil dengan sebutan SUKU. Benar, karena mereka bukan hidup dalam persukuan. Mereka akan lebih suka dipanggil dengan nama Sedulur Sikep. Wayang adalah kesenian favoritnya. Dan jangan salah, ternyata mereka juga tidak memiliki baju-baju khusus atau sebagainya. Mereka benar-benar seperti kita. Jika ada yang berkata bahwa masyarakat Samin adalah masyarakat marjinal yang bodoh, ketinggalan zaman, kolot, dan sebagainya. Itu hanyalah ungkapan isapan jempol. 

Pulangnya dari pencarian informasi ada satu lokasi sejarah yang terungkap. lihat di bawah ya...

Tugu dan monumen ini sangat bersejarah lho. Kalau kalian lewat Jalan Blora-Randhublatung, mampirlah sebentar. Lihat dan heningkan cipta sejenak. Di sinilah ditemukan jenazah pahlawan Agil Kusumadyo pada waktu G 30 S/ Gestok.  Sebagai penghargaan atas jasanya, selain didirikan monumen ini, nama beliau juga dijadikan sebagai nama salah satu jalan di Blora.



Sekian Pelajaran hidup dari Sedulur Samin. Kalau ada kesempatan, ingin rasanya untuk main ke sana lagi. Terima kasih, Kawan sudah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan ini. Oiya, saran dan kritiknya akan selalu saya nantikan....
Selengkapnya.. - Berguru kepada Masyarakat Samin (Jilid 4)